Tag: budaya

  • Deretan Festival Budaya Meriahkan Indonesia Sepanjang Mei 2025

    Deretan Festival Budaya Meriahkan Indonesia Sepanjang Mei 2025

    Nusantara – Sepanjang tanggal 9 hingga 31 Mei 2025, berbagai wilayah di Indonesia akan diramaikan dengan gelaran festival budaya yang menarik. Rangkaian acara ini merupakan bagian dari program Karisma Event Nusantara (KEN), hasil kolaborasi antara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf RI), pemerintah daerah, serta para pelaku industri pariwisata.

    Festival-festival budaya tersebut tak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga berperan penting dalam pelestarian warisan budaya serta penguatan nilai-nilai luhur bangsa. Menariknya, sebagian besar dari acara ini telah menjadi agenda tahunan yang selalu dinantikan.

    Berikut adalah lima festival budaya yang akan digelar sepanjang Mei 2025:

    Dua Festival Budaya Meriahkan Mei 2025: Dari Pantai Belitung hingga Sejarah Sriwijaya

    Mei 2025 menjadi bulan yang semarak bagi pecinta budaya dan wisata di Indonesia. Dua festival budaya unggulan akan digelar sebagai bagian dari program Karisma Event Nusantara (KEN). Kedua acara ini tidak hanya menawarkan hiburan dan keindahan alam, tetapi juga menjadi ajang pelestarian warisan budaya daerah.

    1. Pesona Belitung Beach Festival (9–12 Mei 2025)

    Kembali digelar di pesisir timur Sumatra, Pesona Belitung Beach Festival siap memanjakan para pencinta pantai dan budaya maritim. Festival yang berlangsung pada 9 hingga 12 Mei 2025 ini akan mengambil tempat di Pantai Tanjung Pendam, salah satu destinasi andalan Belitung.

    Mengusung tema “Harmoni Alam dan Akulturasi Budaya Pesisir”, festival ini menampilkan beragam kegiatan, mulai dari pertunjukan seni khas pesisir, parade perahu hias, konser musik, hingga bazar kuliner laut yang menggugah selera. Pengunjung juga dapat mengikuti lokakarya kerajinan tangan khas daerah.

    Menariknya, festival ini menjadi satu-satunya wakil dari Provinsi Bangka Belitung dalam program KEN tahun ini.

    2. Festival Sriwijaya (16–18 Mei 2025)

    Palembang, ibu kota Sumatra Selatan, akan kembali menjadi tuan rumah Festival Sriwijaya yang dijadwalkan berlangsung pada 16 hingga 18 Mei 2025. Mengangkat tema “The Glory of Sriwijaya”, festival ini menjadi perayaan tahunan untuk mengenang kejayaan Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat maritim dan budaya di masa lalu.

    Bertempat di Pelataran Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera), Festival Sriwijaya ke-33 ini akan menghadirkan pertunjukan seni kolosal bertema sejarah, lengkap dengan teatrikal, sendratasik, serta parade kostum tradisional.

    Selain itu, pengunjung juga bisa menikmati berbagai sajian dari UMKM lokal, pameran budaya, jajanan khas Palembang (jajan bingen), pertunjukan musik, serta kompetisi foto dan video. Kegiatan ini turut melibatkan 17 kabupaten dan kota di Sumatra Selatan.

    Dari Semangat Dayak hingga Tradisi Laut Sukabumi

    Deretan festival budaya di Indonesia sepanjang Mei 2025 terus berlanjut. Masing-masing menyuguhkan kekayaan tradisi dan kuliner yang mencerminkan ragam budaya Nusantara. Berikut tiga festival lainnya yang tak kalah menarik:

    3. Festival Budaya Isen Mulang (17–23 Mei 2025)

    Palangka Raya, Kalimantan Tengah kembali menjadi pusat perayaan budaya dengan digelarnya Festival Budaya Isen Mulang pada 17 hingga 23 Mei 2025. Festival ini mengangkat tema “Spirit of Isen Mulang” yang berarti semangat pantang menyerah, menjadi filosofi hidup masyarakat Dayak.

    Acara ini dijuluki sebagai “olimpiade budaya” karena mencakup lebih dari 50 lomba adat, mulai dari balap perahu tradisional, atraksi seni, hingga kompetisi memasak kuliner khas Dayak. Festival ini juga merupakan bagian dari peringatan HUT ke-68 Provinsi Kalimantan Tengah, sekaligus menjadi wujud pelestarian budaya lokal.

