Tag: kepercayaan

  • Ubrug: Warisan Komedi Tradisional Betawi yang Kian Langka

    Ubrug: Warisan Komedi Tradisional Betawi yang Kian Langka

    Nusantara – Ubrug merupakan seni pertunjukan tradisional Betawi yang unik karena memadukan berbagai elemen seperti komedi, musik, gerak, dan sastra dalam satu panggung. Pertunjukan ini berkembang pesat di beberapa wilayah di Banten, khususnya di daerah Cikeusal, Pagelaran, Pandeglang, Leuwidamar, hingga Panimbang, yang menjadi kantong-kantong pelestarian ubrug hingga saat ini.

    Secara etimologis, istilah ubrug memiliki beberapa versi. Dalam bahasa Sunda, ubrug berarti bangunan darurat atau tempat sementara—layaknya tenda hajatan atau lokasi kerja dadakan. Istilah ini kemudian digunakan sebagai nama pertunjukan karena dulunya pementasan ubrug sering diadakan di tempat-tempat sederhana yang dibangun khusus dan sementara. Ada pula versi lain yang menyebut ubrug berasal dari kata ngagebrug, yang merujuk pada situasi di mana pemain dan penonton berada dalam satu tempat tanpa sekat, membaur dalam suasana akrab dan meriah.

    Pertunjukan ubrug tidak hanya sekadar hiburan. Ia merupakan cerminan dinamika sosial masyarakat Betawi dan Banten pada masanya. Sejak awal abad ke-20, ubrug telah dikenal oleh masyarakat Betawi, dan mencapai masa keemasan pada era 1930-an. Kesenian ini berakar dari daerah Banten Selatan, sebelum akhirnya menyebar ke wilayah-wilayah tetangga, terutama daerah pinggiran Jakarta yang didominasi oleh budaya Betawi Pinggir.

    Melalui naskah-naskah yang disampaikan secara lisan dengan gaya jenaka, ubrug menjadi media kritik sosial sekaligus hiburan rakyat yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Sayangnya, seperti banyak kesenian tradisional lainnya, ubrug kini mulai jarang dipentaskan dan perlahan memudar oleh perubahan zaman.

    Namun demikian, upaya pelestarian terus dilakukan oleh komunitas budaya dan pemerhati kesenian lokal agar ubrug tetap hidup dan dikenal generasi muda, baik sebagai warisan budaya maupun bentuk ekspresi kesenian tradisional yang kaya makna.

    Ubrug: Teater Rakyat Betawi yang Sarat Tawa dan Lawakan

    Ubrug merupakan salah satu bentuk teater rakyat khas Betawi yang dipentaskan secara terbuka, biasanya di tanah lapang atau di kampung-kampung. Berbeda dengan teater modern yang digelar di gedung pertunjukan, ubrug tampil berkeliling seperti pengamen, menyambangi satu kampung ke kampung lain, menghadirkan hiburan langsung kepada masyarakat.

    Pada masa lalu, kesenian ini menjadi hiburan yang sangat populer, terutama karena sifatnya yang ringan, menghibur, dan dekat dengan kehidupan rakyat. Sepanjang perjalanan, musik tradisional khas ubrug terus mengalun, menghadirkan suasana meriah. Alat musik yang biasa dimainkan meliputi terompet, rebana biang, gendang, dan lanter, yang dimainkan secara ritmis untuk menarik perhatian warga.

    Pementasan ubrug identik dengan pertunjukan sulap dan lawakan. Gerakan sulap yang dipertontonkan didasarkan pada keahlian tangan cepat dan terkadang juga dikaitkan dengan ilmu gaib, khususnya dalam atraksi yang disebut sulap gedebus—sebuah bentuk sulap yang menampilkan kekebalan tubuh atau kemampuan fisik luar biasa.

    Meskipun alur cerita tidak menjadi fokus utama, pertunjukan ubrug tetap menarik karena menampilkan banyolan segar dan jenaka dari para pemain. Humor dalam ubrug bersifat spontan, penuh sindiran, dan sering kali menyentil fenomena sosial-politik yang sedang berkembang. Kritik sosial yang disampaikan dalam bentuk lawakan membuat ubrug tidak hanya menghibur, tetapi juga memberi ruang refleksi bagi penontonnya.

    Salah satu kelompok ubrug tertua yang masih eksis hingga kini adalah Grup Cantel dari Kota Serang. Kelompok ini dianggap sebagai pelestari ubrug yang masih setia menampilkan seni tradisional ini di berbagai hajatan dan festival budaya.

