Tag: adat istiadat

  • Egrang: Permainan Tradisional Nusantara yang Latih Keseimbangan

    Egrang: Permainan Tradisional Nusantara yang Latih Keseimbangan

    Nusantara – Egrang adalah permainan tradisional Indonesia yang melatih keseimbangan dan ketangkasan. Terbuat dari bambu, permainan ini telah dikenal sejak masa kolonial dan masih dimainkan dalam berbagai festival budaya hingga kini.

    Nama egrang berasal dari bahasa Lampung, yang berarti “terompah pancung”. Meski berasal dari Lampung, permainan ini telah menyebar ke berbagai daerah dengan nama dan gaya yang berbeda. Di Jawa Barat dikenal sebagai jajangkungan, di Jawa Tengah sebagai jangkungan, masyarakat Kalimantan Selatan menyebutnya batangkau, dan di Sulawesi Selatan disebut longga atau dongga.

    Setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri, baik dalam bahan maupun cara bermainnya. Umumnya, egrang dibuat dari batang bambu yang ringan dan kuat, dengan pijakan kaki dipasang sekitar 30–50 cm dari dasar. Di beberapa daerah Jawa, tempurung kelapa juga digunakan sebagai alternatif, diikatkan ke kaki dengan tali, lalu digunakan untuk berjalan sambil mengangkat salah satu kaki.

    Permainan ini tercatat dalam buku Javanese Kinder Spellen sebagai salah satu hiburan anak-anak yang populer. Kini, egrang tidak hanya menjadi permainan tradisional, tetapi juga bagian dari pertunjukan budaya dan simbol kearifan lokal yang masih dilestarikan.

    Egrang dalam Ragam Budaya Nusantara

    Di Sumatera Barat, egrang dikenal dengan nama tengkak-tengkak, berasal dari kata tengkak yang berarti pincang. Sementara di Bengkulu, istilah yang sama merujuk pada “sepatu bambu”. Perbedaan nama ini mencerminkan bagaimana permainan tradisional ini beradaptasi dengan bahasa dan budaya lokal.

    Bagi anak-anak, bermain egrang bukan hanya hiburan, tapi juga latihan keseimbangan, fokus, dan keberanian. Di banyak daerah, permainan ini bahkan dilombakan, tak hanya untuk anak-anak, tapi juga orang dewasa.

    Meskipun permainan modern kini lebih mendominasi, egrang masih bertahan, terutama di komunitas pedesaan dan dalam festival rakyat. Beberapa sekolah dan sanggar budaya turut memasukkan egrang sebagai bagian dari pelestarian warisan budaya Indonesia.

    Menariknya, permainan serupa juga ditemukan di negara-negara Asia lain seperti Vietnam dan Filipina. Namun, egrang versi Indonesia memiliki keunikan tersendiri—baik dari segi bentuk maupun teknik bermain—yang menjadikannya khas dan berbeda.

  • Asal-Usul Nama Desa Jaten, Klaten: Dari Pohon Jati hingga Jejak Majapahit

    Asal-Usul Nama Desa Jaten, Klaten: Dari Pohon Jati hingga Jejak Majapahit

    Nusantara – Desa Jaten, yang berada di Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, menyimpan sejarah panjang tentang asal-usul namanya. Nama “Jaten” berasal dari banyaknya pohon jati yang dulu tumbuh lebat di kawasan ini. Dalam bahasa Jawa, kata jati berubah menjadi jaten karena penyesuaian akhiran dalam dialek lokal.

    Menurut berbagai sumber, dulunya Jaten adalah hutan lebat yang didominasi pohon jati. Salah satu yang paling dikenal adalah pohon jati raksasa yang menjadi penanda penting dalam sejarah desa. Di sekitar pohon itu terdapat makam tua yang dipercaya sebagai petilasan Mbah Danyang—tokoh yang diyakini membuka kawasan ini atau babat alas.

    Dalam tradisi Jawa, pendirian sebuah desa seringkali dikaitkan dengan sosok danyang, yakni penjaga atau pelindung wilayah. Makam Mbah Danyang hingga kini masih dianggap keramat dan menjadi bagian dari ritual budaya masyarakat setempat.

    Tak hanya itu, sejarah Jaten juga berkaitan dengan jejak Kerajaan Majapahit. Letaknya yang tak jauh dari lereng Gunung Lawu menempatkan wilayah ini dalam pengaruh kekuasaan Majapahit di bawah Raja Brawijaya VII.

