Tag: adat istiadat

  • Menondong Lapasi: Tradisi Penyembuhan Sakral dari Tanah Minahasa

    Menondong Lapasi: Tradisi Penyembuhan Sakral dari Tanah Minahasa

    Nusantara – Di balik indahnya pesisir Manado, Sulawesi Utara, dengan laut biru yang membentang dan langit tropis yang cerah, tersimpan kekayaan budaya yang berakar dalam sejarah dan spiritualitas. Salah satu warisan budaya tersebut adalah Menondong Lapasi, sebuah upacara penyembuhan tradisional yang hingga kini masih lestari di tengah masyarakat Minahasa.

    Tradisi ini bukan hanya peninggalan leluhur yang dilestarikan demi adat semata, melainkan merupakan bentuk ekspresi spiritual masyarakat dalam menghadapi ancaman penyakit, terutama saat pergantian musim yang kerap membawa risiko kesehatan. Berikut rangkuman lengkap Anugerahslot hari ini.

    Upacara Penyembuhan dan Penyeimbang Energi

    Menondong Lapasi biasanya dilakukan saat merebaknya penyakit di lingkungan kampung. Tujuan utamanya bukan hanya untuk menyembuhkan individu yang sakit, tetapi juga untuk membersihkan kampung dari energi negatif yang dipercaya sebagai sumber gangguan. Dalam pandangan kosmologi Minahasa, penyakit sering kali dianggap sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara alam, manusia, dan roh.

    Upacara ini dipimpin oleh tetua adat atau dukun, sosok yang memiliki pengetahuan spiritual dan dipercaya sebagai jembatan antara dunia manusia dan dunia roh. Istilah Lapasi sendiri merujuk pada kondisi sakit atau tidak enak badan, baik secara fisik maupun batin, yang diyakini memiliki akar spiritual.

    Ritual yang Sarat Makna

    Prosesi Menondong Lapasi melibatkan perlengkapan khas seperti daun-daunan lokal yang digunakan untuk menyapu tubuh pasien sebagai simbol pembersihan energi negatif. Terdapat pula sesaji berupa makanan dan minuman yang dipersembahkan untuk menenangkan roh-roh yang dipercaya sebagai penjaga atau pengganggu.

    Dengan iringan nyanyian tradisional dalam bahasa daerah dan suara tetabuhan ritmis, suasana upacara menjadi sakral dan penuh aura mistis. Masyarakat kampung tak hanya hadir sebagai penonton, tetapi turut aktif memanjatkan doa dan menyatukan energi untuk keselamatan bersama.

    Antara Tubuh, Jiwa, dan Alam

    Menondong Lapasi bukan sekadar praktik penyembuhan. Ia mencerminkan cara pandang masyarakat Minahasa terhadap kesehatan sebagai harmoni antara tubuh, jiwa, dan lingkungan. Dalam pandangan ini, penyembuhan tidak hanya bergantung pada obat atau tindakan medis, tetapi juga pada upaya spiritual dan keterlibatan komunitas.

    Tradisi yang Bertahan di Tengah Modernisasi

    Di tengah arus modernisasi dan dominasi sistem kesehatan konvensional, Menondong Lapasi tetap bertahan sebagai simbol perlawanan terhadap reduksi nilai-nilai spiritual dalam praktik penyembuhan. Tradisi ini menjadi pengingat bahwa dalam kehidupan masyarakat Minahasa, aspek spiritual dan sosial tetap menjadi bagian penting dari proses kesembuhan.

    Menondong Lapasi: Jejak Kearifan Penyembuhan Holistik dari Minahasa

    Dalam masyarakat Minahasa, penyembuhan tidak semata-mata dipandang sebagai urusan medis atau konsumsi obat-obatan. Lebih dari itu, proses pemulihan dipahami sebagai upaya merawat keseimbangan antara manusia, alam, leluhur, dan kekuatan adikodrati. Pandangan ini terwujud dalam tradisi sakral yang masih bertahan hingga kini: Menondong Lapasi.

    Tradisi ini mengajarkan bahwa penyakit bisa muncul bukan hanya karena faktor biologis, tetapi juga karena gangguan pada etika sosial, ketidakharmonisan dengan alam, atau ketidakseimbangan spiritual. Dengan demikian, Menondong Lapasi tidak sekadar ritual penyembuhan kuno, melainkan sebuah cermin budaya yang menghadirkan cara pandang holistik terhadap kesehatan dan kesejahteraan.

    Lebih dari Ritual, Sebuah Filosofi Hidup

    Dalam setiap pelaksanaannya, Menondong Lapasi menjadi penanda spiritual bahwa tubuh dan jiwa manusia adalah bagian dari ekosistem yang lebih besar. Penyakit dipahami sebagai tanda terganggunya harmoni, dan upacara ini menjadi medium untuk memulihkan keterhubungan itu—antara manusia dengan alam, komunitas, dan kekuatan spiritual yang diyakini menaungi kehidupan.

    Namun demikian, mempertahankan tradisi ini di era modern bukanlah hal mudah. Generasi muda semakin jauh dari akar budaya, banyak yang menganggap ritual seperti Menondong Lapasi tak lagi relevan dalam kehidupan serba digital saat ini.

    Makna Baru di Tengah Dunia yang Berubah

    Ironisnya, justru di masa ketika dunia menghadapi krisis kesehatan global dan semakin banyak orang mencari pendekatan penyembuhan yang manusiawi dan menyeluruh, Menondong Lapasi mendapatkan kembali relevansinya. Tradisi ini menawarkan perspektif penyembuhan yang tidak hanya menyentuh tubuh, tetapi juga merangkul jiwa, komunitas, dan lingkungan.

    Menondong Lapasi dapat menjadi jembatan antara ilmu kedokteran modern dan kearifan lokal, mempertemukan teknologi medis dengan nilai-nilai spiritual yang mengakar kuat dalam budaya. Dalam konteks ini, tradisi Minahasa ini bukan sekadar upacara warisan nenek moyang, tetapi sumber inspirasi bagi masa depan penyembuhan yang lebih berakar dan berempati.

    Warisan Bernilai, Identitas yang Perlu Dikenalkan Kembali

    Ketika dunia sibuk mencari bentuk penyembuhan yang lebih utuh, masyarakat Minahasa telah lama memilikinya. Menondong Lapasi adalah warisan budaya yang tak ternilai, bukan hanya untuk dilestarikan, tetapi juga untuk dikenalkan kembali sebagai bagian dari kekayaan spiritual Indonesia.

    Ia adalah bukti bahwa tradisi dan kebijaksanaan lokal dapat hidup berdampingan, bahkan saling melengkapi, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kesehatan modern.