    Di tengah gempuran hiburan modern, ubrug tetap menjadi warisan budaya yang patut dijaga. Tak hanya sekadar tontonan, ubrug adalah cermin dari kecerdasan rakyat dalam menyampaikan pesan melalui tawa, musik, dan sulap sederhana yang penuh makna.

  • Tanjidor: Warisan Musik Betawi dari Akar Kolonial hingga Menjadi Simbol Budaya Rakyat

    Tanjidor: Warisan Musik Betawi dari Akar Kolonial hingga Menjadi Simbol Budaya Rakyat

    Nusantara – Tanjidor merupakan salah satu bentuk orkes musik tradisional khas yang lahir dari kebudayaan Betawi. Musik ini tumbuh dan berkembang di wilayah Jakarta dan sekitarnya, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat Betawi.

    Asal-usul Tanjidor

    Tanjidor memiliki sejarah panjang yang dimulai pada abad ke-18, saat Hindia Belanda masih menjadi koloni Eropa. Nama “tanjidor” sendiri diyakini berasal dari kata Belanda “dansjdoer” atau “dansjduur”, yang berarti musik pengiring dansa. Istilah ini kemudian mengalami pelokalan dalam pengucapan dan makna hingga menjadi “tanjidor” dalam bahasa Betawi.

    Pada masa itu, tanjidor dimainkan oleh budak-budak milik tuan tanah Belanda di Batavia. Para budak ini dilatih memainkan alat musik tiup seperti klarinet, trombon, terompet, dan seruling, serta alat musik ritmis seperti drum dan simbal, untuk menghibur majikan mereka dalam acara dansa dan pesta sosial.

    Dari Warisan Kolonial Menjadi Identitas Betawi

    Meskipun lahir dari sistem kolonial yang sarat penindasan, tanjidor perlahan bertransformasi menjadi ekspresi budaya masyarakat Betawi. Setelah sistem perbudakan dihapuskan dan masyarakat Betawi memperoleh kebebasan yang lebih besar, tanjidor pun mengalami perubahan peran dan makna.

    Para mantan budak yang telah mahir memainkan alat musik membentuk kelompok-kelompok tanjidor yang berkeliling dari satu kampung ke kampung lain. Mereka menghibur warga dalam berbagai acara seperti:

    • Pernikahan
    • Khitanan
    • Penyambutan tamu kehormatan
    • Upacara keagamaan
    • Festival dan kegiatan kebudayaan lokal

    Tanjidor pun bergeser dari musik eksklusif kelas elite menjadi bagian dari perayaan dan kebersamaan rakyat Betawi, terutama mereka yang tinggal di kawasan pinggiran Jakarta.

    Ciri Khas Musik Tanjidor

    Repertoar tanjidor tidak lagi terbatas pada lagu-lagu klasik Eropa. Seiring waktu, musik ini berasimilasi dengan unsur lokal, seperti:

    • Lagu-lagu keroncong
    • Gambang kromong
    • Mars-mars rakyat
    • Lagu-lagu tradisional Betawi lainnya

    Perpaduan antara alat musik Barat dan semangat lokal ini menciptakan warna musik tanjidor yang unik dan dinamis, menjadi ciri khas dalam setiap pertunjukannya.

    Tanjidor: Simbol Dinamis Transformasi Budaya Betawi

    Keunikan tanjidor terletak pada kemampuannya menyatukan dua dunia—pengaruh musik Barat dan jiwa lokalitas Nusantara—dalam satu harmoni yang hidup. Musik ini tidak sekadar warisan masa lalu, melainkan cerminan transformasi budaya yang terus berkembang mengikuti zaman.

    Secara musikal, tanjidor tampil dalam format orkes tiup dan perkusi, mengingatkan pada bentuk brass band ala Eropa, namun dibalut dengan teknik permainan dan repertoar yang mencerminkan karakter khas Betawi. Inilah yang menjadikan tanjidor bukan imitasi, melainkan adaptasi yang kreatif dan autentik.

    Alat-alat musik yang digunakan antara lain:

    • Klarinet
    • Trombon
    • Terompet
    • Tuba
    • Drum
    • Simbal
    • Serta tambahan instrumen lokal seperti kecrek atau tamborin

    Dalam segi lagu, tanjidor tak terbatas pada komposisi klasik peninggalan kolonial. Kini, repertoarnya mencakup lagu-lagu tradisional Betawi, keroncong, hingga lagu populer modern yang diaransemen ulang dalam gaya tanjidor. Semua disampaikan dengan semangat meriah dan komunikatif yang menjadi ciri khas pertunjukannya.