    4. Festival Rujak Uleg (17–18 Mei 2025)

    Surabaya kembali menggelar salah satu festival kuliner teruniknya, yaitu Festival Rujak Uleg, yang tahun ini berlangsung pada 17–18 Mei 2025 di Surabaya Expo Center (eks Taman Remaja Surabaya).

    Festival ini menjadi ajang pemecahan rekor karena menghadirkan ribuan peserta yang akan ngulek rujak secara massal di tengah kota. Kegiatan ini dilengkapi dengan parade budaya, pertunjukan musik, serta bazar makanan khas Jawa Timur. Festival ini juga menjadi bagian dari peringatan Hari Jadi Kota Surabaya (HJKS) ke-732, dan tahun ini akan hadir dengan konsep yang lebih inovatif.

    5. Festival Hari Nelayan, Sukabumi (hingga 31 Mei 2025)

    Menutup deretan festival budaya Mei, Festival Hari Nelayan di Palabuhanratu, Sukabumi hadir sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa para nelayan. Diselenggarakan sejak 20 April dan akan berlangsung hingga 31 Mei 2025, festival ini menyuguhkan berbagai acara seperti upacara adat, lomba perahu, lomba memancing, pemilihan Putri Nelayan, serta pertunjukan seni pesisir.

    Puncak acara dijadwalkan pada 21 Mei 2025, ditandai dengan prosesi larung sesaji ke laut sebagai bentuk syukur dan penghormatan terhadap alam laut yang telah memberikan rezeki bagi masyarakat.

    Dengan beragam tema dan kekayaan budaya yang dihadirkan, festival-festival ini tak hanya menjadi hiburan, tetapi juga ajang edukasi dan pelestarian budaya bagi generasi muda. Apakah Anda tertarik menghadiri salah satu festival ini.

  • Ngiling Bumbu: Tradisi Kebersamaan dan Warisan Budaya dari Desa Rantau Panjang

    Ngiling Bumbu: Tradisi Kebersamaan dan Warisan Budaya dari Desa Rantau Panjang

    Nusantara – Di Desa Rantau Panjang, Kabupaten Merangin, Jambi, hidup sebuah tradisi turun-temurun yang kaya akan nilai kebersamaan dan gotong royong, yaitu ngiling bumbu. Tradisi ini berlangsung di sebuah bangunan bersejarah yang disebut rumah tuo—tempat yang dipercaya telah menjadi saksi perjalanan budaya masyarakat selama lebih dari tujuh abad.

    Mengutip dari laman Indonesia Kaya, ngiling bumbu bukan sekadar aktivitas menyiapkan bahan masakan. Ia adalah simbol solidaritas, kebersamaan, dan bahkan menjadi ajang pertemuan jodoh bagi para pemuda dan pemudi desa. Suasana penuh canda dan tawa kerap mengiringi tradisi ini, memperkuat ikatan sosial antarwarga dan meneguhkan semangat gotong royong yang dikenal dalam budaya beselang.

    Tradisi ini digelar pada momen-momen penting dalam kehidupan masyarakat, seperti sebelum turun ke ladang, menjelang panen raya, saat kenduri pernikahan, maupun dalam proses pembangunan rumah baru. Seluruh kegiatan dilakukan secara bersama-sama, dengan peran masing-masing anggota masyarakat.

    Para gadis biasanya sibuk menumbuk rempah-rempah seperti kunyit, jahe, lengkuas, dan serai, sementara yang lain memarut kelapa untuk menghasilkan santan. Di sisi lain, para pemuda bertugas menangkap belut dari sungai-sungai sekitar.

    Belut bukan hanya bahan makanan, tetapi juga simbol kekuatan dan ketahanan. Kegiatan memancing belut bahkan dijadikan semacam perlombaan tradisional yang menguji keterampilan, keberanian, dan kekompakan. Di sinilah tercipta ruang interaksi yang alami antara pemuda dan pemudi, menjalin komunikasi yang mungkin berujung pada kisah cinta.

    Semua bahan masakan yang digunakan dalam tradisi ini dikumpulkan dari ladang-ladang subur di sepanjang Sungai Lamuih—sungai yang airnya mengalir ke Sungai Tabir hingga bermuara ke Sungai Batanghari.

