Nusantara – Tari Badui bukan sekadar pertunjukan seni, tetapi cerminan nilai religius dan budaya lokal masyarakat Sleman. Berasal dari tradisi selawatan yang memuliakan Nabi Muhammad SAW, tarian ini menunjukkan bagaimana seni dan spiritualitas bisa menyatu dalam ekspresi rakyat.
Seiring perkembangan zaman, Tari Badui tidak hanya hadir dalam peringatan Maulid Nabi, tetapi juga tampil di panggung-panggung hiburan sebagai identitas budaya yang dinamis. Dengan penampilan delapan penari laki-laki, iringan bedug, jidor, dan rebana, serta vokal tradisional yang khas, tarian ini membawa penonton pada suasana kerakyatan yang sarat makna.
Tantangan pelestarian tentu ada, namun pelibatan generasi muda Anugerahslot dalam pertunjukan, pendidikan, dan dokumentasi tari ini akan menjadi kunci untuk memastikan Tari Badui tetap hidup di masa depan. Melestarikan tari Badui bukan hanya menjaga tradisi, tetapi juga merawat akar budaya dan spiritualitas Nusantara.
Tari Badui, Warisan Spiritual dan Estetika Rakyat Sleman
Tari Badui bukan hanya seni pertunjukan semata, melainkan jejak sejarah dakwah kultural Islam yang hidup dalam tradisi rakyat. Dengan vokal bersahutan antara penari dan vokalis, diiringi instrumen rebana dan jidor, tari ini menyajikan harmoni antara gerak tubuh dan lantunan pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Para penari tampil khas dengan peci Turki (panigoro) atau kuluk temanten merah, serta kostum adat yang sarat makna, lengkap dengan godo atau gombel sebagai simbol keteguhan dan perjuangan. Keindahan geraknya tak lepas dari akar spiritualnya yang dulu berfungsi sebagai sarana penyebaran agama Islam di pedesaan.
Kini, Tari Badui juga menjadi media hiburan dan pelestarian budaya lokal. Penetapannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada tahun 2007 menjadi pengakuan penting atas nilainya dalam sejarah dan budaya Indonesia.
Sebagai masyarakat yang mencintai warisan leluhur, sudah sepatutnya kita menjaga, melestarikan, dan mempopulerkan Tari Badui kepada generasi muda, agar seni yang lahir dari bumi Sleman ini tetap hidup dan bermakna lintas zaman.
Nusantara – Wayang wong atau sering disebut wayang orang merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional khas Jawa, terutama berkembang di wilayah Jawa Tengah. Meski sempat redup, kesenian ini berhasil dihidupkan kembali dan hingga kini terus dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan budaya Nusantara.
Wayang wong menampilkan kisah-kisah epik dari Mahabharata dan Ramayana, yang dipentaskan dalam bentuk teater panggung tradisional. Setiap lakon sarat akan pesan moral dan nilai-nilai kehidupan, disampaikan melalui dialog, tari, dan musik gamelan. Dalam beberapa pertunjukan, unsur sendratari turut memperkaya penampilan.
Mengutip dari laman Anugerahslot Indonesia, jejak wayang wong telah ditemukan sejak masa Mataram Kuno, sebagaimana tercatat dalam Prasasti Wimalasmara (930 M) dan Prasasti Balitung (907 M) yang menyebut istilah “wayang wwang” dalam bahasa Jawa Kuno. Bukti ini menunjukkan bahwa pertunjukan wayang wong sudah eksis lebih dari seribu tahun silam.
Perjalanan wayang wong tak terlepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan besar di Jawa, termasuk Majapahit yang turut melestarikan tradisi ini. Namun, memasuki masa-masa modern, pertunjukan ini sempat dilupakan. Kebangkitan kembali kesenian ini dimotori oleh dua pusat budaya Jawa: Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, setelah terjadinya pembagian wilayah Mataram melalui Perjanjian Giyanti pada 1755.