    Tanjidor kerap dimainkan dalam formasi berbaris sambil berjalan, menjadi pengiring dalam arak-arakan, karnaval kampung, atau acara rakyat. Ini menjadikan tanjidor bukan sekadar sajian musikal, melainkan juga peristiwa sosial yang menghidupkan ruang-ruang publik dan memperkuat ikatan antarwarga.

    Lebih dari Musik: Medium Komunikasi dan Ekspresi Komunal

    Dalam konteks kebudayaan Betawi, tanjidor berperan sebagai medium komunikasi budaya, di mana nilai-nilai seperti keguyuban, semangat kebersamaan, dan ekspresi komunal ditampilkan secara nyata. Tanjidor adalah suara masyarakat Betawi yang jujur, lantang, dan penuh warna.

    Hingga kini, dalam berbagai festival budaya Betawi, tanjidor masih menjadi atraksi utama, membuktikan bahwa keberadaannya tetap relevan dan dicintai.

    Masa Depan Tanjidor: Tradisi yang Terus Bergerak

    Ke depan, harapan besar tertuju pada keberlangsungan tanjidor sebagai bagian hidup dari budaya Betawi. Bukan hanya dikenang sebagai artefak sejarah, tetapi terus diberi ruang untuk tumbuh, berinovasi, dan bergaul dengan zaman.

    Dengan tetap menjaga akarnya namun membuka diri terhadap bentuk-bentuk baru, tanjidor dapat terus menjadi suara khas dari jantung budaya Betawi—yang berdetak kuat, bahkan di tengah derasnya arus perubahan global.

  • Sedekah Bumi di Cilacap: Tradisi Syukur dan Pelestarian Budaya di Bulan Apit

    Sedekah Bumi di Cilacap: Tradisi Syukur dan Pelestarian Budaya di Bulan Apit

    Nusantara – Warga di sejumlah wilayah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, secara turun-temurun melestarikan tradisi sedekah bumi yang dilaksanakan setiap bulan Zulkaidah dalam kalender Hijriah. Dalam penanggalan Jawa, bulan ini dikenal sebagai bulan Apit, yang jatuh di antara bulan Syawal dan Zulhijah. Tradisi ini menjadi wujud syukur masyarakat atas hasil panen sekaligus bentuk penghormatan terhadap budaya warisan leluhur.

    Dilansir dari berbagai sumber, sedekah bumi di Cilacap memiliki keunikan tersendiri, karena pelaksanaannya mengikuti penanggalan Islam, namun tetap berpijak pada tradisi lokal. Kegiatan ini tersebar di berbagai desa, seperti Rungkang dan Cikedondong, dan melibatkan partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat.

    Prosesi sedekah bumi dimulai dengan kenduri bersama di balai desa atau lokasi-lokasi yang dianggap sakral. Warga membawa beragam hasil bumi, seperti padi, buah-buahan, dan sayuran, yang disusun rapi sebagai simbol rasa syukur.

    Setelah itu, hasil bumi yang dibawa akan didoakan bersama oleh tokoh masyarakat atau pemuka agama, lalu dibagikan kembali kepada warga sebagai lambang berbagi berkah.

    Tradisi ini bukan hanya menjadi sarana spiritual dan sosial, namun juga mengandung nilai-nilai pelestarian lingkungan dan gotong royong yang kuat. Sedekah bumi di Cilacap mencerminkan kekayaan budaya lokal yang masih hidup dan terjaga hingga kini, sekaligus menjadi sarana memperkuat identitas dan kebersamaan masyarakat desa.

    Warisan Budaya dan Akulturasi Islam dalam Tradisi Sedekah Bumi Cilacap

    Tradisi sedekah bumi di Cilacap bukan sekadar ritual tahunan, tetapi juga mencerminkan akulturasi budaya Jawa pra-Islam dengan nilai-nilai keislaman. Seiring berkembangnya Islam di tanah Jawa, terutama melalui media seperti wayang kulit, bentuk dan pelaksanaan tradisi ini turut mengalami penyesuaian, tanpa menghilangkan akar budaya lokal.

    Setiap tahun, sedekah bumi menjadi momen penting bagi masyarakat desa, tak hanya sebagai bentuk syukur atas hasil panen, tetapi juga sebagai sarana menjaga kebersamaan dan lingkungan. Kegiatan ini biasanya diawali dengan gotong royong membersihkan lingkungan sekitar serta diakhiri dengan pembagian makanan kepada warga yang membutuhkan, mencerminkan nilai solidaritas sosial yang tinggi.

    Pemilihan bulan Zulkaidah sebagai waktu pelaksanaan juga memiliki makna tersendiri. Dalam kearifan lokal Jawa, bulan ini dikenal sebagai bulan Apit, masa transisi yang dianggap penuh kehati-hatian sebelum menyambut bulan haji, Zulhijah. Melalui tradisi ini, masyarakat berharap mendapat berkah dan keselamatan bagi diri, keluarga, serta seluruh lingkungan.

