Tag: kalimantan

  • Banaspati: Sosok Mistis yang Melegenda dalam Cerita Horor Nusantara

    Banaspati: Sosok Mistis yang Melegenda dalam Cerita Horor Nusantara

    Nusantara – Bagi masyarakat Indonesia, nama Banaspati bukanlah sesuatu yang asing. Sosok ini merupakan bagian dari urban legend yang telah lama hidup di tengah-tengah masyarakat dan dikenal luas di berbagai daerah.

    Legenda tentang Banaspati telah diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian dari cerita horor lokal yang terus diceritakan hingga kini. Dalam berbagai kisah, Banaspati digambarkan sebagai makhluk supranatural menyeramkan berbentuk bola api melayang yang muncul di malam hari.

    Ciri khasnya adalah penampilan menakutkan, sering kali digambarkan sebagai bola api besar atau sosok manusia yang terbakar dan melayang di udara sambil memancarkan hawa panas yang menyengat. Sosok ini dipercaya memiliki kekuatan gaib dan kerap muncul untuk mencelakai manusia.

    Dalam banyak versi cerita rakyat rangkuman Anugerahslot Nusantara. Banaspati diyakini sebagai makhluk jahat yang berasal dari ilmu hitam, kutukan, atau praktik spiritual sesat. Ia disebut-sebut sering menyerang orang yang berjalan sendirian di tempat sunyi, seperti hutan lebat atau jalan gelap di malam hari.

    Meskipun terkesan mistis, kepercayaan terhadap keberadaan Banaspati masih cukup kuat, baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisional dan spiritual. Tak sedikit orang yang mengaku pernah melihat atau mendengar langsung cerita dari kerabat atau tetangga tentang sosok ini.

    Kisah Banaspati juga telah menarik perhatian generasi muda, meskipun tidak semua mempercayainya. Namun demikian, legenda ini tetap menjadi bagian penting dari kekayaan cerita horor nusantara, menambah warna pada ragam mitos dan kepercayaan yang hidup dalam budaya Indonesia.

    Mengenal Banaspati: Sosok Mistis Penguasa Api dalam Legenda Jawa dan Kalimantan

    Banaspati merupakan salah satu makhluk gaib yang paling dikenal dalam cerita rakyat di Pulau Jawa dan Kalimantan. Dalam berbagai kisah mistis yang berkembang, sosok ini kerap digambarkan sebagai bola api terbang atau manusia terbakar yang muncul pada malam hari, membawa hawa panas dan aura menyeramkan.

    Asal Usul Nama Banaspati

    Nama “Banaspati” berasal dari bahasa Sanskerta, di mana kata “bana” berarti api, dan “pati” berarti raja atau penguasa. Dengan demikian, Banaspati dapat diartikan sebagai penguasa api, sesuai dengan wujudnya yang berapi-api dan mengerikan.

    Banaspati dalam Relief dan Arsitektur Candi

    Menurut jurnal dari Universitas Udayana, Banaspati juga dikenal dalam bentuk ikonografi kuno, terutama di relief candi-candi di Jawa Timur. Ia sering digambarkan sebagai kodok berkepala raksasa dan biasanya dipahat di atas lubang pintu masuk ruang suci candi. Fungsi simboliknya adalah sebagai penangkal kekuatan jahat—makhluk penjaga spiritual yang melindungi area suci dari gangguan gaib.

    Figur Banaspati dalam Budaya dan Mitologi Jawa

    Dalam masyarakat tradisional, Banaspati juga dikenal dalam dua sisi: sebagai makhluk jahat dan sebagai penjaga sakral. Dalam kisah mistis, ia sering dikaitkan dengan praktik ilmu hitam dan dipercaya sebagai makhluk yang dipelihara atau dikendalikan oleh dukun untuk tujuan tertentu—terutama yang bersifat merugikan.

    Namun, dari sisi mitologi Jawa dan pewayangan, Banaspati disebut sebagai anak Batara Guru dan Dewi Uma, dewa-dewi penting dalam kosmologi Hindu-Jawa. Meski berasal dari keluarga dewa, Banaspati digambarkan memiliki sifat ambivalen—ia bisa membantu manusia, namun juga bisa mencelakai jika tidak dihormati atau diganggu.