    Ngiling bumbu bukan hanya soal masakan. Ia adalah warisan budaya yang terus dijaga, sebagai penanda identitas lokal dan penghormatan terhadap nilai-nilai leluhur. Di tengah modernisasi, tradisi ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga kebersamaan dan hubungan antarmanusia dalam kehidupan sehari-hari.

    Ngiling Bumbu: Tradisi Cinta, Pantun, dan Masakan Leluhur

    Di masa lampau, ngiling bumbu di Desa Rantau Panjang bukan sekadar ritual menyiapkan makanan. Lebih dari itu, ia menjadi ruang interaksi sosial yang sarat makna, dikenal pula dengan sebutan ba usik sirih bergurau pinang—ungkapan lokal yang menggambarkan momen pertemuan jodoh antara pemuda dan pemudi.

    Tradisi ini biasanya dimulai dengan lantunan pantun jenaka sebagai bentuk perkenalan. Para pemuda akan memecah keheningan dengan pantun yang menggelitik namun sopan:

    “Batang salih di tepi rimbo
    Rebah sebatang ke dalam payo
    Kalun bulih abong betanyo
    Kak baju abang siapo namo?”

    Pantun tersebut akan dibalas dengan gaya khas para gadis, yang tak kalah jenaka namun tetap menjaga tata krama:

    “Eee, Bong eh
    Dari mano hendak ke mano
    Dari Jepun ke Bando Cino
    Dado salah abong betanyo
    Adik nak malang Miah namonyo.”

    Sesi berbalas pantun ini menjadi titik awal komunikasi, mencairkan suasana, dan menciptakan kedekatan emosional dalam suasana yang hangat dan penuh tawa.

    Setelah pantun-pantun saling berbalas, belut yang sebelumnya ditangkap oleh para pemuda akan diserahkan kepada para gadis untuk dimasak. Proses memasaknya dimulai dengan ngiling bumbu, di mana rempah-rempah ditumbuk secara tradisional, lalu dilanjutkan dengan ngukuih, yaitu memasak gulai belut yang dicampur dengan daun pakis.

    Masakan ini disiapkan menggunakan tungku kayu, memberi cita rasa khas yang hanya bisa dihasilkan oleh cara-cara tradisional. Gulai belut ini kemudian disantap bersama nasi dari padi yang baru dipanen, sebagai simbol syukur atas hasil bumi dan keberkahan kebersamaan.

    Uniknya, penyajian makanan tidak dilakukan di satu tempat, melainkan tersebar di beberapa rumah di sepanjang kawasan rumah tuo. Setiap rumah menjadi bagian dari perjamuan, mempererat silaturahmi dan menjadikan seluruh desa sebagai satu keluarga besar.

    Melalui tradisi ngiling bumbu, masyarakat tak hanya meracik masakan, tapi juga merajut kebersamaan, menjaga kearifan lokal, dan mungkin—menemukan cinta.

  • Ronggeng Gunung: Tarian Tradisional Sunda yang Bangkit dari Masa Kelam

    Ronggeng Gunung: Tarian Tradisional Sunda yang Bangkit dari Masa Kelam

    Nusantara – Ronggeng gunung, salah satu warisan budaya masyarakat Sunda, pernah mengalami masa suram ketika pertunjukannya dilarang oleh pemerintah karena dianggap bertentangan dengan norma kesopanan. Kini, tarian ini kembali dipentaskan dalam bentuk yang lebih modifikasi, sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya tradisional.

    Tarian ini berasal dari kisah legendaris Dewi Siti Samboja, putri Prabu Siliwangi, yang disebut-sebut sebagai tokoh utama di balik lahirnya ronggeng gunung. Menurut cerita rakyat yang berkembang, Dewi Siti Samboja menyamar menjadi penari ronggeng demi membalas dendam atas kematian kekasihnya, Raden Anggalarang, yang dibunuh oleh perampok bernama Kasalamundra.

    Dahulu, ronggeng gunung mendapat stigma negatif karena pertunjukannya melibatkan interaksi fisik antara penari perempuan dan penonton pria, yang dianggap rawan menimbulkan persoalan sosial. Karena itulah, tarian ini sempat dilarang tampil di muka umum.