  • Goa Kucing Probolinggo: Jejak Spiritualitas dan Kasih Sayang terhadap Makhluk Hidup

    Goa Kucing Probolinggo: Jejak Spiritualitas dan Kasih Sayang terhadap Makhluk Hidup

    Nusantara – Terletak di Probolinggo, Jawa Timur, Goa Kucing bukan hanya sekadar situs religi, tetapi juga merupakan simbol kasih sayang dan kemanusiaan yang diwariskan oleh seorang ulama besar, Syekh Maulana Ishaq. Tempat ini menyimpan sejarah penyebaran Islam di kawasan timur Jawa, sekaligus menjadi saksi nilai-nilai cinta terhadap makhluk hidup—khususnya kucing.

    Goa ini berada di kawasan yang asri, dikelilingi pepohonan rindang dan aliran sungai kecil yang menciptakan suasana sejuk dan menenangkan. Konon, lokasi ini dahulu digunakan oleh Syekh Maulana Ishaq untuk beribadah, bermeditasi, dan bertafakur dalam keheningan alam.

    Namun, hal yang membuat Goa Kucing begitu unik adalah keberadaan ribuan kucing yang menghuni area tersebut. Legenda setempat menyebutkan kepada Anugerahslot bahwa sang ulama menjadikan tempat ini sebagai perlindungan bagi hewan-hewan terlantar, terutama kucing, yang menurutnya merupakan makhluk Tuhan yang perlu disayangi dan dilindungi.

    Masyarakat sekitar yang mengenal sosok Syekh Maulana Ishaq sebagai pecinta kucing pun turut menyumbangkan kucing-kucing peliharaan mereka untuk dirawat di sini. Hal ini menjadikan Goa Kucing sebagai simbol kepedulian dan cinta terhadap makhluk hidup, sesuai dengan ajaran Islam yang menghormati hewan, terutama kucing, yang dianggap suci.

    Dalam tradisi Islam, kucing memiliki tempat istimewa. Rasulullah SAW sendiri dikenal memiliki kucing kesayangan bernama Muezza. Syekh Maulana Ishaq memanfaatkan kedekatan nilai-nilai tersebut untuk mengajarkan masyarakat tentang pentingnya merawat dan menyayangi makhluk hidup sebagai bentuk ibadah dan refleksi dari keimanan.

    Goa Kucing hingga kini menjadi salah satu destinasi religi dan wisata budaya yang menarik untuk dikunjungi, bukan hanya karena nuansa spiritualnya, tetapi juga karena pesan kemanusiaan yang tetap hidup di antara ribuan kucing yang masih berkeliaran dengan damai di kawasan tersebut.

    Goa Kucing: Warisan Spiritualitas, Kasih Sayang, dan Harmoni dengan Alam

    Kisah Syekh Maulana Ishaq dan Goa Kucing tidak hanya hidup dalam sejarah, tetapi juga menginspirasi masyarakat sekitar hingga saat ini. Semangat kepedulian terhadap makhluk hidup yang diajarkan sang ulama mendorong penduduk setempat untuk turut serta merawat kucing-kucing yang tinggal di area goa. Tak heran jika Goa Kucing kini menjadi simbol harmoni antara manusia dan alam.

    Goa ini tetap menjadi tempat yang dihormati dan ramai dikunjungi para peziarah. Banyak orang datang untuk berdoa, mencari ketenangan, atau sekadar menikmati keindahan alam sembari merenungi nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh Syekh Maulana Ishaq. Nuansa spiritual dan budaya terasa begitu kuat, membuat setiap kunjungan menjadi pengalaman yang menyentuh hati.

    Lebih dari sekadar tempat ibadah, Goa Kucing kini berkembang menjadi destinasi wisata budaya dan sejarah yang penting. Para pengunjung bisa mempelajari kehidupan dan peran Syekh Maulana Ishaq dalam penyebaran Islam di tanah Jawa, sambil menikmati suasana damai dan kesejukan lingkungan sekitar.

    Melihat nilai sejarah dan spiritual yang dimiliki, Pemerintah Daerah Probolinggo telah menetapkan Goa Kucing sebagai bagian dari situs cagar budaya. Upaya pelestarian pun terus dilakukan, baik melalui program edukasi kepada masyarakat, maupun inisiatif konservasi lingkungan untuk menjaga habitat alami kucing-kucing yang tinggal di sana.

    Goa Kucing menjadi pengingat abadi bahwa ajaran keagamaan tidak hanya berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan sesama makhluk ciptaan-Nya. Nilai kasih sayang, kepedulian, dan cinta terhadap alam hidup dalam harmoni di tempat ini.

    Warisan Syekh Maulana Ishaq bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi pesan moral yang relevan dan penting bagi generasi masa kini. Lewat Goa Kucing, kita diajak untuk memperluas pemahaman tentang makna keberagamaan—bahwa kemuliaan manusia juga tercermin dari caranya memperlakukan makhluk lain.

    Dengan segala keunikannya, Goa Kucing adalah permata spiritual dan budaya yang patut dijaga, dilestarikan, dan diwariskan untuk generasi mendatang. Probolinggo pun dengan bangga menjadikan tempat ini sebagai salah satu harta karun sejarah yang memperkaya identitas lokal sekaligus nasional.

  • Kampung Adat Lewohala: Warisan Budaya Leluhur di Tanah Lembata

    Kampung Adat Lewohala: Warisan Budaya Leluhur di Tanah Lembata

    Nusantara – Kampung Adat Lewohala Lolo Melu-Tanah Wuring Lamabura merupakan salah satu destinasi wisata budaya yang terletak di Desa Jontona, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Kampung ini dikenal sebagai pusat warisan budaya yang kaya dengan nilai sejarah, tradisi, dan kearifan lokal.

    Asal Usul Nama Lewohala

    Nama “Lewohala” memiliki dua versi asal-usul yang dikenal oleh masyarakat setempat. Versi pertama berasal dari nama seorang panglima perang bernama Hala Tede, tokoh legendaris yang memimpin peperangan untuk merebut tanah Lewohala. Ia dikenal karena berhasil mengalahkan hulubalang terkenal dari pihak lawan, yakni Ekan Watan Lolon.

    Versi kedua menyebutkan bahwa nama Lewohala berasal dari kata “Hala”, yang berarti “generasi”, merujuk pada nama sebuah pohon yang tumbuh di kawasan tersebut. Pohon Hala dijadikan simbol kampung karena melambangkan keindahan, keteduhan, dan kedamaian yang menjadi ciri khas masyarakat Lewohala.

    Asal Mula Penduduk Lewohala

    Masyarakat Kampung Adat Lewohala dipercaya berasal dari Kepulauan Maluku, tepatnya dari daerah yang dikenal dengan sebutan Serang Gorang Abo Muar. Sekitar abad ke-10 Masehi, nenek moyang mereka memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka dan mencari wilayah baru untuk dihuni.