    Selain sedekah bumi, Cilacap juga dikenal dengan tradisi sedekah laut, yang memiliki semangat serupa, yaitu menghormati alam dan bersyukur atas hasil laut.

    Pemerintah daerah, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cilacap, secara aktif mendukung pelestarian tradisi ini. Setiap tahun, mereka melakukan pendokumentasian dan pembinaan terhadap penyelenggara sedekah bumi di berbagai desa, sebagai upaya menjaga kekayaan budaya lokal agar tetap hidup dan dikenal oleh generasi mendatang.

  • Legen: Warisan Manis dari Tanah Tuban

    Legen: Warisan Manis dari Tanah Tuban

    Nusantara – Legen bukan sekadar minuman pelepas dahaga. Ia adalah bagian dari jejak sejarah panjang yang menghubungkan masa kejayaan kerajaan Nusantara dengan kearifan lokal masyarakat Tuban, Jawa Timur. Minuman tradisional ini telah eksis sejak zaman Majapahit, dan hingga kini tetap lestari sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat pesisir utara Pulau Jawa.

    Legen berasal dari cairan hasil penyadapan bunga jantan pohon siwalan atau lontar (Borassus flabellifer). Proses penyadapan dilakukan dengan hati-hati, yakni dengan memotong tandan bunga jantan yang belum mekar, kemudian menampung air nira yang menetes dalam wadah bambu atau botol selama beberapa jam. Cairan ini kemudian dapat langsung diminum atau diolah lebih lanjut menjadi produk turunan seperti gula merah dan tuak (jika difermentasi).

    Minuman ini memiliki rasa manis alami yang lembut, berpadu dengan aroma khas yang menyegarkan. Kandungan gulanya cukup tinggi, menjadikannya sumber energi alami yang dipercaya dapat menambah stamina dan memperbaiki sistem pencernaan. Tak heran, pada masa silam, legen menjadi bekal para pelaut dan pedagang yang singgah di pelabuhan Tuban—salah satu kota pelabuhan penting dalam jaringan perdagangan maritim kerajaan Majapahit.

    Legen juga diyakini memiliki nilai spiritual dan simbolis. Dalam berbagai upacara adat, minuman ini kerap disajikan sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu atau sesaji dalam tradisi masyarakat agraris. Rasanya yang manis dan proses pembuatannya yang alami mencerminkan filosofi hidup sederhana, selaras dengan alam, dan menghargai warisan leluhur.

    Kini, di tengah derasnya arus modernisasi dan menjamurnya minuman instan, legen tetap bertahan sebagai ikon budaya lokal. Di berbagai sudut Tuban, para penjaja legen masih bisa ditemui dengan wadah-wadah bambu atau botol plastik berisi cairan bening kekuningan yang menggoda.

    Menyeruput legen bukan hanya soal rasa—melainkan juga menghidupkan kembali cerita-cerita lama dari tanah yang pernah berjaya, dan mengingatkan kita bahwa warisan budaya terbaik sering kali tersimpan dalam hal-hal yang tampak sederhana.

    Legen: Tradisi Manis yang Tetap Bertahan

    Meskipun manfaat kesehatannya belum banyak didukung oleh penelitian ilmiah, kepercayaan masyarakat terhadap khasiat legen sebagai sumber energi alami tetap kuat. Di berbagai wilayah di Jawa Timur—terutama di Tuban—legen masih menjadi bagian dari keseharian sekaligus oleh-oleh khas yang diburu wisatawan.

    Dalam menghadapi tantangan zaman, sejumlah pelaku usaha mulai berinovasi untuk menjaga kualitas dan higienitas minuman ini. Mereka menerapkan proses produksi yang lebih bersih, seperti menggunakan botol steril dan meminimalkan potensi kontaminasi saat penyadapan. Upaya ini bukan hanya untuk menjangkau pasar yang lebih luas, tetapi juga untuk mempertahankan warisan kuliner tradisional agar tetap relevan di era modern.

    Lebih dari sekadar sumber minuman, pohon siwalan sebagai bahan baku legen memiliki peran ekologis penting. Tanaman ini dikenal tahan terhadap kondisi iklim kering dan berfungsi sebagai penahan abrasi di wilayah pesisir Tuban. Dengan kata lain, keberadaan pohon siwalan tidak hanya mendukung tradisi, tapi juga membantu menjaga keseimbangan lingkungan.