    Salah satu unsur menarik dari ronggeng gunung adalah penggunaan pamelet, yaitu mantra atau doa pengasih yang dipercaya mampu membuat penonton, khususnya pria, jatuh hati kepada penari. Mantra tersebut biasanya diucapkan dalam bahasa Sunda kuno atau Jawa kuno. Meskipun banyak penari tidak lagi memahami arti dari mantra tersebut, justru hal itu menambah nuansa magis dan keramat dalam setiap pertunjukan.

    Dalam kepercayaan masyarakat setempat, fenomena seperti ini dikenal sebagai bagian dari magi produktif, yang menjadikan ronggeng gunung lebih dari sekadar hiburan, tetapi juga sarana spiritual dan budaya yang mendalam.

    Ronggeng Gunung: Antara Ritual, Budaya, dan Adaptasi Zaman

    Selain sebagai pertunjukan seni, ronggeng gunung juga memiliki fungsi ritual dalam kehidupan masyarakat Sunda. Tarian ini kerap dipentaskan dalam berbagai acara adat, seperti pesta panen padi dan upacara tradisional lainnya. Di momen-momen tersebut, ronggeng gunung menjadi bentuk sesembahan kepada leluhur sekaligus ekspresi budaya yang sarat makna spiritual.

    Seiring berjalannya waktu, ronggeng gunung mengalami sejumlah modifikasi. Perubahan dilakukan agar tarian ini tetap relevan dan dapat diterima oleh masyarakat modern, tanpa kehilangan nilai-nilai tradisionalnya. Kini, pertunjukan ronggeng gunung lebih dibatasi, hanya ditampilkan dalam acara adat tertentu, dengan gerakan yang telah disesuaikan agar lebih sopan dan sesuai norma sosial masa kini.

    Ciri khas ronggeng gunung tetap terlihat dari gerakannya yang unik dan ekspresif. Tarian ini diiringi oleh lagu-lagu tradisional Sunda yang mengangkat tema universal seperti kerinduan, cinta, dan dendam—tema yang memperkuat kesan emosional dalam setiap pertunjukan.

    Dengan keunikan dan nilai historis yang dikandungnya, ronggeng gunung tak hanya menjadi bagian dari pertunjukan seni, tetapi juga simbol identitas budaya yang berharga bagi masyarakat Sunda.

  • Kedewan: Tradisi Pengobatan Spiritual Masyarakat Lombok Timur

    Kedewan: Tradisi Pengobatan Spiritual Masyarakat Lombok Timur

    Nusantara – Di Desa Songak, Lombok Timur, hidup sebuah tradisi pengobatan unik bernama kedewan. Praktik ini bukan sekadar metode penyembuhan, tetapi juga diyakini sebagai bentuk pelunasan hutang spiritual yang diwariskan secara turun-temurun.

    Kedewan dilakukan di dua lokasi sakral: Masjid Bengan dan sebuah makam keramat di desa tersebut. Masyarakat percaya bahwa kedua tempat itu memiliki kekuatan spiritual yang mampu menjadi perantara antara manusia dengan alam gaib dalam proses penyembuhan.

    Dilansir dari Journal of Lombok Studies, kedewan merupakan bentuk pengobatan alternatif yang bersifat lokal dan mistis. Ketika pengobatan medis tidak lagi membuahkan hasil, banyak warga yang memilih jalur spiritual ini sebagai ikhtiar terakhir mereka.

    Masjid Bengan sendiri merupakan bangunan kuno yang asal-usul pendirinya tidak diketahui secara pasti. Dalam kepercayaan warga, masjid ini menjadi titik awal dimulainya ritual kedewan. Setelah berziarah ke masjid, prosesi dilanjutkan ke makam keramat yang dipercaya sebagai tempat tinggal spiritual leluhur desa.

    Konon, penghuni pertama Desa Songak pernah menetap di lokasi yang kini menjadi Masjid Bengan. Sebelum menghilang secara misterius, ia meninggalkan pesan agar orang sakit datang ke masjid dan makam sambil membawa daun sirih dan rokok—dua benda yang menjadi perlengkapan utama dalam ritual kedewan.

    Proses kedewan dilakukan dalam beberapa tahapan. Penderita atau keluarganya terlebih dahulu datang untuk berziarah ke kedua tempat suci tersebut. Setelah itu, mereka berkonsultasi dengan mangku atau penjaga makam guna mencari tahu penyebab penyakit atau gangguan yang dialami. Jika dianggap perlu, maka upacara khusus akan dilakukan, dengan keluarga mempersiapkan berbagai perlengkapan sesuai petunjuk sang mangku.