Kini, wayang wong tak hanya menjadi pertunjukan elit keraton, tetapi juga hadir di ruang publik dan panggung budaya untuk generasi muda. Kesenian ini terus dijaga sebagai warisan budaya yang tak hanya menampilkan keindahan seni, tetapi juga mencerminkan jati diri dan kearifan lokal masyarakat Jawa.
Perkembangan Wayang Wong di Yogyakarta dan Surakarta
Wayang wong di Yogyakarta mengalami kebangkitan dan pembaruan signifikan sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I pada 1750-an. Selain menjadi ekspresi seni adiluhung, wayang wong juga digunakan sebagai alat legitimasi politik. Melalui pertunjukan yang memvisualisasikan nilai-nilai luhur dan kepemimpinan dalam kisah Ramayana dan Mahabharata, Sultan ingin menegaskan posisinya sebagai pewaris sah Kerajaan Mataram sekaligus penerus tradisi kerajaan Majapahit.
Pada masa Sultan Hamengkubuwono V, sistematisasi pertunjukan mulai dikembangkan. Dua naskah penting, yaitu Serat Kandha (narasi) dan Serat Pocapan (dialog), menjadi buku panduan utama dalam latihan dan pementasan wayang wong keraton. Kesenian ini pun mulai mendapat struktur dan bentuk artistik yang lebih baku.
Transformasi besar terjadi pada masa Sultan Hamengkubuwono VII, ketika wayang wong mulai keluar dari eksklusivitas keraton. Melalui pendirian perkumpulan tari Krida Beksa Wirama pada tahun 1918, seni pertunjukan ini mulai diajarkan dan dipertunjukkan di luar lingkungan istana. Hingga kini, Krida Beksa Wirama menjadi lembaga penting dalam melestarikan seni tari klasik Yogyakarta, termasuk wayang wong.
Inovasi Wayang Wong di Surakarta
Di Surakarta, perkembangan wayang wong dimulai pada era Mangkunegara I sekitar 1760-an, dan mencapai puncak inovasinya pada masa Mangkunegara V. Di bawah kepemimpinannya, berbagai aspek kesenian ini mengalami pembaruan yang menyeluruh.
Salah satu terobosan besar Mangkunegara V adalah pengelompokan pemain dalam tiga kategori:
Wayang wong sentana – dimainkan oleh anggota keluarga istana.
Wayang wong abdi dalem – dimainkan oleh para abdi dalem keraton.
Wayang wong wanita – menunjukkan peran serta perempuan dalam kesenian ini.
Dari sisi artistik, Mangkunegara V memperkenalkan kostum yang disesuaikan dengan bentuk tokoh wayang purwa, agar lebih mudah dikenali penonton. Penataan koreografi pun menjadi lebih sistematis, memperkuat identitas karakter lewat gerak tari yang baku dan bermakna.
Tak hanya menampilkan lakon-lakon utama dari Mahabharata dan Ramayana, Mangkunegara V juga memperkenalkan lakon carangan, yaitu kisah-kisah yang dikembangkan di luar pakem. Inovasi ini memberi napas segar dan memperluas daya tarik pertunjukan kepada masyarakat umum.
Wayang Wong Keluar dari Tembok Keraton
Perubahan paling signifikan dalam sejarah wayang wong terjadi pada akhir abad ke-19, seiring dengan kemunduran ekonomi yang melanda istana. Ketika keraton tak lagi mampu membiayai pertunjukan secara rutin, seni ini pun mulai keluar dari lingkup eksklusif istana dan masuk ke ruang publik.
Transformasi ini dipelopori oleh Gan Kam, seorang pengusaha keturunan Tionghoa, yang pada 1895 mengemas wayang wong menjadi pertunjukan komersial. Dengan restu Sri Mangkunegara V, Gan Kam memperkenalkan format panggung modern dengan sentuhan tata panggung ala opera Tiongkok dan Italia. Para pemainnya direkrut dari kalangan seniman keraton dan masyarakat umum, memperluas akses sekaligus memperkaya keberagaman artistik.
