Tag: Kecamatan Pace

  • Wayang Timplong: Warisan Budaya Nganjuk yang Terancam Punah

    Wayang Timplong: Warisan Budaya Nganjuk yang Terancam Punah

    NusantaraWayang timplong adalah salah satu bentuk kesenian tradisional khas Nganjuk, Jawa Timur, yang telah hadir sejak lebih dari satu abad lalu. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, seni pertunjukan ini kini masuk dalam kategori warisan budaya yang terancam punah.

    Asal Usul dan Pencipta Wayang Timplong

    Sosok di balik lahirnya wayang timplong adalah Ki Bancol, atau akrab disapa Mbah Bancol, yang berasal dari Grobogan, Jawa Tengah. Sejak kecil, Ki Bancol dikenal gemar menonton wayang klithik, sejenis wayang dari kayu berukuran kecil yang juga dikenal sebagai wayang krucil.

    Kegemarannya itu kemudian menjadi inspirasi bagi Ki Bancol untuk menciptakan bentuk kesenian wayang yang baru. Ketika ia pindah dan menetap di Dusun Kedung Bajul, Desa Jetis, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk, keinginannya untuk menghadirkan hiburan bagi masyarakat setempat semakin kuat.

    Lahirnya Wayang Timplong

    Pada tahun 1910, saat membelah batang pohon waru untuk dijadikan kayu bakar, Ki Bancol melihat bentuk menyerupai wayang pada potongan kayu tersebut. Tergerak oleh bayangan itu, ia pun mulai memahat kayu menjadi tokoh wayang. Dari satu bentuk, berkembang menjadi seperangkat tokoh wayang baru—yang kemudian dikenal sebagai wayang timplong. Rangkuman dari Anugerahslot Nusantara.

    Tak berhenti di situ, ia juga menciptakan perangkat gamelan sederhana untuk mengiringi pertunjukan. Alat musik pengiring terdiri dari:

    • Satu gambang bambu
    • Sebuah kendang
    • Tiga kenong
    • Sebuah kempul (gong kecil)

    Dengan alat-alat ini, Ki Bancol menyusun beberapa gendhing pengiring, yaitu:

    • Grendhel untuk adegan pembuka (jejeran)
    • Ladrang untuk adegan perang
    • Awe-awe untuk penanda adegan (tandhakan)

    Namun, karena keterbatasan alat musik, irama dari ketiga gendhing ini terdengar serupa di telinga orang awam. Menariknya, bunyi gambang bambu menghasilkan suara seperti “thing-thong”, sedangkan kenong mengeluarkan suara “plong”. Dari kombinasi bunyi tersebut, muncullah nama “timplong” yang kemudian menjadi identitas khas kesenian ini.

    Nilai Budaya dan Ancaman Kepunahan

    Wayang timplong bukan hanya sarana hiburan, melainkan juga media penyampaian pesan moral, sosial, dan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat Nganjuk tempo dulu. Sayangnya, kesenian ini kini hampir tidak dikenal oleh generasi muda, dan jumlah seniman yang menguasainya pun semakin sedikit.

    Pelestarian wayang timplong kini menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas budaya dan pemerintah daerah. Tanpa dukungan nyata, bukan tidak mungkin warisan budaya lokal ini benar-benar lenyap dari panggung kesenian Nusantara.

    Ragam Nama dan Ciri Khas Wayang Timplong

    Selain dikenal sebagai wayang timplong, masyarakat Nganjuk juga menyebut kesenian ini dengan nama lain. Beberapa menyebutnya wayang kricik, merujuk pada bunyi “kricik-kricik” yang muncul saat dimainkan. Ada pula yang menyebutnya wayang gung, karena suara khas dari kempul dalam gamelan yang memberi kesan mendalam pada pertunjukan.

    Meskipun berakar dari wayang klithik—sejenis wayang kayu pipih—terdapat perbedaan pendapat tentang klasifikasi wayang timplong. Sebagian orang menganggapnya sebagai varian dari wayang klithik, namun tidak sedikit pula yang menilai keduanya berbeda secara mendasar dalam hal bentuk, karakter, dan penyajiannya.

    Bahan dan Bentuk Wayang

    Wayang timplong dibuat dari kayu sengon laut atau kayu mentaos. Berbeda dari wayang kulit yang sarat dengan ukiran, wayang timplong tampil tanpa ukiran dan berbentuk pipih sederhana. Meski demikian, ekspresi dan karakter tokoh digambarkan melalui warna pada wajah, seperti hitam dan putih, untuk menunjukkan sifat dan peran mereka.

    Bagian tangan wayang ini terbuat dari kulit binatang, memberikan fleksibilitas gerak saat dimainkan. Dalam satu pagelaran lengkap, terdapat sekitar 70 tokoh, termasuk tokoh manusia, hewan, hingga bentuk senjata.

    Namun, hanya sembilan tokoh utama yang dianggap sebagai tokoh pakem, yaitu:

    1. Ksatria (prajurit)
    2. Satria Muda
    3. Putri Sekartaji
    4. Ratu (Putri)
    5. Panji
    6. Satrio Sepuh
    7. Patih
    8. Tumenggung
    9. Ratu kerajaan (Kediri, Majapahit, Jenggala)

    Dari semua tokoh tersebut, hanya beberapa yang memiliki karakterisasi mendalam, seperti Panji, Sekartaji, dan Kilisuci. Tokoh lainnya lebih berperan sebagai pelengkap cerita. Selain itu, terdapat dua Panakawan khas wayang timplong, yaitu Kedrah dan Gethik Miri.

    Tata Pementasan

    Pertunjukan wayang timplong digelar oleh seorang dalang yang memainkan seluruh tokoh sambil membawakan cerita. Dalang dibantu oleh lima orang panjak, yakni para penabuh gamelan pengiring. Tidak seperti pementasan wayang kulit, wayang timplong tidak menggunakan pesinden. Iringan gamelan tetap menjadi nyawa pertunjukan, namun suasana lebih sederhana dan khidmat.

    Wayang timplong tidak hanya unik dalam bentuk dan bunyinya, tetapi juga dalam nilai kultural yang dikandungnya. Di tengah gempuran zaman dan modernisasi, kesenian ini memanggil untuk dilestarikan—sebagai bagian dari jati diri masyarakat Nganjuk yang kaya akan khazanah budaya.