    Pengaruh Hindu dan Hubungan dengan Kirtimukha

    Cerita tentang Banaspati tak lepas dari pengaruh budaya India. Dalam mitologi Hindu, sosok ini sering dikaitkan dengan Kirtimukha, makhluk raksasa yang lahir dari kemarahan Dewa Siwa. Kirtimukha digambarkan dengan wajah menyeramkan dan rahang besar, dan biasa dijadikan hiasan arsitektur di atas gerbang atau pintu-pintu candi Hindu-Buddha, seperti di Candi Prambanan dan Borobudur.

    Banaspati, dengan berbagai bentuk dan kisah yang melingkupinya, mencerminkan bagaimana kepercayaan lokal berpadu dengan pengaruh budaya luar, membentuk legenda yang tetap hidup dalam masyarakat hingga hari ini—sebagai simbol penjaga dan sekaligus peringatan akan bahaya dunia gaib.

  • Kain Sasirangan, Warisan Budaya Banjar yang Sarat Makna dan Magis

    Kain Sasirangan, Warisan Budaya Banjar yang Sarat Makna dan Magis

    Nusantara – Kain sasirangan merupakan warisan budaya suku Banjar di Kalimantan Selatan yang hingga kini tetap lestari. Tak hanya indah secara visual, kain ini juga dipercaya memiliki kekuatan magis dan digunakan dalam berbagai upacara adat serta pengobatan tradisional.

    Kampung Sasirangan, Sentra Produksi dan Wisata Budaya

    Sentra pembuatan kain sasirangan berada di Kampung Sasirangan, yang terletak di Jalan Seberang Masjid, Kota Banjarmasin. Kampung ini dibentuk oleh pemerintah daerah sebagai destinasi wisata budaya sekaligus pusat produksi kain khas Banjar tersebut.

    Di tempat ini, wisatawan bisa menyaksikan langsung proses pembuatan kain sasirangan, dari tahap pewarnaan hingga hasil akhir, sekaligus membeli kain sebagai oleh-oleh khas Banjarmasin.

    Asal Usul: Dari Kain Langgundi ke Sasirangan

    Menurut catatan dalam Hikayat Banjar, kain sasirangan sudah dikenal sejak abad ke-7 dengan nama awal kain langgundi. Kisah legendarisnya melibatkan tokoh Patih Lambung Mangkurat dari Kerajaan Dipa.

    Dalam pencarian spiritual selama 40 hari 40 malam di atas rakit, Patih Lambung mendengar suara dari segumpal buih yang ternyata adalah Putri Junjung Buih. Sang putri bersedia menampakkan diri hanya jika permintaannya dipenuhi—yakni sebuah istana megah yang dibangun oleh 40 pemuda dan selembar kain panjang hasil karya 40 gadis, semuanya dalam satu hari.

    Permintaan itu berhasil dipenuhi. Putri Junjung Buih pun muncul dengan mengenakan kain langgundi berwarna kuning, dan kemudian menjadi ratu Kerajaan Dipa. Dari sinilah kain langgundi berkembang dan kini dikenal sebagai kain sasirangan.

    Kekuatan Magis dalam Kain Sasirangan

    Lebih dari sekadar pakaian, masyarakat Banjar meyakini bahwa kain sasirangan memiliki kekuatan magis yang digunakan untuk pengobatan tradisional (batatamba) dan perlindungan dari roh jahat.

    Kain yang dibuat berdasarkan pesanan khusus ini disebut kain pamintaan. Pembuatannya harus melalui serangkaian syarat dan ritual, termasuk selamatan. Warna kain juga disesuaikan dengan tujuan pengobatannya:

    • Kuning: menyembuhkan penyakit kuning
    • Merah: untuk sakit kepala atau insomnia
    • Hijau: untuk lumpuh atau stroke
    • Hitam: mengatasi demam dan gatal-gatal
    • Ungu: meredakan sakit perut
    • Cokelat: untuk gangguan kejiwaan

    Kain sasirangan bukan hanya identitas budaya, tetapi juga simbol spiritual dan kearifan lokal masyarakat Banjar yang telah bertahan selama berabad-abad.