    Tradisi kedewan bukan hanya soal pengobatan, melainkan juga menjadi wujud keyakinan dan hubungan spiritual yang kuat antara masyarakat dan warisan leluhur mereka.

    Penyembuhan Jiwa Lewat Jalan Spiritual

    Salah satu bagian penting dalam tradisi kedewan di Desa Songak, Lombok Timur, adalah pagelaran tari penyembuhan yang digelar sesuai dengan kehendak roh penunggu. Tarian ini bukan sekadar pertunjukan budaya, melainkan bagian inti dari upacara penyembuhan spiritual yang diyakini dapat mengusir gangguan gaib.

    Masyarakat setempat percaya bahwa gangguan jiwa atau fenomena kesurupan—yang dikenal dengan istilah kerandingan—disebabkan oleh intervensi makhluk halus penghuni tempat-tempat sakral, seperti masjid kuno, makam keramat, atau tujuh titik batas desa yang dianggap angker.

    Gejala kerandingan sering kali mencakup halusinasi pendengaran dan penglihatan, serta sensasi seolah-olah tengah berkomunikasi dengan entitas gaib. Dalam kondisi seperti ini, penderita kerap mengucapkan permintaan aneh, seperti meminta emas atau benda-benda tertentu yang dipercaya sebagai syarat penyembuhan.

    Tradisi kedewan juga tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan erat dengan dua ritual lainnya, yakni ngayu-ayu dan nyaur. Ngayu-ayu dilakukan ketika seseorang mengalami musibah atau penyakit, sedangkan nyaur merupakan wujud rasa syukur setelah permohonan atau nazar dikabulkan.

    Menariknya, masyarakat percaya bahwa mengabaikan nazar yang telah diucapkan dalam prosesi ini bisa memicu gangguan jiwa. Gangguan juga diyakini muncul jika seseorang melanggar adat atau melakukan kesalahan terhadap roh penunggu desa.

    Berbeda dari pendekatan medis modern yang menitikberatkan pada gangguan biologis otak, kedewan menekankan penyembuhan melalui jalan spiritual dan kebudayaan. Prosesnya pun tidak mengikuti jadwal pasti—lamanya penyembuhan tergantung pada kondisi penderita dan ‘negosiasi’ dengan makhluk halus yang dipercaya sebagai penyebab gangguan.

    Desa Songak sendiri mencerminkan percampuran budaya Lombok asli dengan pengaruh Bali. Walaupun mayoritas penduduk beragama Islam, beberapa ritual dan kepercayaan lokal masih menunjukkan jejak kuat dari unsur Hindu.

    Hingga kini, meski dunia telah bergerak ke arah modernitas, kedewan tetap dijalankan dengan keyakinan penuh oleh masyarakat Songak, menjadi bukti hidup bagaimana tradisi, spiritualitas, dan budaya bisa saling bersinggungan dalam praktik pengobatan yang unik.

  • Egrang: Permainan Tradisional Nusantara yang Latih Keseimbangan

    Egrang: Permainan Tradisional Nusantara yang Latih Keseimbangan

    Nusantara – Egrang adalah permainan tradisional Indonesia yang melatih keseimbangan dan ketangkasan. Terbuat dari bambu, permainan ini telah dikenal sejak masa kolonial dan masih dimainkan dalam berbagai festival budaya hingga kini.

    Nama egrang berasal dari bahasa Lampung, yang berarti “terompah pancung”. Meski berasal dari Lampung, permainan ini telah menyebar ke berbagai daerah dengan nama dan gaya yang berbeda. Di Jawa Barat dikenal sebagai jajangkungan, di Jawa Tengah sebagai jangkungan, masyarakat Kalimantan Selatan menyebutnya batangkau, dan di Sulawesi Selatan disebut longga atau dongga.

    Setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri, baik dalam bahan maupun cara bermainnya. Umumnya, egrang dibuat dari batang bambu yang ringan dan kuat, dengan pijakan kaki dipasang sekitar 30–50 cm dari dasar. Di beberapa daerah Jawa, tempurung kelapa juga digunakan sebagai alternatif, diikatkan ke kaki dengan tali, lalu digunakan untuk berjalan sambil mengangkat salah satu kaki.

