Tag: kepercayaan

  • Suanggi, Legenda Ilmu Hitam yang Menyeramkan dari Tanah Papua

    Suanggi, Legenda Ilmu Hitam yang Menyeramkan dari Tanah Papua

    Nusantara – Setiap daerah di Indonesia memiliki cerita rakyat atau legenda urban yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat setempat. Di wilayah Timur Indonesia, khususnya Tanah Papua, dikenal sebuah legenda menyeramkan yang erat kaitannya dengan ilmu hitam, yakni suanggi.

    Dikutip dari berbagai sumber, istilah suanggi di Indonesia Timur merujuk pada segala hal yang berhubungan dengan praktik sihir atau kekuatan gaib jahat. Penyebutan ini bisa merujuk pada sosok manusia maupun benda yang diyakini memiliki kekuatan mistis.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata suanggi memiliki beberapa makna, di antaranya adalah burung hantu, kepercayaan lama masyarakat suku Aru, dan juga roh jahat yang dipercayai oleh suku Belu. Konon, roh ini berkeliaran di malam hari untuk memangsa manusia.

    Suanggi dipercaya memiliki kemampuan untuk berubah wujud menjadi berbagai bentuk, termasuk binatang. Kemampuan ini digunakan untuk menyusup ke rumah targetnya tanpa menimbulkan kecurigaan.

    Sebagai makhluk atau sosok yang identik dengan ilmu hitam, suanggi diyakini membutuhkan kekuatan tambahan dari korbannya untuk memperkuat kemampuannya. Banyak yang percaya bahwa suanggi sebenarnya adalah manusia biasa yang menguasai ilmu untuk mencelakai atau membunuh secara gaib. Ilmu tersebut kemudian digunakan oleh individu tertentu untuk membalas dendam atau mencelakai orang lain.

    Dalam menjalankan aksinya, suanggi dikabarkan memiliki dua cara untuk menghabisi korbannya: melalui praktik santet yang dikenal dengan sebutan doti-doti, dan pembunuhan langsung. Pada metode kedua, suanggi menggunakan benda-benda kecil seperti batu atau tanah yang telah dirapal dengan mantra untuk menyerang korbannya. Setelah terkena, korban akan kehilangan kesadaran dan menjadi sasaran empuk bagi suanggi.

    Cerita tentang suanggi menjadi bagian penting dari budaya dan kepercayaan masyarakat Papua. Meski sulit dibuktikan secara ilmiah, legenda ini tetap hidup dan menjadi bagian dari kisah-kisah mistis yang mewarnai kehidupan di Indonesia Timur.

    Kisah Kelam Suanggi: Dari Penyiksaan hingga Ritual Kematian Ganda

    Sebelum melancarkan aksinya, suanggi dikisahkan memiliki metode yang kejam dan terencana. Salah satunya adalah dengan melucuti pakaian korbannya. Tujuannya bukan sekadar menyiksa, melainkan untuk menghilangkan jejak kekerasan yang bisa tertinggal pada pakaian. Ini membuat kejahatan suanggi tampak seolah tidak pernah terjadi.

    Setelah korban dibunuh, suanggi tak langsung pergi. Ia akan menjilat luka-luka pada tubuh korban. Melalui kekuatan ilmu hitam yang dimilikinya, luka dan memar tersebut konon bisa menghilang tanpa bekas, sehingga tidak akan ditemukan tanda-tanda kekerasan ketika tubuh korban diperiksa.

    Namun yang paling menyeramkan adalah kemampuan suanggi membangkitkan kembali korbannya dari kematian, hanya untuk membunuhnya sekali lagi. Kali ini, kematian korban biasanya tampak wajar—seperti karena kecelakaan, terjatuh, atau sebab-sebab alami lain, membuatnya sulit dicurigai sebagai hasil dari tindakan gaib.

    Usai menuntaskan misi gelapnya, suanggi disebut-sebut akan menari dan menyanyi di depan rumah orang yang telah mempekerjakannya. Sebagai simbol keberhasilan, ia akan menyerahkan potongan rambut korban kepada sang pemberi tugas sebagai bentuk bukti bahwa permintaan telah dilaksanakan.

    Kepercayaan terhadap suanggi telah diwariskan secara turun-temurun melalui cerita rakyat yang diceritakan secara lisan, membentuk bagian dari budaya mistis masyarakat Indonesia Timur. Meski paling terkenal di Papua dan Maluku, legenda suanggi juga telah menyebar dan dikenal di wilayah lain di Nusantara.

    Cerita-cerita ini tetap hidup sebagai bagian dari identitas budaya yang penuh makna, namun juga menyimpan sisi kelam dari keyakinan terhadap kekuatan ilmu hitam dan balas dendam gaib.