Setelah Gan Kam wafat pada 1928, warisan keseniannya diteruskan oleh sejumlah tokoh Tionghoa lain seperti Sedyo Wandowo, Sarotama, dan Srikaton. Sementara itu, pengusaha Belanda bernama Reunecker juga mendirikan kelompok wayang orang. Setelah bubarnya kelompok ini, gedung pertunjukannya dibeli oleh Lie Wat Djien, yang kemudian membentuk Kelompok Wayang Orang Sono Harsono.
Tak hanya dari luar keraton, pihak istana pun tetap berkontribusi dengan mendirikan Wayang Orang Sriwedari, sebuah kelompok yang bertujuan untuk menampung dan mempertahankan keahlian para penari istana. Pada 1930-an, kelompok ini mencapai popularitas tinggi di Surakarta, menjadikan wayang wong sebagai media edukasi, hiburan, dan pelestarian budaya.
Penyebaran Wayang Wong ke Seluruh Jawa
Sekitar dekade yang sama, berbagai kelompok wayang wong mulai bermunculan di kota-kota lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur, antara lain:
Sri Wanito di Semarang
Ngesti Pandowo di Madiun (kemudian pindah ke Semarang)
Sri Budaya di Kediri
Kesenian ini mengalami masa keemasan hingga awal kemerdekaan, meskipun sempat terhenti sementara karena situasi politik. Pada era 1950-an hingga 1970-an, banyak kelompok baru bermunculan, termasuk Pancamurti, yang kemudian berkembang menjadi Wayang Orang Bharata di Jakarta dan Wahyu Utomo di Semarang.
Kemunduran dan Upaya Pelestarian
Namun, memasuki 1980-an, wayang wong menghadapi tantangan besar. Banyak pemain sepuh meninggal atau pensiun, dan di tengah arus budaya populer serta perubahan selera penonton, pertunjukan ini dianggap kurang relevan dan pamornya menurun drastis.
Meski demikian, sejumlah kelompok tetap bertahan dan beradaptasi. Hingga kini, beberapa di antaranya masih eksis dan aktif menggelar pementasan:
Wayang Orang Sriwedari di Surakarta
Wayang Orang Ngesti Pandowo di Semarang
Wayang Orang Bharata di Jakarta
Mereka terus berinovasi, termasuk memanfaatkan media digital, kolaborasi lintas seni, serta pertunjukan tematik untuk menarik minat generasi muda. Di tengah arus globalisasi, wayang wong tetap menjadi warisan budaya tak ternilai, yang tidak hanya menyampaikan cerita epik, tetapi juga nilai-nilai moral, sosial, dan spiritual khas Nusantara.
Nusantara – Meskipun hujan mengguyur Kota Medan pada Rabu malam, 21 Mei 2025, semangat para peserta dan pengunjung tak surut untuk menghadiri pembukaan Gelar Melayu Serumpun 2025 yang digelar megah di Istana Maimun, Jalan Brigjen Katamso. Suasana semarak dan penuh warna budaya tetap terasa kuat sepanjang acara.
Tahun ini menjadi penyelenggaraan ke-8 dari ajang budaya yang telah menjadi bagian dari Karisma Event Nusantara (KEN), program unggulan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. Gelar Melayu Serumpun diikuti oleh 29 delegasi, baik dari berbagai daerah di Indonesia maupun negara-negara sahabat, yang turut membawa kekayaan budaya Melayu masing-masing.
Pembukaan acara ditandai dengan pemukulan gendang Melayu oleh Wali Kota Medan, Rico Waas, yang secara resmi membuka perhelatan. Tak hanya itu, Rico Waas juga memukau penonton dengan kemampuannya memainkan irama zapin, salah satu seni musik dan tari tradisional khas Melayu.
Dalam sambutannya, Rico menegaskan bahwa kehadiran seluruh delegasi dan tamu undangan mencerminkan kesamaan akar budaya dan semangat kebersamaan yang tumbuh dari kebudayaan Melayu.
“Kita semua berkumpul di sini karena meyakini satu hal: kita punya akar yang sama, semangat yang sama, yakni kebudayaan Melayu. Dan kebudayaan adalah identitas serta kekuatan bangsa,” ungkap Wali Kota Medan itu.