    Keputusan untuk bermigrasi dipicu oleh beberapa faktor penting, seperti:

    • Konflik internal antara saudara kandung (Puke Kawi Lusi Lei dan Geni Kewa Magarai),
    • Perang antar kampung yang tiada henti,
    • Tekanan dari gelombang pendatang baru.

    Dalam upaya menemukan tempat yang aman dan damai, mereka membangun perahu yang disebut Tula Tena Tani Laya dan memulai pelayaran ke arah barat Nusantara, dikenal dalam tradisi lisan sebagai Seba Nuho Gena Katan.

    Tiba di Lembata

    Setelah melalui pelayaran panjang, rombongan leluhur Lewohala akhirnya tiba di sebuah pulau yang dikenal dalam kisah mereka sebagai Lepan Batan-Keroko Puken atau Uli Taga Sao Songe Kebo Tena Lulu Laya. Pulau tersebut kini dikenal dengan nama Pulau Lomblen atau Lembata.

    Di tanah Anugerahslot ini, mereka mulai membangun kehidupan baru dan menetap hingga saat ini. Masyarakat Lewohala terdiri dari berbagai suku yang memiliki akar dari Kepulauan Maluku, khususnya di bawah payung Suku Seram Sara Luka, Luwa Goran Lobi Au. Selain itu, ada juga suku-suku asli yang sudah lebih dahulu menetap di wilayah tersebut, seperti Suku Duli Making dan Suku Tede Making, yang dikenal dengan sebutan Tawa Tanah Gere Ekan.

    Struktur Sosial dan Jumlah Rumah Adat di Kampung Lewohala

    Hingga saat ini, terdapat 88 rumah adat di Kampung Lewohala. Jumlah ini bukan angka yang tetap, sebab sesuai perkembangan waktu dan dinamika komunitas adat, rumah adat dapat terus bertambah, khususnya jika 77 suku lainnya memutuskan untuk membangun rumah adat mereka sendiri sebagai bentuk pelestarian identitas dan keterikatan pada tradisi leluhur.

    Ke-88 rumah adat yang telah berdiri saat ini terbagi ke dalam dua kelompok sosial utama, yang mencerminkan struktur kasta dalam masyarakat adat Lewohala:

    1. Wungu Bele – Merupakan kasta tertinggi yang terdiri dari suku-suku besar atau kelompok penguasa adat. Kelompok ini memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan adat dan pelaksanaan upacara sakral. Adapun suku-suku yang termasuk dalam kasta ini adalah:
      • Gesi Making
      • Tede Making
      • Duli Making
      • Hali Making
      • Soro Making
      • Krowing Making
      • Laba Making
    2. Wungu Belumer – Merupakan kelompok suku kecil dalam struktur sosial adat, yang memiliki posisi lebih rendah dalam hierarki, namun tetap menjalankan peran penting dalam kehidupan sosial dan budaya kampung. Suku-suku dalam kelompok ini antara lain:
      • Pureklolon
      • Balawanga
      • Lamawalang
      • Matarau
      • Lebahi
      • Atanila
      • Lamatapo
      • Langodai

    Struktur kasta ini tidak hanya mencerminkan tatanan sosial, tetapi juga menjadi landasan dalam pembagian tugas adat, peran dalam upacara, dan sistem pewarisan nilai-nilai budaya. Dengan demikian, rumah adat bukan sekadar bangunan fisik, tetapi juga simbol kedudukan, identitas suku, dan kesinambungan warisan leluhur yang dijaga secara turun-temurun.

  • Misteri Batu Pamali di Puncak Gunung Latimojong, Sulawesi Selatan

    Misteri Batu Pamali di Puncak Gunung Latimojong, Sulawesi Selatan

    NusantaraGunung Latimojong di Sulawesi Selatan menyimpan sebuah legenda mistis terkait batu pamali yang terletak di puncaknya. Batu besar ini dipercaya sebagai benda keramat yang tidak boleh disentuh apalagi diduduki oleh siapapun. Masyarakat setempat meyakini bahwa siapa saja yang berani duduk di atas batu tersebut akan ditelan hidup-hidup oleh batu itu sendiri, sehingga menjadikannya larangan yang dijaga dan diwariskan secara turun-temurun.

    Gunung Latimojong, dengan ketinggian 3.478 meter di atas permukaan laut, adalah gunung tertinggi di Sulawesi Selatan. Puncaknya yang dikenal dengan nama Rante Mario menyimpan batu pamali yang penuh misteri ini. Kepercayaan terhadap batu tersebut tetap hidup di kalangan masyarakat lokal sebagai bentuk penghormatan terhadap tempat-tempat sakral di gunung tersebut.

    Beberapa pendaki yang pernah mendekati batu pamali mengaku merasakan sensasi aneh, seperti tekanan yang tidak biasa atau mendengar suara-suara misterius. Meski tidak ada bukti resmi mengenai orang yang hilang akibat batu ini, legenda dan rasa hormat terhadap batu pamali tetap kuat.

    Masyarakat sekitar menganggap batu pamali sebagai penjaga spiritual Gunung Latimojong. Mereka selalu mengingatkan para pendaki Anugerahslot untuk tidak mengganggu atau mencoba menduduki batu tersebut, menjaga tradisi dan kepercayaan agar tetap lestari.

    Ritual Batu Pamali

    Ritual-ritual tertentu masih kerap dilakukan oleh tetua adat di sekitar Gunung Latimojong sebagai wujud penghormatan terhadap batu pamali dan kekuatan spiritual yang diyakini melingkupinya. Para pemandu pendakian setempat biasanya menyampaikan legenda ini kepada para pendaki sebagai bagian dari pengenalan budaya lokal dan pentingnya menjaga tata krama selama berada di kawasan gunung.

    Mereka menekankan agar pendaki menghormati kepercayaan masyarakat setempat, meski secara pribadi mungkin tidak meyakininya. Larangan untuk tidak duduk di atas batu pamali menjadi aturan tak tertulis yang sangat dihormati dan diikuti oleh banyak pendaki.

    Legenda batu pamali ini tidak hanya menjadi bagian dari kekayaan budaya, tapi juga menjadi daya tarik wisata budaya yang unik di Gunung Latimojong. Meski demikian, para pengelola dan pemandu terus mengedukasi pengunjung agar selalu mematuhi aturan keselamatan pendakian demi menjaga keselamatan dan kelestarian alam.

    Sampai kini, misteri batu pamali tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Gunung Latimojong. Legenda tersebut terus diwariskan sebagai peringatan untuk menghormati kekuatan alam dan menjaga harmoni antara manusia dengan lingkungan sekitar.

  • Transformasi Tari Ebeg: Dari Ritual Magis ke Pertunjukan Seni Rakyat

    Transformasi Tari Ebeg: Dari Ritual Magis ke Pertunjukan Seni Rakyat

    NusantaraTari Ebeg, seni tradisional khas dari Banyumas, Jawa Tengah, telah mengalami evolusi fungsi yang signifikan. Kesenian yang awalnya dipentaskan sebagai ritual tolak bala kini berkembang menjadi bentuk pertunjukan seni rakyat yang tampil dalam berbagai festival dan acara budaya.

