Tag: maluku

  • Kampung Adat Lewohala: Warisan Budaya Leluhur di Tanah Lembata

    Kampung Adat Lewohala: Warisan Budaya Leluhur di Tanah Lembata

    Nusantara – Kampung Adat Lewohala Lolo Melu-Tanah Wuring Lamabura merupakan salah satu destinasi wisata budaya yang terletak di Desa Jontona, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Kampung ini dikenal sebagai pusat warisan budaya yang kaya dengan nilai sejarah, tradisi, dan kearifan lokal.

    Asal Usul Nama Lewohala

    Nama “Lewohala” memiliki dua versi asal-usul yang dikenal oleh masyarakat setempat. Versi pertama berasal dari nama seorang panglima perang bernama Hala Tede, tokoh legendaris yang memimpin peperangan untuk merebut tanah Lewohala. Ia dikenal karena berhasil mengalahkan hulubalang terkenal dari pihak lawan, yakni Ekan Watan Lolon.

    Versi kedua menyebutkan bahwa nama Lewohala berasal dari kata “Hala”, yang berarti “generasi”, merujuk pada nama sebuah pohon yang tumbuh di kawasan tersebut. Pohon Hala dijadikan simbol kampung karena melambangkan keindahan, keteduhan, dan kedamaian yang menjadi ciri khas masyarakat Lewohala.

    Asal Mula Penduduk Lewohala

    Masyarakat Kampung Adat Lewohala dipercaya berasal dari Kepulauan Maluku, tepatnya dari daerah yang dikenal dengan sebutan Serang Gorang Abo Muar. Sekitar abad ke-10 Masehi, nenek moyang mereka memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka dan mencari wilayah baru untuk dihuni.

    Keputusan untuk bermigrasi dipicu oleh beberapa faktor penting, seperti:

    • Konflik internal antara saudara kandung (Puke Kawi Lusi Lei dan Geni Kewa Magarai),
    • Perang antar kampung yang tiada henti,
    • Tekanan dari gelombang pendatang baru.

    Dalam upaya menemukan tempat yang aman dan damai, mereka membangun perahu yang disebut Tula Tena Tani Laya dan memulai pelayaran ke arah barat Nusantara, dikenal dalam tradisi lisan sebagai Seba Nuho Gena Katan.

    Tiba di Lembata

    Setelah melalui pelayaran panjang, rombongan leluhur Lewohala akhirnya tiba di sebuah pulau yang dikenal dalam kisah mereka sebagai Lepan Batan-Keroko Puken atau Uli Taga Sao Songe Kebo Tena Lulu Laya. Pulau tersebut kini dikenal dengan nama Pulau Lomblen atau Lembata.

    Di tanah Anugerahslot ini, mereka mulai membangun kehidupan baru dan menetap hingga saat ini. Masyarakat Lewohala terdiri dari berbagai suku yang memiliki akar dari Kepulauan Maluku, khususnya di bawah payung Suku Seram Sara Luka, Luwa Goran Lobi Au. Selain itu, ada juga suku-suku asli yang sudah lebih dahulu menetap di wilayah tersebut, seperti Suku Duli Making dan Suku Tede Making, yang dikenal dengan sebutan Tawa Tanah Gere Ekan.

    Struktur Sosial dan Jumlah Rumah Adat di Kampung Lewohala

    Hingga saat ini, terdapat 88 rumah adat di Kampung Lewohala. Jumlah ini bukan angka yang tetap, sebab sesuai perkembangan waktu dan dinamika komunitas adat, rumah adat dapat terus bertambah, khususnya jika 77 suku lainnya memutuskan untuk membangun rumah adat mereka sendiri sebagai bentuk pelestarian identitas dan keterikatan pada tradisi leluhur.

    Ke-88 rumah adat yang telah berdiri saat ini terbagi ke dalam dua kelompok sosial utama, yang mencerminkan struktur kasta dalam masyarakat adat Lewohala:

    1. Wungu Bele – Merupakan kasta tertinggi yang terdiri dari suku-suku besar atau kelompok penguasa adat. Kelompok ini memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan adat dan pelaksanaan upacara sakral. Adapun suku-suku yang termasuk dalam kasta ini adalah:
      • Gesi Making
      • Tede Making
      • Duli Making
      • Hali Making
      • Soro Making
      • Krowing Making
      • Laba Making
    2. Wungu Belumer – Merupakan kelompok suku kecil dalam struktur sosial adat, yang memiliki posisi lebih rendah dalam hierarki, namun tetap menjalankan peran penting dalam kehidupan sosial dan budaya kampung. Suku-suku dalam kelompok ini antara lain:
      • Pureklolon
      • Balawanga
      • Lamawalang
      • Matarau
      • Lebahi
      • Atanila
      • Lamatapo
      • Langodai

    Struktur kasta ini tidak hanya mencerminkan tatanan sosial, tetapi juga menjadi landasan dalam pembagian tugas adat, peran dalam upacara, dan sistem pewarisan nilai-nilai budaya. Dengan demikian, rumah adat bukan sekadar bangunan fisik, tetapi juga simbol kedudukan, identitas suku, dan kesinambungan warisan leluhur yang dijaga secara turun-temurun.