    Tak hanya menghasilkan legen, pohon siwalan juga memberikan manfaat lain: buahnya yang dikenal sebagai kolang-kaling menjadi bahan makanan populer, sedangkan daunnya sering diolah menjadi kerajinan anyaman yang bernilai ekonomis. Ini menjadikan pohon siwalan sebagai simbol keterpaduan antara budaya, ekonomi, dan ekologi di wilayah pesisir.

    Melestarikan legen berarti juga melestarikan lanskap budaya dan alam Tuban. Ia adalah pengingat bahwa kearifan lokal seringkali tumbuh dari hubungan yang erat antara manusia dan alam sekitarnya—hubungan yang patut kita rawat dan jaga, seiring waktu terus berjalan.

  • Payung Geulis: Warisan Cantik dari Tanah Priangan

    Nusantara – Di balik lembutnya lekukan dan warna-warni hiasan yang memikat, Payung Geulis bukan sekadar pelindung dari panas atau hujan. Ia adalah perwujudan seni tradisional khas Jawa Barat, terutama dari Tasikmalaya, kota yang dikenal sebagai pusat kerajinan tangan dan industri kreatif di Tatar Sunda.

    Nama Payung Geulis berasal dari bahasa Sunda: payung berarti pelindung, sementara geulis bermakna cantik. Sesuai namanya, kerajinan ini menghadirkan sebuah objek fungsional yang dikemas dengan nilai estetika tinggi, mencerminkan kekayaan budaya, filosofi lokal, dan keterampilan para pengrajinnya.

    Seni dalam Setiap Rangka dan Warna

    Terbuat dari bahan-bahan alami, Payung Geulis menggunakan bambu sebagai rangka utamanya—biasanya bambu tali atau bambu hitam yang dikenal kuat sekaligus lentur. Rangka ini kemudian dipadukan dengan penutup dari kertas minyak khusus atau kain putih halus yang direkatkan dengan hati-hati, lalu dijemur hingga kering.

    Namun, keunikan sejati dari Payung Geulis terletak pada tahap akhir proses pembuatannya: pelukisan dan pengecatan manual. Di sinilah para pengrajin menunjukkan kemahirannya. Mereka menghias permukaan payung dengan motif flora, fauna, ornamen tradisional Sunda, hingga simbol-simbol penuh makna yang menjadi warisan turun-temurun. Setiap garis dan warna tidak hanya memperindah, tetapi juga menyampaikan cerita dan filosofi budaya.

    Tradisi yang Terus Hidup

    Membuat satu Payung Geulis bukan pekerjaan satu hari. Dibutuhkan ketelitian, kesabaran, dan pengalaman yang panjang. Tak jarang, keterampilan ini diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, menjadikannya bukan sekadar kerajinan, melainkan bagian dari identitas masyarakat Tasikmalaya.

    Kini, Payung Geulis tak hanya menjadi ornamen upacara adat atau dekorasi acara seni budaya. Ia juga menjadi suvenir bernilai tinggi, ikon pariwisata, hingga inspirasi bagi pengembangan produk kreatif masa kini.

    Payung Geulis: Ketika Tradisi Berbicara Lewat Warna dan Makna

    Keunikan Payung Geulis mencapai puncaknya pada sentuhan terakhirnya—lukisan tangan yang dikerjakan langsung oleh para seniman lokal. Motif-motif seperti melati, mawar, anggrek, burung, hingga kupu-kupu bukan hanya hiasan semata. Setiap guratan membawa makna filosofis yang mendalam: bunga melambangkan kesucian dan keanggunan, kupu-kupu menyimbolkan transformasi dan keindahan dalam perubahan, sedangkan burung adalah gambaran kebebasan jiwa.

    Tak heran, Payung Geulis kerap hadir dalam berbagai upacara adat, pertunjukan tari, dan acara resmi sebagai pelengkap busana tradisional. Ia tak hanya menjadi benda seni, tapi juga penjaga ritual dan identitas budaya Sunda.

    Dari Tradisi Menuju Adaptasi Zaman

    Seiring waktu, Payung Geulis tak lagi sekadar alat pelindung dari panas atau hujan. Transformasinya menjadi benda dekoratif, suvenir, hingga properti seni pertunjukan menunjukkan bagaimana tradisi mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati dirinya.

    Dulu digunakan oleh kaum bangsawan atau sebagai bagian dari seremoni adat, kini Payung Geulis menghiasi ruang-ruang modern sebagai penanda rasa cinta pada warisan budaya. Bahkan, popularitasnya telah merambah pasar internasional melalui festival budaya, pameran seni, hingga promosi wisata kreatif.