    Jejak Majapahit dan Tradisi Leluhur di Desa Jaten, Klaten

    Meski pusat kekuasaan Kerajaan Majapahit berada di Mojokerto, pengaruhnya meluas hingga ke wilayah Klaten, termasuk Desa Jaten. Wilayah ini dulunya termasuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit, sebelum kemudian kekuatan kerajaan-kerajaan Jawa mulai meredup seiring kedatangan Belanda pada akhir abad ke-19.

    Desa Jaten sendiri kerap disalahpahami sebagai bagian dari Sleman karena adanya kesamaan nama. Padahal secara administratif, Jaten terletak di Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kesamaan nama ini kerap menimbulkan kekeliruan, terutama dalam penelusuran sejarah atau pencatatan wilayah.

    Hingga kini, pohon jati tetap menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Jaten. Beberapa keluarga masih memegang tradisi menanam jati sebagai bentuk warisan untuk anak cucu mereka—melanjutkan keterikatan sejarah desa ini dengan hutan jati masa lalu.

    Makam Mbah Danyang, tokoh yang diyakini membuka kawasan ini, juga masih dijaga dan diziarahi. Pada hari-hari tertentu dalam penanggalan Jawa, masyarakat setempat datang untuk berdoa dan menghormati leluhur, menjadikan makam ini bagian dari identitas budaya desa yang terus hidup hingga sekarang.

  • Pasatimpo: Senjata Tradisional Penuh Makna dari Sulawesi Tengah

    Pasatimpo: Senjata Tradisional Penuh Makna dari Sulawesi Tengah

    NusantaraPasatimpo merupakan salah satu senjata tradisional khas Sulawesi Tengah yang sekilas menyerupai pedang, namun memiliki keunikan tersendiri pada bentuk hulunya yang melengkung ke bawah.

    Ciri khas ini bukan hanya sekadar pembeda fisik, melainkan sarat akan makna filosofis dan berhubungan erat dengan gaya hidup, budaya, serta nilai-nilai spiritual masyarakat setempat, khususnya suku-suku yang tinggal di daerah pegunungan dan pedalaman.

    Nama “pasatimpo” diyakini berasal dari bahasa daerah yang menggambarkan cara penggunaan atau pegangan senjata tersebut, berbeda dengan pedang biasa. Jika pedang umumnya memiliki gagang lurus untuk pegangan simetris, pasatimpo dengan hulunya yang melengkung memberikan kontrol lebih stabil, sangat berguna dalam pertarungan jarak dekat atau duel satu lawan satu.

    Desain lekukan pada hulu juga membantu menciptakan keseimbangan dalam gerakan berulang saat menyerang maupun bertahan. Tidak hanya digunakan sebagai alat tempur, pasatimpo juga memegang peran penting dalam upacara adat, menjadi simbol status sosial, dan bagian dari pakaian kehormatan para pemimpin adat atau bangsawan lokal.

    Keunikan lain dari pasatimpo adalah proses pembuatannya yang tetap mempertahankan teknik tradisional, diwariskan turun-temurun. Para pandai besi lokal, yang dikenal sebagai to pakande, menempa logam pilihan — biasanya dari peleburan alat tua atau batuan besi lokal — secara manual.

    Lebih dari sekadar keterampilan teknik, pembuatan pasatimpo melibatkan pemahaman spiritual mendalam. Setiap pasatimpo diyakini memiliki “jiwa” tersendiri, berkat doa dan mantra yang dibacakan sepanjang proses pembuatannya.

    Pasatimpo Warisan Kehormatan Sulawesi Tengah

    Pembuatan pasatimpo tidak bisa dilakukan sembarangan. Hanya mereka yang mendapatkan izin secara adat atau memiliki otoritas spiritual yang berhak menempanya. Setiap pasatimpo pun kerap dihiasi dengan ukiran atau ornamen khas pada gagang dan sarungnya, yang tidak sekadar mempercantik, tetapi mencerminkan identitas pembuat, klan pemilik, hingga status sosial dalam masyarakat.

    Motif yang digunakan beragam, mulai dari flora, fauna, hingga simbol-simbol mitologis yang hanya dipahami oleh komunitas tertentu. Inilah yang membuat setiap pasatimpo unik, layaknya karya seni hidup dengan nilai budaya yang sangat tinggi.

    Sejarah mencatat, pasatimpo tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan atau senjata perang. Ia juga membawa nilai simbolik yang kuat dalam struktur sosial masyarakat Sulawesi Tengah. Pemilik pasatimpo dianggap bukan sekadar prajurit, melainkan penjaga kehormatan, keberanian, dan kebijaksanaan. Dalam beberapa tradisi, pemberian pasatimpo kepada seorang pemuda menjadi tanda peralihan dari masa remaja ke kedewasaan, sekaligus simbol amanah sosial.