    Mengacu pada berbagai sumber dari Anugerahslot, Tari Ebeg memiliki akar sejarah yang kuat dalam tradisi masyarakat agraris. Dulu, tarian ini digunakan sebagai media spiritual untuk memohon keselamatan dan menolak bencana, terutama di masa-masa panen atau perubahan musim.

    Dalam pementasannya, penari menggunakan kuda kepang—kuda tiruan yang dibuat dari anyaman bambu—sebagai properti utama. Gerakan mereka menggambarkan kuda yang beraksi dalam perang atau berburu, dan pertunjukan ini sarat dengan unsur magis dan mistis.

    Salah satu ciri khas Tari Ebeg adalah fenomena “ndadi” atau kerasukan, di mana penari memasuki kondisi trance. Dalam kondisi ini, mereka mampu melakukan atraksi ekstrem seperti memakan pecahan kaca atau berjalan di atas bara api. Aksi-aksi tersebut diyakini sebagai bentuk komunikasi dengan dunia roh atau alam gaib.

    Namun, seiring perkembangan zaman, fungsi sakral tari ini mulai mengalami pergeseran. Pada masa kolonial Belanda, Tari Ebeg mulai ditampilkan sebagai hiburan dalam berbagai acara publik, seperti khitanan, pernikahan, hingga perayaan desa. Hal ini menandai awal dari perubahan bentuk dan fungsi kesenian tersebut.

    Dari Sakral ke Spektakuler

    Dengan bergesernya fungsi menjadi hiburan, unsur mistik dalam pertunjukan Tari Ebeg pun mulai dikurangi intensitasnya. Meskipun elemen kerasukan masih ada dalam beberapa pertunjukan, praktiknya kini lebih bersifat simbolis dan terkontrol, demi menjaga nilai estetika dan keselamatan.

    Saat ini, Tari Ebeg terus eksis sebagai identitas budaya Banyumas, yang tak hanya mempertahankan warisan leluhur, tetapi juga mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman dan ruang pertunjukan modern.

    Tari Ebeg: Modernisasi Warisan Budaya Banyumas

    Tari Ebeg, warisan budaya masyarakat Banyumas, Jawa Tengah, terus berevolusi seiring dengan perubahan zaman. Dari ritual sakral bernuansa magis, kini kesenian ini tampil lebih dinamis, menyesuaikan selera penonton masa kini.

    Beberapa kelompok kesenian mulai mengedepankan unsur akrobatik dan estetika gerak, dibandingkan kekuatan magis yang dahulu menjadi ciri utama. Transformasi juga terjadi pada musik pengiring. Jika sebelumnya hanya menggunakan gamelan sederhana, kini penampilannya semakin meriah dengan tambahan instrumen modern seperti keyboard dan drum elektrik.

    Era Modernisasi dan Penyesuaian Format

    Periode 1980-an menjadi titik penting dalam proses modernisasi Tari Ebeg. Dalam upaya menjangkau khalayak lebih luas, berbagai penyesuaian dilakukan. Durasi pertunjukan yang dulunya bisa berlangsung berjam-jam kini dipersingkat menjadi 30 hingga 60 menit, tanpa mengurangi esensi cerita dan semangat tarian.

    Koreografi juga dikembangkan agar lebih variatif. Tarian kelompok mulai menggunakan formasi dan gerakan yang lebih dinamis, memberi kesan spektakuler tanpa meninggalkan nilai tradisionalnya.

    Aspek visual pun mendapat perhatian. Kostum penari, yang dulunya sederhana dan dominan warna gelap, kini dirancang lebih cerah dan atraktif. Penggunaan aksesori tambahan memberi sentuhan kekinian namun tetap berpijak pada akar budaya lokal.

    Pelestarian Lewat Pendidikan dan Festival

    Modernisasi Tari Ebeg tidak lantas menghilangkan identitasnya. Pemerintah Kabupaten Banyumas mengambil langkah konkret dengan memasukkan Tari Ebeg ke dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah. Langkah ini bertujuan untuk mengenalkan dan melestarikan kesenian daerah kepada generasi muda sejak dini.

    Tak hanya itu, berbagai sanggar kesenian lokal aktif menyelenggarakan pelatihan rutin, membuka ruang pembelajaran bagi siapa pun yang ingin mendalami Tari Ebeg. Ajang seperti Banyumas Arts Festival pun menjadi panggung tahunan yang menampilkan kreativitas sekaligus menjaga eksistensi kesenian ini.

    Kesimpulan: Tradisi yang Terus Bergerak

    Tari Ebeg membuktikan bahwa kesenian tradisional dapat terus hidup jika mampu beradaptasi. Melalui inovasi tanpa kehilangan akar budaya, Tari Ebeg kini menjadi salah satu ikon budaya Banyumas yang tetap relevan di tengah arus modernisasi.

  • Uwena Kanakea: Ritual Kesucian dan Kedewasaan Perempuan Buton

    Uwena Kanakea: Ritual Kesucian dan Kedewasaan Perempuan Buton

    Nusantara – Di sudut tenggara Sulawesi, tepatnya di kota Baubau—yang dahulu merupakan pusat kejayaan Kesultanan Buton—hidup sebuah tradisi sakral yang hingga kini masih dijaga dan dilaksanakan dengan khidmat, yakni Uwena Kanakea.

    Lebih dari sekadar prosesi adat, Uwena Kanakea adalah ritual yang mengakar kuat dalam budaya lokal. Ia bukan hanya serangkaian upacara tradisional, melainkan simbol transisi penting dalam kehidupan seorang perempuan Buton. Kata uwena dalam bahasa Wolio berarti proses pemandian atau penyucian, sedangkan Kanakea merujuk pada nama sebuah sumber mata air yang dianggap suci dan penuh berkah oleh masyarakat setempat.

    Dirangkum dari Sumber Anugerahslot terpercaya. Ritual ini diperuntukkan khusus bagi anak perempuan yang telah melewati masa remaja atau memasuki fase akil balig—menandai bahwa dirinya telah sah sebagai perempuan dewasa dalam tatanan sosial dan budaya masyarakat Buton.

    Namun, lebih dari sekadar pemandian biasa, Uwena Kanakea merupakan sebuah perjalanan spiritual dan simbolik. Ia menyentuh aspek terdalam dari identitas perempuan Buton, dari sisi spiritual, sosial, hingga kultural.

    Ritual ini biasanya dilangsungkan dengan penuh kekhusyukan di sekitar mata air Kanakea—tempat yang sejak lama diyakini memiliki kekuatan spiritual serta khasiat untuk menyucikan diri. Di tempat inilah, para perempuan muda dibawa oleh orang tua atau tetua adat untuk dimandikan—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara simbolik, sebagai bentuk pembersihan diri dari masa kanak-kanak menuju gerbang kedewasaan.