    Permainan ini tercatat dalam buku Javanese Kinder Spellen sebagai salah satu hiburan anak-anak yang populer. Kini, egrang tidak hanya menjadi permainan tradisional, tetapi juga bagian dari pertunjukan budaya dan simbol kearifan lokal yang masih dilestarikan.

    Egrang dalam Ragam Budaya Nusantara

    Di Sumatera Barat, egrang dikenal dengan nama tengkak-tengkak, berasal dari kata tengkak yang berarti pincang. Sementara di Bengkulu, istilah yang sama merujuk pada “sepatu bambu”. Perbedaan nama ini mencerminkan bagaimana permainan tradisional ini beradaptasi dengan bahasa dan budaya lokal.

    Bagi anak-anak, bermain egrang bukan hanya hiburan, tapi juga latihan keseimbangan, fokus, dan keberanian. Di banyak daerah, permainan ini bahkan dilombakan, tak hanya untuk anak-anak, tapi juga orang dewasa.

    Meskipun permainan modern kini lebih mendominasi, egrang masih bertahan, terutama di komunitas pedesaan dan dalam festival rakyat. Beberapa sekolah dan sanggar budaya turut memasukkan egrang sebagai bagian dari pelestarian warisan budaya Indonesia.

    Menariknya, permainan serupa juga ditemukan di negara-negara Asia lain seperti Vietnam dan Filipina. Namun, egrang versi Indonesia memiliki keunikan tersendiri—baik dari segi bentuk maupun teknik bermain—yang menjadikannya khas dan berbeda.

  • Asal-Usul Nama Desa Jaten, Klaten: Dari Pohon Jati hingga Jejak Majapahit

    Asal-Usul Nama Desa Jaten, Klaten: Dari Pohon Jati hingga Jejak Majapahit

    Nusantara – Desa Jaten, yang berada di Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, menyimpan sejarah panjang tentang asal-usul namanya. Nama “Jaten” berasal dari banyaknya pohon jati yang dulu tumbuh lebat di kawasan ini. Dalam bahasa Jawa, kata jati berubah menjadi jaten karena penyesuaian akhiran dalam dialek lokal.

    Menurut berbagai sumber, dulunya Jaten adalah hutan lebat yang didominasi pohon jati. Salah satu yang paling dikenal adalah pohon jati raksasa yang menjadi penanda penting dalam sejarah desa. Di sekitar pohon itu terdapat makam tua yang dipercaya sebagai petilasan Mbah Danyang—tokoh yang diyakini membuka kawasan ini atau babat alas.

    Dalam tradisi Jawa, pendirian sebuah desa seringkali dikaitkan dengan sosok danyang, yakni penjaga atau pelindung wilayah. Makam Mbah Danyang hingga kini masih dianggap keramat dan menjadi bagian dari ritual budaya masyarakat setempat.

    Tak hanya itu, sejarah Jaten juga berkaitan dengan jejak Kerajaan Majapahit. Letaknya yang tak jauh dari lereng Gunung Lawu menempatkan wilayah ini dalam pengaruh kekuasaan Majapahit di bawah Raja Brawijaya VII.

    Jejak Majapahit dan Tradisi Leluhur di Desa Jaten, Klaten

    Meski pusat kekuasaan Kerajaan Majapahit berada di Mojokerto, pengaruhnya meluas hingga ke wilayah Klaten, termasuk Desa Jaten. Wilayah ini dulunya termasuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit, sebelum kemudian kekuatan kerajaan-kerajaan Jawa mulai meredup seiring kedatangan Belanda pada akhir abad ke-19.

    Desa Jaten sendiri kerap disalahpahami sebagai bagian dari Sleman karena adanya kesamaan nama. Padahal secara administratif, Jaten terletak di Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kesamaan nama ini kerap menimbulkan kekeliruan, terutama dalam penelusuran sejarah atau pencatatan wilayah.

    Hingga kini, pohon jati tetap menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Jaten. Beberapa keluarga masih memegang tradisi menanam jati sebagai bentuk warisan untuk anak cucu mereka—melanjutkan keterikatan sejarah desa ini dengan hutan jati masa lalu.

