Tag: surakarta

  • Wayang Wong: Kesenian Tradisional Jawa yang Terus Dilestarikan

    Wayang Wong: Kesenian Tradisional Jawa yang Terus Dilestarikan

    Nusantara – Wayang wong atau sering disebut wayang orang merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional khas Jawa, terutama berkembang di wilayah Jawa Tengah. Meski sempat redup, kesenian ini berhasil dihidupkan kembali dan hingga kini terus dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan budaya Nusantara.

    Wayang wong menampilkan kisah-kisah epik dari Mahabharata dan Ramayana, yang dipentaskan dalam bentuk teater panggung tradisional. Setiap lakon sarat akan pesan moral dan nilai-nilai kehidupan, disampaikan melalui dialog, tari, dan musik gamelan. Dalam beberapa pertunjukan, unsur sendratari turut memperkaya penampilan.

    Mengutip dari laman Anugerahslot Indonesia, jejak wayang wong telah ditemukan sejak masa Mataram Kuno, sebagaimana tercatat dalam Prasasti Wimalasmara (930 M) dan Prasasti Balitung (907 M) yang menyebut istilah “wayang wwang” dalam bahasa Jawa Kuno. Bukti ini menunjukkan bahwa pertunjukan wayang wong sudah eksis lebih dari seribu tahun silam.

    Perjalanan wayang wong tak terlepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan besar di Jawa, termasuk Majapahit yang turut melestarikan tradisi ini. Namun, memasuki masa-masa modern, pertunjukan ini sempat dilupakan. Kebangkitan kembali kesenian ini dimotori oleh dua pusat budaya Jawa: Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, setelah terjadinya pembagian wilayah Mataram melalui Perjanjian Giyanti pada 1755.

    Kini, wayang wong tak hanya menjadi pertunjukan elit keraton, tetapi juga hadir di ruang publik dan panggung budaya untuk generasi muda. Kesenian ini terus dijaga sebagai warisan budaya yang tak hanya menampilkan keindahan seni, tetapi juga mencerminkan jati diri dan kearifan lokal masyarakat Jawa.

    Perkembangan Wayang Wong di Yogyakarta dan Surakarta

    Wayang wong di Yogyakarta mengalami kebangkitan dan pembaruan signifikan sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I pada 1750-an. Selain menjadi ekspresi seni adiluhung, wayang wong juga digunakan sebagai alat legitimasi politik. Melalui pertunjukan yang memvisualisasikan nilai-nilai luhur dan kepemimpinan dalam kisah Ramayana dan Mahabharata, Sultan ingin menegaskan posisinya sebagai pewaris sah Kerajaan Mataram sekaligus penerus tradisi kerajaan Majapahit.

    Pada masa Sultan Hamengkubuwono V, sistematisasi pertunjukan mulai dikembangkan. Dua naskah penting, yaitu Serat Kandha (narasi) dan Serat Pocapan (dialog), menjadi buku panduan utama dalam latihan dan pementasan wayang wong keraton. Kesenian ini pun mulai mendapat struktur dan bentuk artistik yang lebih baku.

    Transformasi besar terjadi pada masa Sultan Hamengkubuwono VII, ketika wayang wong mulai keluar dari eksklusivitas keraton. Melalui pendirian perkumpulan tari Krida Beksa Wirama pada tahun 1918, seni pertunjukan ini mulai diajarkan dan dipertunjukkan di luar lingkungan istana. Hingga kini, Krida Beksa Wirama menjadi lembaga penting dalam melestarikan seni tari klasik Yogyakarta, termasuk wayang wong.

    Inovasi Wayang Wong di Surakarta

    Di Surakarta, perkembangan wayang wong dimulai pada era Mangkunegara I sekitar 1760-an, dan mencapai puncak inovasinya pada masa Mangkunegara V. Di bawah kepemimpinannya, berbagai aspek kesenian ini mengalami pembaruan yang menyeluruh.

    Salah satu terobosan besar Mangkunegara V adalah pengelompokan pemain dalam tiga kategori:

    1. Wayang wong sentana – dimainkan oleh anggota keluarga istana.
    2. Wayang wong abdi dalem – dimainkan oleh para abdi dalem keraton.
    3. Wayang wong wanita – menunjukkan peran serta perempuan dalam kesenian ini.