  • Kedewan: Tradisi Pengobatan Spiritual Masyarakat Lombok Timur

    Kedewan: Tradisi Pengobatan Spiritual Masyarakat Lombok Timur

    Nusantara – Di Desa Songak, Lombok Timur, hidup sebuah tradisi pengobatan unik bernama kedewan. Praktik ini bukan sekadar metode penyembuhan, tetapi juga diyakini sebagai bentuk pelunasan hutang spiritual yang diwariskan secara turun-temurun.

    Kedewan dilakukan di dua lokasi sakral: Masjid Bengan dan sebuah makam keramat di desa tersebut. Masyarakat percaya bahwa kedua tempat itu memiliki kekuatan spiritual yang mampu menjadi perantara antara manusia dengan alam gaib dalam proses penyembuhan.

    Dilansir dari Journal of Lombok Studies, kedewan merupakan bentuk pengobatan alternatif yang bersifat lokal dan mistis. Ketika pengobatan medis tidak lagi membuahkan hasil, banyak warga yang memilih jalur spiritual ini sebagai ikhtiar terakhir mereka.

    Masjid Bengan sendiri merupakan bangunan kuno yang asal-usul pendirinya tidak diketahui secara pasti. Dalam kepercayaan warga, masjid ini menjadi titik awal dimulainya ritual kedewan. Setelah berziarah ke masjid, prosesi dilanjutkan ke makam keramat yang dipercaya sebagai tempat tinggal spiritual leluhur desa.

    Konon, penghuni pertama Desa Songak pernah menetap di lokasi yang kini menjadi Masjid Bengan. Sebelum menghilang secara misterius, ia meninggalkan pesan agar orang sakit datang ke masjid dan makam sambil membawa daun sirih dan rokok—dua benda yang menjadi perlengkapan utama dalam ritual kedewan.

    Proses kedewan dilakukan dalam beberapa tahapan. Penderita atau keluarganya terlebih dahulu datang untuk berziarah ke kedua tempat suci tersebut. Setelah itu, mereka berkonsultasi dengan mangku atau penjaga makam guna mencari tahu penyebab penyakit atau gangguan yang dialami. Jika dianggap perlu, maka upacara khusus akan dilakukan, dengan keluarga mempersiapkan berbagai perlengkapan sesuai petunjuk sang mangku.

    Tradisi kedewan bukan hanya soal pengobatan, melainkan juga menjadi wujud keyakinan dan hubungan spiritual yang kuat antara masyarakat dan warisan leluhur mereka.

    Penyembuhan Jiwa Lewat Jalan Spiritual

    Salah satu bagian penting dalam tradisi kedewan di Desa Songak, Lombok Timur, adalah pagelaran tari penyembuhan yang digelar sesuai dengan kehendak roh penunggu. Tarian ini bukan sekadar pertunjukan budaya, melainkan bagian inti dari upacara penyembuhan spiritual yang diyakini dapat mengusir gangguan gaib.

    Masyarakat setempat percaya bahwa gangguan jiwa atau fenomena kesurupan—yang dikenal dengan istilah kerandingan—disebabkan oleh intervensi makhluk halus penghuni tempat-tempat sakral, seperti masjid kuno, makam keramat, atau tujuh titik batas desa yang dianggap angker.

    Gejala kerandingan sering kali mencakup halusinasi pendengaran dan penglihatan, serta sensasi seolah-olah tengah berkomunikasi dengan entitas gaib. Dalam kondisi seperti ini, penderita kerap mengucapkan permintaan aneh, seperti meminta emas atau benda-benda tertentu yang dipercaya sebagai syarat penyembuhan.

    Tradisi kedewan juga tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan erat dengan dua ritual lainnya, yakni ngayu-ayu dan nyaur. Ngayu-ayu dilakukan ketika seseorang mengalami musibah atau penyakit, sedangkan nyaur merupakan wujud rasa syukur setelah permohonan atau nazar dikabulkan.

    Menariknya, masyarakat percaya bahwa mengabaikan nazar yang telah diucapkan dalam prosesi ini bisa memicu gangguan jiwa. Gangguan juga diyakini muncul jika seseorang melanggar adat atau melakukan kesalahan terhadap roh penunggu desa.

    Berbeda dari pendekatan medis modern yang menitikberatkan pada gangguan biologis otak, kedewan menekankan penyembuhan melalui jalan spiritual dan kebudayaan. Prosesnya pun tidak mengikuti jadwal pasti—lamanya penyembuhan tergantung pada kondisi penderita dan ‘negosiasi’ dengan makhluk halus yang dipercaya sebagai penyebab gangguan.

    Desa Songak sendiri mencerminkan percampuran budaya Lombok asli dengan pengaruh Bali. Walaupun mayoritas penduduk beragama Islam, beberapa ritual dan kepercayaan lokal masih menunjukkan jejak kuat dari unsur Hindu.

    Hingga kini, meski dunia telah bergerak ke arah modernitas, kedewan tetap dijalankan dengan keyakinan penuh oleh masyarakat Songak, menjadi bukti hidup bagaimana tradisi, spiritualitas, dan budaya bisa saling bersinggungan dalam praktik pengobatan yang unik.