Gelar Melayu Serumpun tak hanya menjadi ajang pelestarian budaya, tetapi juga momentum penguatan diplomasi budaya dan pariwisata antarbangsa yang berakar pada nilai-nilai kearifan lokal Melayu.
Rico Waas: Melayu adalah Jiwa, Bukan Sekadar Etnis
Dalam pidatonya pada pembukaan Gelar Melayu Serumpun 2025, Wali Kota Medan Rico Waas menekankan bahwa budaya Melayu bukan semata identitas etnis, tetapi lebih dari itu—ia adalah jiwa yang hidup dalam setiap aspek seni dan tradisi.
“Melayu bukan hanya tentang darah dan garis keturunan. Ia hidup dalam pantun, bernafas dalam gurindam, bergerak lewat zapin, bersuara dalam syair, dan bercahaya lewat adat,” ujar Rico penuh semangat.
Meski mengakui dirinya tidak lahir sebagai bagian dari etnis Melayu, Rico menyatakan dengan bangga bahwa dirinya memiliki jiwa Melayu yang tulen.
“Saya mungkin tidak terlahir sebagai seorang Melayu, tapi saya percaya bahwa saya berjiwa Melayu sejati,” tuturnya.
Ia juga menyoroti pentingnya Istana Maimun sebagai simbol kejayaan Kesultanan Deli sekaligus warisan sejarah Kota Medan yang patut dijaga dan dilestarikan. Menurutnya, nilai-nilai budaya yang terkandung dalam bangunan ikonik ini dapat menjadi daya tarik utama dalam memperkenalkan Medan ke dunia internasional.
“Kebudayaan seharusnya menjadi sarana promosi yang hebat bagi kota ini. Lewat Gelar Melayu Serumpun, kita dapat memperkenalkan budaya Melayu dari Medan ke panggung dunia,” kata Rico.
Tak hanya dari sisi seni pertunjukan, Rico juga menekankan bahwa kuliner, busana, dan adat istiadat merupakan bagian integral dari identitas budaya Melayu yang juga harus diperkenalkan dan dijaga kelestariannya.
Rico Waas: Melayu Harus Jadi Subjek, Bukan Sekadar Objek Budaya
Wali Kota Medan, Rico Waas, kembali menegaskan pentingnya peran budaya Melayu sebagai identitas yang hidup dan aktif dalam membentuk wajah Kota Medan. Dalam sambutannya di acara Gelar Melayu Serumpun 2025, Rico menyoroti perlunya menjadikan Melayu bukan sekadar objek budaya yang dipertontonkan, melainkan subjek yang kuat dan berdaya dalam membangun identitas kota.
“Melayu jangan hanya dipandang sebagai objek. Melayu harus menjadi subjek—tampil kuat, berdaya, dan menjadi bagian penting dalam promosi Kota Medan,” ujarnya tegas.
Lebih lanjut, Rico menekankan pentingnya kebudayaan sebagai sarana diplomasi lunak (soft diplomacy) untuk menarik perhatian dunia internasional. Ia menilai bahwa kekuatan budaya dapat menjadi modal besar bagi Indonesia, khususnya Kota Medan, untuk membangun citra yang kuat di mata dunia.
“Kalau kita ingin diperhatikan oleh negara luar, maka kebudayaan harus didorong. Ini adalah bentuk soft diplomacy—bagaimana kita bisa tampil kuat karena kebudayaan yang hebat,” ungkap Rico.
Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui perwakilannya, Direktur Poltekpar Medan, Ngatemin, memberikan apresiasi atas pelaksanaan Gelar Melayu Serumpun yang kembali masuk dalam Karisma Event Nusantara (KEN) 2025. Ia menyebut bahwa event ini memiliki peran penting dalam mendorong sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
“Kami mengapresiasi Pemko Medan karena Gelar Melayu Serumpun kembali masuk dalam KEN 2025. Diharapkan kegiatan ini bisa meningkatkan kunjungan wisatawan ke Kota Medan dan menjadi atraksi yang memberi pengalaman unik bagi para wisatawan,” ujarnya.