  • Tete Momo: Legenda Gelap Penjaga Malam dari Maluku

    Tete Momo: Legenda Gelap Penjaga Malam dari Maluku

    Nusantara – Di sudut-sudut rumah tradisional Maluku, ketika malam mulai merayap dan suara jangkrik menguasai angin, anak-anak tahu satu nama yang membuat mereka segera menarik selimut: Tete Momo.

    Bagi masyarakat Maluku, Tete Momo bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah legenda yang hidup, sosok tua berjubah gelap dengan wajah menakutkan dan sorot mata yang bisa membekukan keberanian. Nama “tete momo” sendiri berasal dari dua kata: tete yang berarti kakek, dan momo, istilah lokal untuk menggambarkan kejahatan atau kegelapan.

    Konon, Tete Momo mengincar anak-anak nakal—mereka yang suka melawan orang tua, tidak mau tidur malam, atau berbuat onar. Ia bukan hanya pengingat tentang moral dan disiplin, tetapi juga bayang-bayang mistis yang membaur dengan udara lembap Maluku. Dalam kepercayaan setempat, ia dianggap sebagai representasi dari makhluk-makhluk jahat: jin, setan, atau roh penasaran yang mengintai dari balik pepohonan atau bawah kolong rumah.

    Banyak orang tua menggunakan sosok ini sebagai alat untuk mendisiplinkan anak-anak. Ketika malam makin larut dan suara anak-anak masih riuh, satu kalimat saja bisa menghentikan semuanya:

    “Awas, nanti tete momo datang!”

    Legenda ini telah diwariskan turun-temurun, mengakar kuat dalam budaya lisan masyarakat Maluku. Tapi di balik sosok gelap Tete Momo, ada juga cahaya. Masyarakat Maluku mengenal sosok berlawanan bernama Tete Manis—perwujudan kasih, kebaikan, dan spiritualitas. Dalam konteks pengaruh Kristen yang kuat di wilayah ini, Tete Manis bahkan dipandang sebagai gambaran dari Yesus Kristus: lembut, penuh kasih, dan penyelamat dari kegelapan.

    Dalam kontras antara Tete Momo dan Tete Manis, masyarakat Maluku belajar tentang keseimbangan: antara takut dan cinta, antara disiplin dan kelembutan, antara gelap dan terang.

    Dan hingga kini, di rumah-rumah kayu yang berdiri teguh di tepi pantai atau pegunungan Maluku, nama Tete Momo masih bergema. Bukan hanya sebagai legenda yang menakuti, tapi sebagai cermin dari budaya, keyakinan, dan cara hidup yang terus diwariskan.

    Tete Momo: Legenda Gelap yang Masih Hidup di Maluku

    Di balik keindahan alam Maluku yang tenang dan menawan, hidup sebuah legenda yang diwariskan turun-temurun: Tete Momo. Ia bukan pahlawan atau penolong, melainkan sosok gaib yang kerap kali disebut saat malam mulai datang dan anak-anak masih bermain di luar rumah.

    Tete Momo, dalam bahasa Maluku, berarti kakek jahattete berarti kakek, sementara momo menggambarkan sesuatu yang menakutkan atau jahat. Legenda ini berkembang sebagai tokoh yang menculik anak-anak nakal, khususnya mereka yang tidak menuruti perintah orang tua atau enggan tidur malam. Sosoknya digambarkan tua, menyeramkan, dan penuh aura gelap. Ia tak sekadar mitos, tapi juga alat sosial untuk mendidik dan menanamkan kedisiplinan.

    Dalam kehidupan masyarakat Maluku, Tete Momo merupakan kebalikan dari Tete Manis, sosok yang menggambarkan kebaikan, kelembutan, bahkan dalam konteks kekristenan, merupakan perwujudan dari figur Yesus Kristus. Di antara terang dan gelap, dua tokoh ini menjadi simbol yang hidup dalam budaya setempat.

    Namun tak selamanya legenda ini hidup tanpa polemik.

    Pada awal 2025, nama Tete Momo kembali mencuat dan menjadi kontroversi nasional. Seorang penyanyi asal Ambon menggunakan istilah itu dalam kontennya saat menunjuk patung Johannes Leimena, pahlawan nasional asal Maluku yang diabadikan dalam Tugu di Bundaran Poka, Ambon. Dalam videonya, ia menyebut patung itu dengan kalimat “katong pung tete momo” — seolah mengolok-olok figur nasional dengan menyamakannya sebagai sosok menakutkan.

    Pernyataan itu langsung menuai kecaman dari tokoh agama, masyarakat adat, hingga budayawan. Banyak yang menilai penyebutan tersebut tidak hanya tidak pantas, tetapi juga bentuk ketidaktahuan terhadap sejarah dan pentingnya menjaga kesantunan dalam menyebut simbol kebanggaan daerah.

    Kisah ini menjadi pengingat bahwa legenda seperti Tete Momo tidak hanya hidup dalam cerita rakyat, tapi juga bisa menjadi cermin bagaimana budaya lokal harus dipahami dengan bijak. Sosok ini mungkin menyeramkan, tetapi ia menyimpan nilai moral, edukasi, dan refleksi atas bagaimana masyarakat membangun narasi tentang baik dan buruk.