    Air dari Kanakea diyakini mengandung energi positif yang mampu menyeimbangkan jiwa dan raga, menjauhkan dari marabahaya, serta membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah. Dalam pelaksanaannya, si gadis akan mengenakan busana adat—biasanya berupa kain tenun khas Buton yang sarat warna dan makna.

    Ia akan duduk tenang di tepi mata air, sementara tetua adat perempuan akan menyiramkannya dengan air Kanakea sembari melantunkan doa dan mantera dalam bahasa Wolio yang diwariskan secara turun-temurun. Proses ini bukan sekadar seremoni keluarga inti, tetapi juga melibatkan komunitas sekitar yang hadir untuk memberi restu dan menyaksikan momen sakral ini.

    Atmosfer upacara terasa begitu kuat dan emosional. Tak jarang air mata jatuh sebagai ungkapan haru, bangga, dan syukur. Uwena Kanakea adalah peristiwa yang tidak hanya membersihkan tubuh, tetapi juga membasuh jiwa—menyambut perempuan muda ke dalam perannya yang baru, dengan penuh makna dan penghormatan.

    Makna Mendalam Ritual Uwena Kanakea

    1. Pengakuan dan Transisi Sosial:
    Uwena Kanakea bukan sekadar prosesi adat, melainkan pengakuan sosial bahwa seorang gadis telah memasuki fase baru dalam kehidupannya. Ini menandai transisi dari masa anak-anak menuju peran yang lebih dewasa dalam keluarga dan masyarakat.

    2. Nilai-nilai Luhur yang Diajarkan:
    Ritual ini sarat dengan ajaran kearifan lokal:

    • Penghormatan pada leluhur
    • Keselarasan manusia dengan alam
    • Pentingnya menjaga kesucian diri, lahir dan batin

    3. Simbolisme Air Kanakea:
    Air dalam prosesi ini adalah medium spiritual—bukan hanya sebagai alat fisik penyucian, tetapi juga sebagai simbol warisan, kemurnian, dan harapan.

    4. Posisi Perempuan dalam Budaya Buton:
    Perempuan tidak hanya dihormati, tetapi ditempatkan sebagai pilar budaya dan keluarga. Kedewasaannya diukur dari kesiapan spiritual dan sosial, bukan semata usia biologis.

    5. Tantangan Modernisasi:
    Ritual ini kini menghadapi ancaman dari arus modernisasi dan pandangan generasi muda yang menganggapnya kuno atau tidak relevan. Padahal, nilai-nilai di dalamnya sangat kontekstual untuk memperkuat identitas budaya.

    6. Upaya Pelestarian:
    Pemerintah daerah dan tokoh adat mencoba menghidupkan kembali semangat Uwena Kanakea melalui festival budaya, dokumentasi warisan tak benda, dan keterlibatan generasi muda.

    7. Warisan Budaya yang Hidup:
    Uwena Kanakea bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang masa kini dan masa depan. Setiap tetes air Kanakea membawa nilai, harapan, dan doa yang memperkuat mata rantai budaya antar generasi.

  • Tari Badui: Warisan Budaya yang Perlu Dijaga

    Tari Badui: Warisan Budaya yang Perlu Dijaga

    NusantaraTari Badui bukan sekadar pertunjukan seni, tetapi cerminan nilai religius dan budaya lokal masyarakat Sleman. Berasal dari tradisi selawatan yang memuliakan Nabi Muhammad SAW, tarian ini menunjukkan bagaimana seni dan spiritualitas bisa menyatu dalam ekspresi rakyat.

    Seiring perkembangan zaman, Tari Badui tidak hanya hadir dalam peringatan Maulid Nabi, tetapi juga tampil di panggung-panggung hiburan sebagai identitas budaya yang dinamis. Dengan penampilan delapan penari laki-laki, iringan bedug, jidor, dan rebana, serta vokal tradisional yang khas, tarian ini membawa penonton pada suasana kerakyatan yang sarat makna.

    Tantangan pelestarian tentu ada, namun pelibatan generasi muda Anugerahslot dalam pertunjukan, pendidikan, dan dokumentasi tari ini akan menjadi kunci untuk memastikan Tari Badui tetap hidup di masa depan. Melestarikan tari Badui bukan hanya menjaga tradisi, tetapi juga merawat akar budaya dan spiritualitas Nusantara.

    Tari Badui, Warisan Spiritual dan Estetika Rakyat Sleman

    Tari Badui bukan hanya seni pertunjukan semata, melainkan jejak sejarah dakwah kultural Islam yang hidup dalam tradisi rakyat. Dengan vokal bersahutan antara penari dan vokalis, diiringi instrumen rebana dan jidor, tari ini menyajikan harmoni antara gerak tubuh dan lantunan pujian kepada Nabi Muhammad SAW.

    Para penari tampil khas dengan peci Turki (panigoro) atau kuluk temanten merah, serta kostum adat yang sarat makna, lengkap dengan godo atau gombel sebagai simbol keteguhan dan perjuangan. Keindahan geraknya tak lepas dari akar spiritualnya yang dulu berfungsi sebagai sarana penyebaran agama Islam di pedesaan.

    Kini, Tari Badui juga menjadi media hiburan dan pelestarian budaya lokal. Penetapannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada tahun 2007 menjadi pengakuan penting atas nilainya dalam sejarah dan budaya Indonesia.

    Sebagai masyarakat yang mencintai warisan leluhur, sudah sepatutnya kita menjaga, melestarikan, dan mempopulerkan Tari Badui kepada generasi muda, agar seni yang lahir dari bumi Sleman ini tetap hidup dan bermakna lintas zaman.

  • Wayang Wong: Kesenian Tradisional Jawa yang Terus Dilestarikan

    Wayang Wong: Kesenian Tradisional Jawa yang Terus Dilestarikan

    Nusantara – Wayang wong atau sering disebut wayang orang merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional khas Jawa, terutama berkembang di wilayah Jawa Tengah. Meski sempat redup, kesenian ini berhasil dihidupkan kembali dan hingga kini terus dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan budaya Nusantara.

    Wayang wong menampilkan kisah-kisah epik dari Mahabharata dan Ramayana, yang dipentaskan dalam bentuk teater panggung tradisional. Setiap lakon sarat akan pesan moral dan nilai-nilai kehidupan, disampaikan melalui dialog, tari, dan musik gamelan. Dalam beberapa pertunjukan, unsur sendratari turut memperkaya penampilan.

    Mengutip dari laman Anugerahslot Indonesia, jejak wayang wong telah ditemukan sejak masa Mataram Kuno, sebagaimana tercatat dalam Prasasti Wimalasmara (930 M) dan Prasasti Balitung (907 M) yang menyebut istilah “wayang wwang” dalam bahasa Jawa Kuno. Bukti ini menunjukkan bahwa pertunjukan wayang wong sudah eksis lebih dari seribu tahun silam.