    Makam Mbah Danyang, tokoh yang diyakini membuka kawasan ini, juga masih dijaga dan diziarahi. Pada hari-hari tertentu dalam penanggalan Jawa, masyarakat setempat datang untuk berdoa dan menghormati leluhur, menjadikan makam ini bagian dari identitas budaya desa yang terus hidup hingga sekarang.

  • Bahasa Kreol Tugu: Warisan Linguistik Unik dari Betawi Portugis

    Bahasa Kreol Tugu: Warisan Linguistik Unik dari Betawi Portugis

    Nusantara – Bahasa kreol Tugu yang berkembang di wilayah Betawi menjadi salah satu bukti kekayaan dan keunikan ragam bahasa di Indonesia. Bahasa ini bermula sebagai bahasa rahasia di kalangan komunitas Tugu, atau yang dikenal sebagai Betawi Portugis.

    Dilansir dari laman Seni & Budaya Betawi, istilah “kreol” berasal dari bahasa Prancis creole atau bahasa Portugis crioulo, yang secara umum berarti sesuatu yang terbentuk dari perpaduan unsur luar.

    Bahasa kreol Portugis yang berkembang di Tugu merupakan hasil percampuran antara bahasa Melayu, khususnya dari wilayah Melaka (Malaysia), dan bahasa Portugis. Perpaduan ini mulai terbentuk sejak tahun 1648, bersamaan dengan jatuhnya Melaka ke tangan Belanda setelah direbut dari Portugis.

    Dalam proses sejarahnya, banyak tentara Portugis yang berasal dari wilayah jajahan seperti Goa, Bengal, dan Malabar ditawan dan dibawa ke Batavia. Di sana, mereka dipaksa menjadi serdadu untuk VOC. Sebagian dari mereka yang kemudian dibebaskan dari perbudakan, dikenal sebagai kaum Mardijkers, diwajibkan untuk memeluk agama Kristen Protestan.

    Komunitas Mardijkers lalu dipindahkan ke daerah terpencil di tenggara Batavia, yang kelak dikenal sebagai Kampung Tugu. Di wilayah ini, peradaban baru terbentuk, dihuni oleh keturunan Portugis yang dikenal dengan istilah mestizo.

    Dalam kehidupan sehari-hari, komunitas ini mempertahankan bahasa kreol Portugis sebagai bahasa ibu mereka. Bahasa ini bahkan digunakan secara luas di Kampung Tugu selama hampir tiga setengah abad, menjadi bahasa vernacular yang khas dan sulit ditemukan di tempat lain.

    Keunikan bahasa kreol Tugu tetap terjaga karena komunitas Tugu cenderung tertutup dan minim pengaruh dari luar. Hingga akhir abad ke-20, masih ada beberapa generasi tua di Kampung Tugu yang fasih berkomunikasi menggunakan bahasa ini.

    Kreol Tugu: Warisan yang Kini Tinggal Kenangan

    Memasuki abad ke-21, eksistensi bahasa Kreol Tugu atau bahasa kreol Portugis semakin tergerus. Penggunanya terus berkurang hingga akhirnya nyaris punah. Salah satu penyebab utamanya adalah gagalnya pewarisan bahasa dari generasi lama kepada generasi penerus.

    Dahulu, bahasa ini memiliki peran khusus di kalangan masyarakat Tugu, terutama di antara para pria. Bahasa Kreol Tugu kerap dijadikan sebagai alat komunikasi rahasia atau sandi yang hanya dipahami oleh komunitas setempat.

    Namun, masa kejayaannya mulai meredup sejak era kemerdekaan. Beberapa faktor turut mempercepat kemunduran bahasa ini. Salah satunya adalah kebijakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah negeri, tempat anak-anak keturunan Portugis bersekolah.

    Selain itu, pembangunan Jalan Raya Cakung-Cilincing turut mengubah lanskap sosial Kampung Tugu. Wilayah yang semula homogen menjadi lebih beragam dan multikultural, sehingga mempercepat pergeseran bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

    Meski tak lagi digunakan secara aktif, sejumlah jejak bahasa Kreol Tugu masih bisa ditemukan. Beberapa kata sapaan kekerabatan seperti tata (kakek), tata grandi (kakek buyut), nina (anak perempuan), sinyo (anak laki-laki), dan bas (engkau) masih dikenang. Selain itu, warisan budaya ini juga hidup dalam bentuk lagu-lagu tradisional seperti “Nina Bobo”, “Kafrinho”, dan “Yan Kagaleti”.