    Kain Sasirangan: Dari Sarana Pengobatan hingga Busana Sehari-hari

    Selain warna dan proses pembuatannya yang sarat makna, cara dan bentuk pemakaian kain sasirangan juga memiliki ketentuan tersendiri, terutama ketika digunakan sebagai kain pamintaan untuk pengobatan tradisional masyarakat Banjar.

    Setiap bentuk pemakaian memiliki fungsi penyembuhan yang spesifik. Untuk mengobati demam atau penyakit kulit seperti gatal-gatal, kain dikenakan sebagai sarung (tapih bumin). Sementara itu, untuk mengatasi gangguan pencernaan seperti diare, kolera, atau disentri, kain digunakan sebagai kemben (udat) yang membalut tubuh bagian atas.

    Jika digunakan untuk mengurangi migrain, kain ini dipakai sebagai kerudung (kakamban), dililitkan atau disampirkan di kepala. Adapun untuk penyakit kepala seperti pusing atau nyeri berdenyut, pemakaiannya adalah sebagai ikat kepala (laung).

    Dari Sakral ke Fungsional

    Seiring waktu, kain sasirangan mulai mengalami pergeseran fungsi dan makna. Jika dulunya kain ini digunakan dalam konteks ritual dan pengobatan, kini ia juga dikenakan sebagai pakaian adat dalam acara resmi atau budaya.

    Namun, arus globalisasi dan perkembangan tren mode perlahan mengikis nilai sakral kain sasirangan. Penggunaannya semakin meluas dan menjadi bagian dari busana sehari-hari. Bahkan, kain ini kini diolah menjadi berbagai produk seperti gorden, taplak meja, seprai, hingga sapu tangan.

    Fenomena ini mencerminkan desakralisasi kain sasirangan, di mana unsur spiritual dan adat istiadat yang melekat pada kain mulai bergeser ke arah fungsional dan estetika modern.

    Warisan Budaya Banjar yang Terus Berkembang

    Nama sasirangan berasal dari metode pembuatannya, yaitu “sa” yang berarti satu dan “sirang” yang berarti jelujur. Kain ini dibuat melalui teknik tusuk jelujur yang kemudian diikat menggunakan benang atau tali, lalu dicelupkan ke dalam pewarna untuk menciptakan pola khas. Proses inilah yang menjadi ciri utama kain sasirangan.

    Meski kerap disebut sebagai batik Banjar, kain sasirangan memiliki perbedaan mendasar dengan batik. Jika batik dibuat dengan cara mencanting malam (lilin) di atas kain, maka sasirangan lebih menonjolkan teknik ikat celup sebagai identitasnya.

    Dari Serat Alam ke Serat Modern

    Pada awalnya, sasirangan dibuat dari benang kapas atau serat kulit kayu. Namun seiring perkembangan teknologi, para perajin kini menggunakan berbagai jenis kain modern, seperti sutera, satin, santung, balacu, kaci, polyester, hingga rayon.

    Perubahan juga terjadi dalam hal pewarnaan. Dulu, pewarna yang digunakan bersumber dari alam, seperti:

    • Kunyit atau temulawak untuk warna kuning
    • Buah mengkudu, gambir, atau kesumba untuk merah
    • Kabuau atau uar untuk hijau
    • Biji gandari untuk ungu
    • Kulit buah rambutan untuk cokelat

    Kini, banyak pengrajin beralih ke pewarna sintetis karena dianggap lebih praktis dan mudah didapat.

    Motif dan Popularitas yang Terus Tumbuh

    Kain sasirangan hadir dalam beragam motif, mulai dari sarigading, ombak sinapur karang, hiris pudak, bayam raja, hingga kambang kacang. Kreativitas para perajin juga terus melahirkan motif-motif baru yang memperkaya khazanah kain tradisional Banjar ini.

    Kepopuleran kain sasirangan terus meningkat, terutama setelah ditetapkan sebagai seragam wajib bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan pelajar di Kalimantan Selatan. Kini, kain ini tidak hanya hadir dalam upacara adat atau pengobatan tradisional, tetapi juga menjadi bagian dari mode sehari-hari dan tersedia luas di berbagai toko oleh-oleh.