    Perjalanan wayang wong tak terlepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan besar di Jawa, termasuk Majapahit yang turut melestarikan tradisi ini. Namun, memasuki masa-masa modern, pertunjukan ini sempat dilupakan. Kebangkitan kembali kesenian ini dimotori oleh dua pusat budaya Jawa: Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, setelah terjadinya pembagian wilayah Mataram melalui Perjanjian Giyanti pada 1755.

    Kini, wayang wong tak hanya menjadi pertunjukan elit keraton, tetapi juga hadir di ruang publik dan panggung budaya untuk generasi muda. Kesenian ini terus dijaga sebagai warisan budaya yang tak hanya menampilkan keindahan seni, tetapi juga mencerminkan jati diri dan kearifan lokal masyarakat Jawa.

    Perkembangan Wayang Wong di Yogyakarta dan Surakarta

    Wayang wong di Yogyakarta mengalami kebangkitan dan pembaruan signifikan sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I pada 1750-an. Selain menjadi ekspresi seni adiluhung, wayang wong juga digunakan sebagai alat legitimasi politik. Melalui pertunjukan yang memvisualisasikan nilai-nilai luhur dan kepemimpinan dalam kisah Ramayana dan Mahabharata, Sultan ingin menegaskan posisinya sebagai pewaris sah Kerajaan Mataram sekaligus penerus tradisi kerajaan Majapahit.

    Pada masa Sultan Hamengkubuwono V, sistematisasi pertunjukan mulai dikembangkan. Dua naskah penting, yaitu Serat Kandha (narasi) dan Serat Pocapan (dialog), menjadi buku panduan utama dalam latihan dan pementasan wayang wong keraton. Kesenian ini pun mulai mendapat struktur dan bentuk artistik yang lebih baku.

    Transformasi besar terjadi pada masa Sultan Hamengkubuwono VII, ketika wayang wong mulai keluar dari eksklusivitas keraton. Melalui pendirian perkumpulan tari Krida Beksa Wirama pada tahun 1918, seni pertunjukan ini mulai diajarkan dan dipertunjukkan di luar lingkungan istana. Hingga kini, Krida Beksa Wirama menjadi lembaga penting dalam melestarikan seni tari klasik Yogyakarta, termasuk wayang wong.

    Inovasi Wayang Wong di Surakarta

    Di Surakarta, perkembangan wayang wong dimulai pada era Mangkunegara I sekitar 1760-an, dan mencapai puncak inovasinya pada masa Mangkunegara V. Di bawah kepemimpinannya, berbagai aspek kesenian ini mengalami pembaruan yang menyeluruh.

    Salah satu terobosan besar Mangkunegara V adalah pengelompokan pemain dalam tiga kategori:

    1. Wayang wong sentana – dimainkan oleh anggota keluarga istana.
    2. Wayang wong abdi dalem – dimainkan oleh para abdi dalem keraton.
    3. Wayang wong wanita – menunjukkan peran serta perempuan dalam kesenian ini.

    Dari sisi artistik, Mangkunegara V memperkenalkan kostum yang disesuaikan dengan bentuk tokoh wayang purwa, agar lebih mudah dikenali penonton. Penataan koreografi pun menjadi lebih sistematis, memperkuat identitas karakter lewat gerak tari yang baku dan bermakna.

    Tak hanya menampilkan lakon-lakon utama dari Mahabharata dan Ramayana, Mangkunegara V juga memperkenalkan lakon carangan, yaitu kisah-kisah yang dikembangkan di luar pakem. Inovasi ini memberi napas segar dan memperluas daya tarik pertunjukan kepada masyarakat umum.

    Wayang Wong Keluar dari Tembok Keraton

    Perubahan paling signifikan dalam sejarah wayang wong terjadi pada akhir abad ke-19, seiring dengan kemunduran ekonomi yang melanda istana. Ketika keraton tak lagi mampu membiayai pertunjukan secara rutin, seni ini pun mulai keluar dari lingkup eksklusif istana dan masuk ke ruang publik.

    Transformasi ini dipelopori oleh Gan Kam, seorang pengusaha keturunan Tionghoa, yang pada 1895 mengemas wayang wong menjadi pertunjukan komersial. Dengan restu Sri Mangkunegara V, Gan Kam memperkenalkan format panggung modern dengan sentuhan tata panggung ala opera Tiongkok dan Italia. Para pemainnya direkrut dari kalangan seniman keraton dan masyarakat umum, memperluas akses sekaligus memperkaya keberagaman artistik.

    Setelah Gan Kam wafat pada 1928, warisan keseniannya diteruskan oleh sejumlah tokoh Tionghoa lain seperti Sedyo Wandowo, Sarotama, dan Srikaton. Sementara itu, pengusaha Belanda bernama Reunecker juga mendirikan kelompok wayang orang. Setelah bubarnya kelompok ini, gedung pertunjukannya dibeli oleh Lie Wat Djien, yang kemudian membentuk Kelompok Wayang Orang Sono Harsono.

    Tak hanya dari luar keraton, pihak istana pun tetap berkontribusi dengan mendirikan Wayang Orang Sriwedari, sebuah kelompok yang bertujuan untuk menampung dan mempertahankan keahlian para penari istana. Pada 1930-an, kelompok ini mencapai popularitas tinggi di Surakarta, menjadikan wayang wong sebagai media edukasi, hiburan, dan pelestarian budaya.

    Penyebaran Wayang Wong ke Seluruh Jawa

    Sekitar dekade yang sama, berbagai kelompok wayang wong mulai bermunculan di kota-kota lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur, antara lain:

    • Sri Wanito di Semarang
    • Ngesti Pandowo di Madiun (kemudian pindah ke Semarang)
    • Sri Budaya di Kediri

    Kesenian ini mengalami masa keemasan hingga awal kemerdekaan, meskipun sempat terhenti sementara karena situasi politik. Pada era 1950-an hingga 1970-an, banyak kelompok baru bermunculan, termasuk Pancamurti, yang kemudian berkembang menjadi Wayang Orang Bharata di Jakarta dan Wahyu Utomo di Semarang.

    Kemunduran dan Upaya Pelestarian

    Namun, memasuki 1980-an, wayang wong menghadapi tantangan besar. Banyak pemain sepuh meninggal atau pensiun, dan di tengah arus budaya populer serta perubahan selera penonton, pertunjukan ini dianggap kurang relevan dan pamornya menurun drastis.