    Di balik geliat ini, ada peran penting pemerintah daerah, komunitas seniman, dan pelaku ekonomi kreatif, terutama di Tasikmalaya. Mereka aktif menggelar pelatihan, pertunjukan, dan kampanye digital untuk memperkenalkan Payung Geulis kepada generasi muda—generasi yang akrab dengan budaya visual, namun kerap terputus dari akar tradisi.

    Melampaui Fungsi, Menjaga Jati Diri

    Lebih dari sekadar kerajinan, Payung Geulis adalah media komunikasi budaya. Ia menyampaikan pesan tanpa kata: tentang harmoni antara manusia dan alam, tentang keseimbangan hidup, dan tentang pentingnya menjaga identitas di tengah arus perubahan zaman.

    Dalam konteks globalisasi, Payung Geulis bahkan bisa dipandang sebagai bentuk resistensi halus terhadap homogenisasi budaya. Ia membuktikan bahwa karya lokal bisa tetap relevan, berdaya saing, dan menyentuh secara emosional.

    Oleh karena itu, mendukung kelestarian Payung Geulis bukan hanya soal menjaga kerajinan tangan, tapi juga tentang mempertahankan kebijaksanaan leluhur yang tersimpan dalam setiap detailnya. Sebuah langkah kecil untuk merawat warisan besar.

  • Tari Yospan, Tarian Persahabatan Khas Papua yang Penuh Semangat

    Tari Yospan, Tarian Persahabatan Khas Papua yang Penuh Semangat

    Nusantara – Tari Yosim Pancar atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tari Yospan merupakan salah satu tarian tradisional khas Papua yang sarat makna kebersamaan dan persahabatan. Tarian ini biasanya dibawakan oleh para pemuda dan pemudi sebagai bentuk ekspresi kegembiraan, kekompakan, serta ajang mempererat tali silaturahmi.

    Dilansir dari laman Indonesia Kaya, Tari Yospan lahir dari perpaduan dua tarian rakyat Papua, yakni Tari Yosim dan Tari Pancar. Dari sinilah nama “Yospan” berasal, menggabungkan dua identitas budaya yang berbeda namun saling melengkapi.

    Asal-usul Tari Yosim dan Pancar

    Tari Yosim sendiri memiliki gaya gerakan yang terinspirasi dari dansa barat, mirip seperti tarian Poloneis. Tarian ini diyakini berasal dari daerah Sarmi, sebuah kabupaten di pesisir utara Papua yang dekat dengan Sungai Mamberamo. Sumber lain menyebutkan bahwa asalnya dari wilayah Teluk Saireri, seperti Serui dan Waropen.

    Sementara itu, Tari Pancar mulai berkembang di daerah Biak Numfor dan Manokwari sejak awal tahun 1960-an. Gerakan awalnya terinspirasi dari akrobatik di udara, menyerupai daun kering yang jatuh melayang tertiup angin. Tarian ini dahulu dikenal dengan nama Pancar Gas, sebelum akhirnya disederhanakan menjadi “Pancar”.

    Gerakan dan Penyajian Tari Yospan

    Tari Yospan dibawakan oleh dua kelompok utama: regu musisi dan regu penari. Gerakannya sangat dinamis dan energik, mencerminkan semangat masyarakat Papua. Beberapa gerakan dasar yang populer dalam tarian ini antara lain pancar gas, gale-gale, jef, pacul tiga, dan seka.

    Keunikan Tari Yospan juga terlihat dari busana dan aksesori para penarinya yang mencerminkan budaya lokal. Selain itu, alat musik yang digunakan pun khas, antara lain gitar, ukulele (juk), tifa, dan stem bas (bass akustik). Perpaduan alat musik modern dan tradisional ini memberikan warna tersendiri dalam penampilan Yospan.

    Popularitas di Kalangan Generasi Muda

    Hingga kini, Tari Yospan masih sangat populer di kalangan generasi muda Papua. Tarian ini sering ditampilkan dalam berbagai kesempatan, mulai dari acara adat, penyambutan tamu, hingga festival seni dan budaya. Selain menjadi media hiburan, Yospan juga menjadi simbol kebanggaan dan identitas budaya masyarakat Papua yang terus dilestarikan.

  • Suanggi, Legenda Ilmu Hitam yang Menyeramkan dari Tanah Papua

    Suanggi, Legenda Ilmu Hitam yang Menyeramkan dari Tanah Papua

    Nusantara – Setiap daerah di Indonesia memiliki cerita rakyat atau legenda urban yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat setempat. Di wilayah Timur Indonesia, khususnya Tanah Papua, dikenal sebuah legenda menyeramkan yang erat kaitannya dengan ilmu hitam, yakni suanggi.