Menurutnya, sinergi antara budaya, pariwisata, dan ekonomi kreatif merupakan langkah strategis dalam membangun kota yang tidak hanya kaya secara historis, tetapi juga kompetitif di panggung global.
Sultan Deli XIV Dukung Penuh Gelar Melayu Serumpun 2025
Sultan Deli XIV, Sultan Mahmud Lamantjiji Perkasa Alam Shah, menyampaikan dukungan penuhnya terhadap penyelenggaraan Gelar Melayu Serumpun 2025 yang digelar di Istana Maimun, Kota Medan. Menurutnya, acara ini memegang peranan penting dalam upaya pelestarian budaya Melayu, terutama dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada generasi muda.
“Semoga acara ini menjadi momentum untuk memperteguh jati diri bangsa Melayu yang menjunjung tinggi adab, ilmu, dan kemuliaan,” ujar Sultan dalam sambutannya.
Ia juga mengajak seluruh pihak untuk merawat adat dan budaya Melayu sebagai warisan yang tidak hanya bernilai sejarah, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai kehidupan yang relevan di era modern. Sultan Deli menekankan pentingnya kerukunan dan kesinambungan nilai adat di tengah perkembangan zaman.
Sebagai agenda budaya tahunan yang masuk dalam Karisma Event Nusantara (KEN) dari Kementerian Pariwisata, Gelar Melayu Serumpun tahun ini berlangsung meriah dengan menampilkan berbagai kesenian tradisional. Di antara yang menarik perhatian adalah penampilan Alfin Habib, penyanyi jebolan Dangdut Academy, serta musisi ternama Henri Lamiri yang memukau hadirin dengan permainan biola bernuansa Melayu.
Tidak hanya itu, delegasi dari dalam dan luar negeri juga tampil membawakan tarian-tarian khas Melayu, memperkuat semangat kebersamaan dalam bingkai budaya serumpun.
Wali Kota Medan Terima Penghargaan KEN 2025 di Pembukaan Gelar Melayu Serumpun ke-8
Pembukaan Gelar Melayu Serumpun ke-8 yang berlangsung meriah di Istana Maimun, Medan, turut diwarnai dengan momen istimewa: pemberian piagam penghargaan Karisma Event Nusantara (KEN) 2025 kepada Wali Kota Medan, Rico Waas, dari perwakilan Kementerian Pariwisata Republik Indonesia.
Penghargaan tersebut menjadi bentuk apresiasi atas konsistensi Pemerintah Kota Medan dalam menyelenggarakan event budaya yang mengangkat kekayaan warisan Melayu ke kancah nasional dan internasional.
Tahun ini, sebanyak 29 delegasi dari dalam dan luar negeri turut memeriahkan perhelatan budaya akbar tersebut. Dari Indonesia, 20 delegasi berasal dari berbagai daerah, antara lain:
Sabang, Langsa, Aceh Singkil, Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Langkat, Binjai, Serdang Bedagai, Deli Serdang,
Asahan, Labuhan Batu Utara, Sibolga, Batam, Dumai (2 delegasi), Jakarta, dan Pontianak.
Sementara dari mancanegara, delegasi hadir dari sejumlah negara dan wilayah yang memiliki akar budaya serumpun, seperti: Kuala Lumpur, Ipoh Serawak, Johor, Selangor, Melaka, Singapura, Thailand, dan India.
Acara yang berlangsung selama empat hari, mulai 21 hingga 24 Mei 2025, ini juga turut dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Wakil Ketua DPRD Medan Zulkarnain, Sekda Kota Medan Wiriya Alrahman, serta para Konsul Jenderal dari negara sahabat.
Dengan kehadiran delegasi dari berbagai penjuru, Gelar Melayu Serumpun 2025 tak hanya menjadi ajang pelestarian budaya, tetapi juga panggung diplomasi budaya yang mempererat hubungan antarbangsa melalui seni dan adat Melayu.