    Meski demikian, sejumlah kelompok tetap bertahan dan beradaptasi. Hingga kini, beberapa di antaranya masih eksis dan aktif menggelar pementasan:

    • Wayang Orang Sriwedari di Surakarta
    • Wayang Orang Ngesti Pandowo di Semarang
    • Wayang Orang Bharata di Jakarta

    Mereka terus berinovasi, termasuk memanfaatkan media digital, kolaborasi lintas seni, serta pertunjukan tematik untuk menarik minat generasi muda. Di tengah arus globalisasi, wayang wong tetap menjadi warisan budaya tak ternilai, yang tidak hanya menyampaikan cerita epik, tetapi juga nilai-nilai moral, sosial, dan spiritual khas Nusantara.

  • Tete Momo: Legenda Gelap Penjaga Malam dari Maluku

    Tete Momo: Legenda Gelap Penjaga Malam dari Maluku

    Nusantara – Di sudut-sudut rumah tradisional Maluku, ketika malam mulai merayap dan suara jangkrik menguasai angin, anak-anak tahu satu nama yang membuat mereka segera menarik selimut: Tete Momo.

    Bagi masyarakat Maluku, Tete Momo bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah legenda yang hidup, sosok tua berjubah gelap dengan wajah menakutkan dan sorot mata yang bisa membekukan keberanian. Nama “tete momo” sendiri berasal dari dua kata: tete yang berarti kakek, dan momo, istilah lokal untuk menggambarkan kejahatan atau kegelapan.

    Konon, Tete Momo mengincar anak-anak nakal—mereka yang suka melawan orang tua, tidak mau tidur malam, atau berbuat onar. Ia bukan hanya pengingat tentang moral dan disiplin, tetapi juga bayang-bayang mistis yang membaur dengan udara lembap Maluku. Dalam kepercayaan setempat, ia dianggap sebagai representasi dari makhluk-makhluk jahat: jin, setan, atau roh penasaran yang mengintai dari balik pepohonan atau bawah kolong rumah.

    Banyak orang tua menggunakan sosok ini sebagai alat untuk mendisiplinkan anak-anak. Ketika malam makin larut dan suara anak-anak masih riuh, satu kalimat saja bisa menghentikan semuanya:

    “Awas, nanti tete momo datang!”

    Legenda ini telah diwariskan turun-temurun, mengakar kuat dalam budaya lisan masyarakat Maluku. Tapi di balik sosok gelap Tete Momo, ada juga cahaya. Masyarakat Maluku mengenal sosok berlawanan bernama Tete Manis—perwujudan kasih, kebaikan, dan spiritualitas. Dalam konteks pengaruh Kristen yang kuat di wilayah ini, Tete Manis bahkan dipandang sebagai gambaran dari Yesus Kristus: lembut, penuh kasih, dan penyelamat dari kegelapan.

    Dalam kontras antara Tete Momo dan Tete Manis, masyarakat Maluku belajar tentang keseimbangan: antara takut dan cinta, antara disiplin dan kelembutan, antara gelap dan terang.

    Dan hingga kini, di rumah-rumah kayu yang berdiri teguh di tepi pantai atau pegunungan Maluku, nama Tete Momo masih bergema. Bukan hanya sebagai legenda yang menakuti, tapi sebagai cermin dari budaya, keyakinan, dan cara hidup yang terus diwariskan.

    Tete Momo: Legenda Gelap yang Masih Hidup di Maluku

    Di balik keindahan alam Maluku yang tenang dan menawan, hidup sebuah legenda yang diwariskan turun-temurun: Tete Momo. Ia bukan pahlawan atau penolong, melainkan sosok gaib yang kerap kali disebut saat malam mulai datang dan anak-anak masih bermain di luar rumah.

    Tete Momo, dalam bahasa Maluku, berarti kakek jahattete berarti kakek, sementara momo menggambarkan sesuatu yang menakutkan atau jahat. Legenda ini berkembang sebagai tokoh yang menculik anak-anak nakal, khususnya mereka yang tidak menuruti perintah orang tua atau enggan tidur malam. Sosoknya digambarkan tua, menyeramkan, dan penuh aura gelap. Ia tak sekadar mitos, tapi juga alat sosial untuk mendidik dan menanamkan kedisiplinan.

    Dalam kehidupan masyarakat Maluku, Tete Momo merupakan kebalikan dari Tete Manis, sosok yang menggambarkan kebaikan, kelembutan, bahkan dalam konteks kekristenan, merupakan perwujudan dari figur Yesus Kristus. Di antara terang dan gelap, dua tokoh ini menjadi simbol yang hidup dalam budaya setempat.

    Namun tak selamanya legenda ini hidup tanpa polemik.

    Pada awal 2025, nama Tete Momo kembali mencuat dan menjadi kontroversi nasional. Seorang penyanyi asal Ambon menggunakan istilah itu dalam kontennya saat menunjuk patung Johannes Leimena, pahlawan nasional asal Maluku yang diabadikan dalam Tugu di Bundaran Poka, Ambon. Dalam videonya, ia menyebut patung itu dengan kalimat “katong pung tete momo” — seolah mengolok-olok figur nasional dengan menyamakannya sebagai sosok menakutkan.

    Pernyataan itu langsung menuai kecaman dari tokoh agama, masyarakat adat, hingga budayawan. Banyak yang menilai penyebutan tersebut tidak hanya tidak pantas, tetapi juga bentuk ketidaktahuan terhadap sejarah dan pentingnya menjaga kesantunan dalam menyebut simbol kebanggaan daerah.

    Kisah ini menjadi pengingat bahwa legenda seperti Tete Momo tidak hanya hidup dalam cerita rakyat, tapi juga bisa menjadi cermin bagaimana budaya lokal harus dipahami dengan bijak. Sosok ini mungkin menyeramkan, tetapi ia menyimpan nilai moral, edukasi, dan refleksi atas bagaimana masyarakat membangun narasi tentang baik dan buruk.

  • Gelar Melayu Serumpun 2025 Resmi Dibuka

    Gelar Melayu Serumpun 2025 Resmi Dibuka

    Nusantara – Meskipun hujan mengguyur Kota Medan pada Rabu malam, 21 Mei 2025, semangat para peserta dan pengunjung tak surut untuk menghadiri pembukaan Gelar Melayu Serumpun 2025 yang digelar megah di Istana Maimun, Jalan Brigjen Katamso. Suasana semarak dan penuh warna budaya tetap terasa kuat sepanjang acara.

    Tahun ini menjadi penyelenggaraan ke-8 dari ajang budaya yang telah menjadi bagian dari Karisma Event Nusantara (KEN), program unggulan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. Gelar Melayu Serumpun diikuti oleh 29 delegasi, baik dari berbagai daerah di Indonesia maupun negara-negara sahabat, yang turut membawa kekayaan budaya Melayu masing-masing.

    Pembukaan acara ditandai dengan pemukulan gendang Melayu oleh Wali Kota Medan, Rico Waas, yang secara resmi membuka perhelatan. Tak hanya itu, Rico Waas juga memukau penonton dengan kemampuannya memainkan irama zapin, salah satu seni musik dan tari tradisional khas Melayu.