    Dikutip dari berbagai sumber, istilah suanggi di Indonesia Timur merujuk pada segala hal yang berhubungan dengan praktik sihir atau kekuatan gaib jahat. Penyebutan ini bisa merujuk pada sosok manusia maupun benda yang diyakini memiliki kekuatan mistis.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata suanggi memiliki beberapa makna, di antaranya adalah burung hantu, kepercayaan lama masyarakat suku Aru, dan juga roh jahat yang dipercayai oleh suku Belu. Konon, roh ini berkeliaran di malam hari untuk memangsa manusia.

    Suanggi dipercaya memiliki kemampuan untuk berubah wujud menjadi berbagai bentuk, termasuk binatang. Kemampuan ini digunakan untuk menyusup ke rumah targetnya tanpa menimbulkan kecurigaan.

    Sebagai makhluk atau sosok yang identik dengan ilmu hitam, suanggi diyakini membutuhkan kekuatan tambahan dari korbannya untuk memperkuat kemampuannya. Banyak yang percaya bahwa suanggi sebenarnya adalah manusia biasa yang menguasai ilmu untuk mencelakai atau membunuh secara gaib. Ilmu tersebut kemudian digunakan oleh individu tertentu untuk membalas dendam atau mencelakai orang lain.

    Dalam menjalankan aksinya, suanggi dikabarkan memiliki dua cara untuk menghabisi korbannya: melalui praktik santet yang dikenal dengan sebutan doti-doti, dan pembunuhan langsung. Pada metode kedua, suanggi menggunakan benda-benda kecil seperti batu atau tanah yang telah dirapal dengan mantra untuk menyerang korbannya. Setelah terkena, korban akan kehilangan kesadaran dan menjadi sasaran empuk bagi suanggi.

    Cerita tentang suanggi menjadi bagian penting dari budaya dan kepercayaan masyarakat Papua. Meski sulit dibuktikan secara ilmiah, legenda ini tetap hidup dan menjadi bagian dari kisah-kisah mistis yang mewarnai kehidupan di Indonesia Timur.

    Kisah Kelam Suanggi: Dari Penyiksaan hingga Ritual Kematian Ganda

    Sebelum melancarkan aksinya, suanggi dikisahkan memiliki metode yang kejam dan terencana. Salah satunya adalah dengan melucuti pakaian korbannya. Tujuannya bukan sekadar menyiksa, melainkan untuk menghilangkan jejak kekerasan yang bisa tertinggal pada pakaian. Ini membuat kejahatan suanggi tampak seolah tidak pernah terjadi.

    Setelah korban dibunuh, suanggi tak langsung pergi. Ia akan menjilat luka-luka pada tubuh korban. Melalui kekuatan ilmu hitam yang dimilikinya, luka dan memar tersebut konon bisa menghilang tanpa bekas, sehingga tidak akan ditemukan tanda-tanda kekerasan ketika tubuh korban diperiksa.

    Namun yang paling menyeramkan adalah kemampuan suanggi membangkitkan kembali korbannya dari kematian, hanya untuk membunuhnya sekali lagi. Kali ini, kematian korban biasanya tampak wajar—seperti karena kecelakaan, terjatuh, atau sebab-sebab alami lain, membuatnya sulit dicurigai sebagai hasil dari tindakan gaib.

    Usai menuntaskan misi gelapnya, suanggi disebut-sebut akan menari dan menyanyi di depan rumah orang yang telah mempekerjakannya. Sebagai simbol keberhasilan, ia akan menyerahkan potongan rambut korban kepada sang pemberi tugas sebagai bentuk bukti bahwa permintaan telah dilaksanakan.

    Kepercayaan terhadap suanggi telah diwariskan secara turun-temurun melalui cerita rakyat yang diceritakan secara lisan, membentuk bagian dari budaya mistis masyarakat Indonesia Timur. Meski paling terkenal di Papua dan Maluku, legenda suanggi juga telah menyebar dan dikenal di wilayah lain di Nusantara.

    Cerita-cerita ini tetap hidup sebagai bagian dari identitas budaya yang penuh makna, namun juga menyimpan sisi kelam dari keyakinan terhadap kekuatan ilmu hitam dan balas dendam gaib.

  • Kedewan: Tradisi Pengobatan Spiritual Masyarakat Lombok Timur

    Kedewan: Tradisi Pengobatan Spiritual Masyarakat Lombok Timur

    Nusantara – Di Desa Songak, Lombok Timur, hidup sebuah tradisi pengobatan unik bernama kedewan. Praktik ini bukan sekadar metode penyembuhan, tetapi juga diyakini sebagai bentuk pelunasan hutang spiritual yang diwariskan secara turun-temurun.