    Dari sisi artistik, Mangkunegara V memperkenalkan kostum yang disesuaikan dengan bentuk tokoh wayang purwa, agar lebih mudah dikenali penonton. Penataan koreografi pun menjadi lebih sistematis, memperkuat identitas karakter lewat gerak tari yang baku dan bermakna.

    Tak hanya menampilkan lakon-lakon utama dari Mahabharata dan Ramayana, Mangkunegara V juga memperkenalkan lakon carangan, yaitu kisah-kisah yang dikembangkan di luar pakem. Inovasi ini memberi napas segar dan memperluas daya tarik pertunjukan kepada masyarakat umum.

    Wayang Wong Keluar dari Tembok Keraton

    Perubahan paling signifikan dalam sejarah wayang wong terjadi pada akhir abad ke-19, seiring dengan kemunduran ekonomi yang melanda istana. Ketika keraton tak lagi mampu membiayai pertunjukan secara rutin, seni ini pun mulai keluar dari lingkup eksklusif istana dan masuk ke ruang publik.

    Transformasi ini dipelopori oleh Gan Kam, seorang pengusaha keturunan Tionghoa, yang pada 1895 mengemas wayang wong menjadi pertunjukan komersial. Dengan restu Sri Mangkunegara V, Gan Kam memperkenalkan format panggung modern dengan sentuhan tata panggung ala opera Tiongkok dan Italia. Para pemainnya direkrut dari kalangan seniman keraton dan masyarakat umum, memperluas akses sekaligus memperkaya keberagaman artistik.

    Setelah Gan Kam wafat pada 1928, warisan keseniannya diteruskan oleh sejumlah tokoh Tionghoa lain seperti Sedyo Wandowo, Sarotama, dan Srikaton. Sementara itu, pengusaha Belanda bernama Reunecker juga mendirikan kelompok wayang orang. Setelah bubarnya kelompok ini, gedung pertunjukannya dibeli oleh Lie Wat Djien, yang kemudian membentuk Kelompok Wayang Orang Sono Harsono.

    Tak hanya dari luar keraton, pihak istana pun tetap berkontribusi dengan mendirikan Wayang Orang Sriwedari, sebuah kelompok yang bertujuan untuk menampung dan mempertahankan keahlian para penari istana. Pada 1930-an, kelompok ini mencapai popularitas tinggi di Surakarta, menjadikan wayang wong sebagai media edukasi, hiburan, dan pelestarian budaya.

    Penyebaran Wayang Wong ke Seluruh Jawa

    Sekitar dekade yang sama, berbagai kelompok wayang wong mulai bermunculan di kota-kota lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur, antara lain:

    • Sri Wanito di Semarang
    • Ngesti Pandowo di Madiun (kemudian pindah ke Semarang)
    • Sri Budaya di Kediri

    Kesenian ini mengalami masa keemasan hingga awal kemerdekaan, meskipun sempat terhenti sementara karena situasi politik. Pada era 1950-an hingga 1970-an, banyak kelompok baru bermunculan, termasuk Pancamurti, yang kemudian berkembang menjadi Wayang Orang Bharata di Jakarta dan Wahyu Utomo di Semarang.

    Kemunduran dan Upaya Pelestarian

    Namun, memasuki 1980-an, wayang wong menghadapi tantangan besar. Banyak pemain sepuh meninggal atau pensiun, dan di tengah arus budaya populer serta perubahan selera penonton, pertunjukan ini dianggap kurang relevan dan pamornya menurun drastis.

    Meski demikian, sejumlah kelompok tetap bertahan dan beradaptasi. Hingga kini, beberapa di antaranya masih eksis dan aktif menggelar pementasan:

    • Wayang Orang Sriwedari di Surakarta
    • Wayang Orang Ngesti Pandowo di Semarang
    • Wayang Orang Bharata di Jakarta

    Mereka terus berinovasi, termasuk memanfaatkan media digital, kolaborasi lintas seni, serta pertunjukan tematik untuk menarik minat generasi muda. Di tengah arus globalisasi, wayang wong tetap menjadi warisan budaya tak ternilai, yang tidak hanya menyampaikan cerita epik, tetapi juga nilai-nilai moral, sosial, dan spiritual khas Nusantara.