    Dalam upacara adat, pasatimpo biasa dibawa oleh kepala suku atau tokoh adat sebagai lambang legitimasi, perlindungan, dan penghormatan. Kehadirannya dalam ritual keagamaan serta penyambutan tamu penting menegaskan posisinya sebagai benda penuh makna.

    Hingga kini, di beberapa komunitas pedalaman Sulawesi Tengah, pasatimpo tetap diperlakukan sebagai pusaka sakral yang hanya dikeluarkan pada momen-momen istimewa. Beberapa museum daerah telah mengabadikannya dalam koleksi budaya, sementara festival-festival tradisional mulai mengangkat senjata ini sebagai bagian dari edukasi warisan lokal.

    Tidak sedikit pula para pengrajin yang berusaha mereproduksi pasatimpo dengan teknik tradisional, sambil menyesuaikan desain dengan selera masa kini agar tetap relevan di mata generasi muda. Harapannya, pasatimpo tidak sekadar menjadi artefak dalam museum, melainkan terus hidup sebagai simbol jati diri, keberanian, dan kebijaksanaan masyarakat Sulawesi Tengah.

  • Mengenal Tombak Trisula Asal Palembang

    Mengenal Tombak Trisula Asal Palembang

    Nusantara – Tombak Trisula adalah senjata tradisional Palembang, Sumatera Selatan, yang kaya nilai budaya dan spiritual. Ciri khasnya adalah mata tombak bercabang tiga menyerupai garpu besar, sehingga disebut trisula, dari bahasa Sanskerta yang berarti “tiga tombak” atau “tiga ujung”.

    Dalam budaya lokal, Tombak Trisula bukan hanya alat tempur, tapi juga simbol kekuasaan, perlindungan, dan kekuatan gaib yang diyakini mampu menolak bala serta memberi keberanian pada pemiliknya. Senjata ini sering dipakai dalam upacara adat atau ritual spiritual, dan diwariskan turun-temurun di kalangan bangsawan atau tokoh masyarakat berpengaruh.

    Sejarah mencatat, Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam adalah wilayah dengan tradisi maritim dan militer yang kuat. Pengaruh budaya India dan Asia Tenggara memperkaya ragam senjata tradisional di sana, termasuk tombak trisula.

    Secara fisik, tombak ini memiliki bilah logam tajam di tengah, dengan dua cabang lebih pendek di sisi kiri dan kanan, membentuk huruf “Y” dengan ujung runcing. Gagangnya dibuat dari kayu keras seperti nibung atau kemuning, yang dipercaya memiliki kekuatan mistis dan ketahanan tinggi.

    Dalam versi sakral, gagang tombak dihias ukiran simbolik atau dibalut kain kuning sebagai lambang kesucian dan perlindungan. Ukurannya bervariasi — dari lebih dua meter untuk upacara hingga versi pendek untuk keperluan bela diri.

    Keunikan utama Tombak Trisula bukan hanya kemampuannya melukai lawan, tetapi juga mencengkram dan menjatuhkan senjata musuh lewat cabang sampingnya, efektif dalam pertarungan jarak dekat.

    Tombak Trisula Simbol kecerdikan Bertahan Dan Bertempur

    Tombak Trisula dari Palembang bukan hanya senjata ofensif, tetapi juga simbol kecerdikan dalam bertahan dan bertempur. Dalam budaya dan spiritual masyarakat Palembang, senjata ini dipandang sakral. Banyak yang percaya, Tombak Trisula memiliki kekuatan supranatural, apalagi jika telah melalui ritual penyematan oleh pawang atau dukun.

    Di masyarakat tua Palembang, trisula sering ditempatkan di atas pintu rumah adat atau pojok ruang utama sebagai penjaga gaib dan penolak bala. Dalam tradisi kesenian seperti tari perang dan pertunjukan silat, trisula tampil sebagai lambang perjuangan antara kebaikan dan kejahatan.

    Cerita rakyat setempat juga banyak menggambarkan trisula sebagai senjata pendekar sakti yang mampu mengalahkan makhluk halus dan kekuatan hitam. Filosofi di balik tiga ujung tombak ini melambangkan keseimbangan pikiran, perasaan, dan tindakan — atau harmoni antara langit, bumi, dan manusia.