    Kedewan dilakukan di dua lokasi sakral: Masjid Bengan dan sebuah makam keramat di desa tersebut. Masyarakat percaya bahwa kedua tempat itu memiliki kekuatan spiritual yang mampu menjadi perantara antara manusia dengan alam gaib dalam proses penyembuhan.

    Dilansir dari Journal of Lombok Studies, kedewan merupakan bentuk pengobatan alternatif yang bersifat lokal dan mistis. Ketika pengobatan medis tidak lagi membuahkan hasil, banyak warga yang memilih jalur spiritual ini sebagai ikhtiar terakhir mereka.

    Masjid Bengan sendiri merupakan bangunan kuno yang asal-usul pendirinya tidak diketahui secara pasti. Dalam kepercayaan warga, masjid ini menjadi titik awal dimulainya ritual kedewan. Setelah berziarah ke masjid, prosesi dilanjutkan ke makam keramat yang dipercaya sebagai tempat tinggal spiritual leluhur desa.

    Konon, penghuni pertama Desa Songak pernah menetap di lokasi yang kini menjadi Masjid Bengan. Sebelum menghilang secara misterius, ia meninggalkan pesan agar orang sakit datang ke masjid dan makam sambil membawa daun sirih dan rokok—dua benda yang menjadi perlengkapan utama dalam ritual kedewan.

    Proses kedewan dilakukan dalam beberapa tahapan. Penderita atau keluarganya terlebih dahulu datang untuk berziarah ke kedua tempat suci tersebut. Setelah itu, mereka berkonsultasi dengan mangku atau penjaga makam guna mencari tahu penyebab penyakit atau gangguan yang dialami. Jika dianggap perlu, maka upacara khusus akan dilakukan, dengan keluarga mempersiapkan berbagai perlengkapan sesuai petunjuk sang mangku.

    Tradisi kedewan bukan hanya soal pengobatan, melainkan juga menjadi wujud keyakinan dan hubungan spiritual yang kuat antara masyarakat dan warisan leluhur mereka.

    Penyembuhan Jiwa Lewat Jalan Spiritual

    Salah satu bagian penting dalam tradisi kedewan di Desa Songak, Lombok Timur, adalah pagelaran tari penyembuhan yang digelar sesuai dengan kehendak roh penunggu. Tarian ini bukan sekadar pertunjukan budaya, melainkan bagian inti dari upacara penyembuhan spiritual yang diyakini dapat mengusir gangguan gaib.

    Masyarakat setempat percaya bahwa gangguan jiwa atau fenomena kesurupan—yang dikenal dengan istilah kerandingan—disebabkan oleh intervensi makhluk halus penghuni tempat-tempat sakral, seperti masjid kuno, makam keramat, atau tujuh titik batas desa yang dianggap angker.

    Gejala kerandingan sering kali mencakup halusinasi pendengaran dan penglihatan, serta sensasi seolah-olah tengah berkomunikasi dengan entitas gaib. Dalam kondisi seperti ini, penderita kerap mengucapkan permintaan aneh, seperti meminta emas atau benda-benda tertentu yang dipercaya sebagai syarat penyembuhan.

    Tradisi kedewan juga tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan erat dengan dua ritual lainnya, yakni ngayu-ayu dan nyaur. Ngayu-ayu dilakukan ketika seseorang mengalami musibah atau penyakit, sedangkan nyaur merupakan wujud rasa syukur setelah permohonan atau nazar dikabulkan.

    Menariknya, masyarakat percaya bahwa mengabaikan nazar yang telah diucapkan dalam prosesi ini bisa memicu gangguan jiwa. Gangguan juga diyakini muncul jika seseorang melanggar adat atau melakukan kesalahan terhadap roh penunggu desa.

    Berbeda dari pendekatan medis modern yang menitikberatkan pada gangguan biologis otak, kedewan menekankan penyembuhan melalui jalan spiritual dan kebudayaan. Prosesnya pun tidak mengikuti jadwal pasti—lamanya penyembuhan tergantung pada kondisi penderita dan ‘negosiasi’ dengan makhluk halus yang dipercaya sebagai penyebab gangguan.

    Desa Songak sendiri mencerminkan percampuran budaya Lombok asli dengan pengaruh Bali. Walaupun mayoritas penduduk beragama Islam, beberapa ritual dan kepercayaan lokal masih menunjukkan jejak kuat dari unsur Hindu.

    Hingga kini, meski dunia telah bergerak ke arah modernitas, kedewan tetap dijalankan dengan keyakinan penuh oleh masyarakat Songak, menjadi bukti hidup bagaimana tradisi, spiritualitas, dan budaya bisa saling bersinggungan dalam praktik pengobatan yang unik.