    Sebagai bentuk pelestarian, pada tahun 2024, bahasa Kreol Tugu telah resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh pemerintah. Penetapan ini menjadi pengakuan atas nilai historis dan budaya dari bahasa yang pernah mewarnai identitas Kampung Tugu.

  • Mengenal Ritual Bakar Tongkang: Warisan Budaya Tionghoa di Bagansiapiapi

    Nusantara – Setiap tahun, tepat pada tanggal 16 bulan 5 dalam penanggalan Imlek, kota Bagansiapiapi di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, menjadi pusat perhatian ribuan pengunjung yang datang untuk menyaksikan salah satu tradisi budaya paling ikonik di Indonesia — ritual Bakar Tongkang. Tradisi ini bukan sekadar perayaan, melainkan bentuk penghormatan kepada Dewa Laut Kie Ong Ya dan simbol harapan akan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat Tionghoa setempat.

    Asal-usul tradisi ini menyimpan kisah historis yang menarik. Mengutip dari berbagai sumber, Bakar Tongkang berakar dari perjalanan 18 keluarga Tionghoa yang berasal dari Fujian, Tiongkok. Pada abad ke-19, mereka tersesat di tengah lautan sebelum akhirnya menemukan daratan di wilayah Riau, setelah mengikuti cahaya yang dipercaya sebagai petunjuk dari Dewa Kie Ong Ya. Sebagai ungkapan rasa syukur atas keselamatan tersebut, para pendatang itu membangun klenteng dan memulai tradisi pembakaran replika kapal sebagai bentuk persembahan dan penghormatan.

    Baca Juga : Tradisi Buang Bayi dalam Budaya Jawa Mulai Ditinggalkan

    Rangkaian kegiatan Bakar Tongkang diawali dengan upacara sembahyang besar di Klenteng Ing Hok Kiong, tempat para umat berkumpul dengan membawa berbagai persembahan seperti buah-buahan, kue keranjang, dan dupa. Suasana sakral menyelimuti klenteng saat doa-doa dinaikkan memohon berkah dan perlindungan.

    Proses Pembakaran Tongkang

    Puncak acara ditandai dengan arak-arakan replika tongkang, yakni sebuah perahu kayu sepanjang sekitar 8 meter dan lebar 2,5 meter yang dihias warna-warni. Replika ini diarak keliling kota dalam suasana yang meriah, diiringi pertunjukan barongsai, liong, tabuhan gendang, serta dentuman petasan yang menambah semarak.

    Saat sore menjelang, tongkang dibawa ke tepi pantai dan kemudian dibakar, menjadi momen paling sakral sekaligus klimaks dari seluruh rangkaian ritual. Pembakaran ini melambangkan pelepasan nasib buruk dan pembukaan lembaran baru yang penuh harapan.

    Ritual Bakar Tongkang bukan hanya menjadi simbol spiritual, tetapi juga telah tumbuh menjadi daya tarik wisata budaya yang memperkuat identitas dan kebanggaan lokal masyarakat Bagansiapiapi.

    Festival Bakar Tongkang: Tradisi Pembaruan yang Menarik Ribuan Wisatawan

    Api yang membakar tongkang dalam Festival Bakar Tongkang bukan sekadar pertunjukan, melainkan simbol pembaruan. Masyarakat meyakini bahwa melalui pembakaran perahu ini, segala bentuk kesulitan dan energi negatif akan ikut hangus terbakar, memberi ruang bagi kehidupan yang lebih baik.

    Festival budaya ini telah masuk dalam kalender pariwisata nasional dan menjadi salah satu daya tarik utama setiap tahunnya. Tak kurang dari 15.000 hingga 20.000 pengunjung memadati lokasi perayaan, termasuk wisatawan mancanegara dari negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, hingga Tiongkok.

    Pemerintah daerah pun memanfaatkan momentum ini untuk menggelar berbagai acara pendukung, mulai dari bazar kuliner lokal hingga pertunjukan seni tradisional yang menambah semarak suasana.

    Meski sempat mengalami kevakuman selama masa pemerintahan Orde Baru, tradisi ini kembali dihidupkan sejak awal tahun 2000-an. Setelah absen selama puluhan tahun, Festival Bakar Tongkang kini kembali menjadi simbol kuat identitas budaya dan semangat kebersamaan masyarakat setempat.