    Kini, Tombak Trisula terus didokumentasikan oleh lembaga budaya, museum, dan komunitas pelestari di Palembang. Ia kerap dipamerkan dalam festival budaya, sedekah dusun, hingga peringatan hari besar daerah.

    Selain menjadi simbol kebanggaan, Tombak Trisula juga menarik minat para peneliti sejarah dan antropologi, yang menelusuri pengaruh akulturasi budaya dalam perkembangan senjata tradisional Nusantara.

    Dengan segala nilai sejarah, seni, dan spiritualitas yang dikandungnya, Tombak Trisula layak dilestarikan sebagai bagian penting dari identitas budaya Indonesia.

  • Bahasa Kreol Tugu: Warisan Linguistik Unik dari Betawi Portugis

    Bahasa Kreol Tugu: Warisan Linguistik Unik dari Betawi Portugis

    Nusantara – Bahasa kreol Tugu yang berkembang di wilayah Betawi menjadi salah satu bukti kekayaan dan keunikan ragam bahasa di Indonesia. Bahasa ini bermula sebagai bahasa rahasia di kalangan komunitas Tugu, atau yang dikenal sebagai Betawi Portugis.

    Dilansir dari laman Seni & Budaya Betawi, istilah “kreol” berasal dari bahasa Prancis creole atau bahasa Portugis crioulo, yang secara umum berarti sesuatu yang terbentuk dari perpaduan unsur luar.

    Bahasa kreol Portugis yang berkembang di Tugu merupakan hasil percampuran antara bahasa Melayu, khususnya dari wilayah Melaka (Malaysia), dan bahasa Portugis. Perpaduan ini mulai terbentuk sejak tahun 1648, bersamaan dengan jatuhnya Melaka ke tangan Belanda setelah direbut dari Portugis.

    Dalam proses sejarahnya, banyak tentara Portugis yang berasal dari wilayah jajahan seperti Goa, Bengal, dan Malabar ditawan dan dibawa ke Batavia. Di sana, mereka dipaksa menjadi serdadu untuk VOC. Sebagian dari mereka yang kemudian dibebaskan dari perbudakan, dikenal sebagai kaum Mardijkers, diwajibkan untuk memeluk agama Kristen Protestan.

    Komunitas Mardijkers lalu dipindahkan ke daerah terpencil di tenggara Batavia, yang kelak dikenal sebagai Kampung Tugu. Di wilayah ini, peradaban baru terbentuk, dihuni oleh keturunan Portugis yang dikenal dengan istilah mestizo.

    Dalam kehidupan sehari-hari, komunitas ini mempertahankan bahasa kreol Portugis sebagai bahasa ibu mereka. Bahasa ini bahkan digunakan secara luas di Kampung Tugu selama hampir tiga setengah abad, menjadi bahasa vernacular yang khas dan sulit ditemukan di tempat lain.

    Keunikan bahasa kreol Tugu tetap terjaga karena komunitas Tugu cenderung tertutup dan minim pengaruh dari luar. Hingga akhir abad ke-20, masih ada beberapa generasi tua di Kampung Tugu yang fasih berkomunikasi menggunakan bahasa ini.

    Kreol Tugu: Warisan yang Kini Tinggal Kenangan

    Memasuki abad ke-21, eksistensi bahasa Kreol Tugu atau bahasa kreol Portugis semakin tergerus. Penggunanya terus berkurang hingga akhirnya nyaris punah. Salah satu penyebab utamanya adalah gagalnya pewarisan bahasa dari generasi lama kepada generasi penerus.

    Dahulu, bahasa ini memiliki peran khusus di kalangan masyarakat Tugu, terutama di antara para pria. Bahasa Kreol Tugu kerap dijadikan sebagai alat komunikasi rahasia atau sandi yang hanya dipahami oleh komunitas setempat.

    Namun, masa kejayaannya mulai meredup sejak era kemerdekaan. Beberapa faktor turut mempercepat kemunduran bahasa ini. Salah satunya adalah kebijakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah negeri, tempat anak-anak keturunan Portugis bersekolah.

    Selain itu, pembangunan Jalan Raya Cakung-Cilincing turut mengubah lanskap sosial Kampung Tugu. Wilayah yang semula homogen menjadi lebih beragam dan multikultural, sehingga mempercepat pergeseran bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

    Meski tak lagi digunakan secara aktif, sejumlah jejak bahasa Kreol Tugu masih bisa ditemukan. Beberapa kata sapaan kekerabatan seperti tata (kakek), tata grandi (kakek buyut), nina (anak perempuan), sinyo (anak laki-laki), dan bas (engkau) masih dikenang. Selain itu, warisan budaya ini juga hidup dalam bentuk lagu-lagu tradisional seperti “Nina Bobo”, “Kafrinho”, dan “Yan Kagaleti”.

    Sebagai bentuk pelestarian, pada tahun 2024, bahasa Kreol Tugu telah resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh pemerintah. Penetapan ini menjadi pengakuan atas nilai historis dan budaya dari bahasa yang pernah mewarnai identitas Kampung Tugu.

  • Mengenal Ritual Bakar Tongkang: Warisan Budaya Tionghoa di Bagansiapiapi

    Nusantara – Setiap tahun, tepat pada tanggal 16 bulan 5 dalam penanggalan Imlek, kota Bagansiapiapi di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, menjadi pusat perhatian ribuan pengunjung yang datang untuk menyaksikan salah satu tradisi budaya paling ikonik di Indonesia — ritual Bakar Tongkang. Tradisi ini bukan sekadar perayaan, melainkan bentuk penghormatan kepada Dewa Laut Kie Ong Ya dan simbol harapan akan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat Tionghoa setempat.

    Asal-usul tradisi ini menyimpan kisah historis yang menarik. Mengutip dari berbagai sumber, Bakar Tongkang berakar dari perjalanan 18 keluarga Tionghoa yang berasal dari Fujian, Tiongkok. Pada abad ke-19, mereka tersesat di tengah lautan sebelum akhirnya menemukan daratan di wilayah Riau, setelah mengikuti cahaya yang dipercaya sebagai petunjuk dari Dewa Kie Ong Ya. Sebagai ungkapan rasa syukur atas keselamatan tersebut, para pendatang itu membangun klenteng dan memulai tradisi pembakaran replika kapal sebagai bentuk persembahan dan penghormatan.

    Baca Juga : Tradisi Buang Bayi dalam Budaya Jawa Mulai Ditinggalkan

    Rangkaian kegiatan Bakar Tongkang diawali dengan upacara sembahyang besar di Klenteng Ing Hok Kiong, tempat para umat berkumpul dengan membawa berbagai persembahan seperti buah-buahan, kue keranjang, dan dupa. Suasana sakral menyelimuti klenteng saat doa-doa dinaikkan memohon berkah dan perlindungan.

    Proses Pembakaran Tongkang

    Puncak acara ditandai dengan arak-arakan replika tongkang, yakni sebuah perahu kayu sepanjang sekitar 8 meter dan lebar 2,5 meter yang dihias warna-warni. Replika ini diarak keliling kota dalam suasana yang meriah, diiringi pertunjukan barongsai, liong, tabuhan gendang, serta dentuman petasan yang menambah semarak.

    Saat sore menjelang, tongkang dibawa ke tepi pantai dan kemudian dibakar, menjadi momen paling sakral sekaligus klimaks dari seluruh rangkaian ritual. Pembakaran ini melambangkan pelepasan nasib buruk dan pembukaan lembaran baru yang penuh harapan.

    Ritual Bakar Tongkang bukan hanya menjadi simbol spiritual, tetapi juga telah tumbuh menjadi daya tarik wisata budaya yang memperkuat identitas dan kebanggaan lokal masyarakat Bagansiapiapi.

    Festival Bakar Tongkang: Tradisi Pembaruan yang Menarik Ribuan Wisatawan

    Api yang membakar tongkang dalam Festival Bakar Tongkang bukan sekadar pertunjukan, melainkan simbol pembaruan. Masyarakat meyakini bahwa melalui pembakaran perahu ini, segala bentuk kesulitan dan energi negatif akan ikut hangus terbakar, memberi ruang bagi kehidupan yang lebih baik.

    Festival budaya ini telah masuk dalam kalender pariwisata nasional dan menjadi salah satu daya tarik utama setiap tahunnya. Tak kurang dari 15.000 hingga 20.000 pengunjung memadati lokasi perayaan, termasuk wisatawan mancanegara dari negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, hingga Tiongkok.

    Pemerintah daerah pun memanfaatkan momentum ini untuk menggelar berbagai acara pendukung, mulai dari bazar kuliner lokal hingga pertunjukan seni tradisional yang menambah semarak suasana.

    Meski sempat mengalami kevakuman selama masa pemerintahan Orde Baru, tradisi ini kembali dihidupkan sejak awal tahun 2000-an. Setelah absen selama puluhan tahun, Festival Bakar Tongkang kini kembali menjadi simbol kuat identitas budaya dan semangat kebersamaan masyarakat setempat.