    Dalam sambutannya, Rico menegaskan bahwa kehadiran seluruh delegasi dan tamu undangan mencerminkan kesamaan akar budaya dan semangat kebersamaan yang tumbuh dari kebudayaan Melayu.

    “Kita semua berkumpul di sini karena meyakini satu hal: kita punya akar yang sama, semangat yang sama, yakni kebudayaan Melayu. Dan kebudayaan adalah identitas serta kekuatan bangsa,” ungkap Wali Kota Medan itu.

    Gelar Melayu Serumpun tak hanya menjadi ajang pelestarian budaya, tetapi juga momentum penguatan diplomasi budaya dan pariwisata antarbangsa yang berakar pada nilai-nilai kearifan lokal Melayu.

    Rico Waas: Melayu adalah Jiwa, Bukan Sekadar Etnis

    Dalam pidatonya pada pembukaan Gelar Melayu Serumpun 2025, Wali Kota Medan Rico Waas menekankan bahwa budaya Melayu bukan semata identitas etnis, tetapi lebih dari itu—ia adalah jiwa yang hidup dalam setiap aspek seni dan tradisi.

    “Melayu bukan hanya tentang darah dan garis keturunan. Ia hidup dalam pantun, bernafas dalam gurindam, bergerak lewat zapin, bersuara dalam syair, dan bercahaya lewat adat,” ujar Rico penuh semangat.

    Meski mengakui dirinya tidak lahir sebagai bagian dari etnis Melayu, Rico menyatakan dengan bangga bahwa dirinya memiliki jiwa Melayu yang tulen.

    “Saya mungkin tidak terlahir sebagai seorang Melayu, tapi saya percaya bahwa saya berjiwa Melayu sejati,” tuturnya.

    Ia juga menyoroti pentingnya Istana Maimun sebagai simbol kejayaan Kesultanan Deli sekaligus warisan sejarah Kota Medan yang patut dijaga dan dilestarikan. Menurutnya, nilai-nilai budaya yang terkandung dalam bangunan ikonik ini dapat menjadi daya tarik utama dalam memperkenalkan Medan ke dunia internasional.

    “Kebudayaan seharusnya menjadi sarana promosi yang hebat bagi kota ini. Lewat Gelar Melayu Serumpun, kita dapat memperkenalkan budaya Melayu dari Medan ke panggung dunia,” kata Rico.

    Tak hanya dari sisi seni pertunjukan, Rico juga menekankan bahwa kuliner, busana, dan adat istiadat merupakan bagian integral dari identitas budaya Melayu yang juga harus diperkenalkan dan dijaga kelestariannya.

    Rico Waas: Melayu Harus Jadi Subjek, Bukan Sekadar Objek Budaya

    Wali Kota Medan, Rico Waas, kembali menegaskan pentingnya peran budaya Melayu sebagai identitas yang hidup dan aktif dalam membentuk wajah Kota Medan. Dalam sambutannya di acara Gelar Melayu Serumpun 2025, Rico menyoroti perlunya menjadikan Melayu bukan sekadar objek budaya yang dipertontonkan, melainkan subjek yang kuat dan berdaya dalam membangun identitas kota.

    “Melayu jangan hanya dipandang sebagai objek. Melayu harus menjadi subjek—tampil kuat, berdaya, dan menjadi bagian penting dalam promosi Kota Medan,” ujarnya tegas.

    Lebih lanjut, Rico menekankan pentingnya kebudayaan sebagai sarana diplomasi lunak (soft diplomacy) untuk menarik perhatian dunia internasional. Ia menilai bahwa kekuatan budaya dapat menjadi modal besar bagi Indonesia, khususnya Kota Medan, untuk membangun citra yang kuat di mata dunia.

    “Kalau kita ingin diperhatikan oleh negara luar, maka kebudayaan harus didorong. Ini adalah bentuk soft diplomacy—bagaimana kita bisa tampil kuat karena kebudayaan yang hebat,” ungkap Rico.

    Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui perwakilannya, Direktur Poltekpar Medan, Ngatemin, memberikan apresiasi atas pelaksanaan Gelar Melayu Serumpun yang kembali masuk dalam Karisma Event Nusantara (KEN) 2025. Ia menyebut bahwa event ini memiliki peran penting dalam mendorong sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.

    “Kami mengapresiasi Pemko Medan karena Gelar Melayu Serumpun kembali masuk dalam KEN 2025. Diharapkan kegiatan ini bisa meningkatkan kunjungan wisatawan ke Kota Medan dan menjadi atraksi yang memberi pengalaman unik bagi para wisatawan,” ujarnya.

    Menurutnya, sinergi antara budaya, pariwisata, dan ekonomi kreatif merupakan langkah strategis dalam membangun kota yang tidak hanya kaya secara historis, tetapi juga kompetitif di panggung global.

    Sultan Deli XIV Dukung Penuh Gelar Melayu Serumpun 2025

    Sultan Deli XIV, Sultan Mahmud Lamantjiji Perkasa Alam Shah, menyampaikan dukungan penuhnya terhadap penyelenggaraan Gelar Melayu Serumpun 2025 yang digelar di Istana Maimun, Kota Medan. Menurutnya, acara ini memegang peranan penting dalam upaya pelestarian budaya Melayu, terutama dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada generasi muda.

    “Semoga acara ini menjadi momentum untuk memperteguh jati diri bangsa Melayu yang menjunjung tinggi adab, ilmu, dan kemuliaan,” ujar Sultan dalam sambutannya.

    Ia juga mengajak seluruh pihak untuk merawat adat dan budaya Melayu sebagai warisan yang tidak hanya bernilai sejarah, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai kehidupan yang relevan di era modern. Sultan Deli menekankan pentingnya kerukunan dan kesinambungan nilai adat di tengah perkembangan zaman.

    Sebagai agenda budaya tahunan yang masuk dalam Karisma Event Nusantara (KEN) dari Kementerian Pariwisata, Gelar Melayu Serumpun tahun ini berlangsung meriah dengan menampilkan berbagai kesenian tradisional. Di antara yang menarik perhatian adalah penampilan Alfin Habib, penyanyi jebolan Dangdut Academy, serta musisi ternama Henri Lamiri yang memukau hadirin dengan permainan biola bernuansa Melayu.

    Tidak hanya itu, delegasi dari dalam dan luar negeri juga tampil membawakan tarian-tarian khas Melayu, memperkuat semangat kebersamaan dalam bingkai budaya serumpun.

    Wali Kota Medan Terima Penghargaan KEN 2025 di Pembukaan Gelar Melayu Serumpun ke-8

    Pembukaan Gelar Melayu Serumpun ke-8 yang berlangsung meriah di Istana Maimun, Medan, turut diwarnai dengan momen istimewa: pemberian piagam penghargaan Karisma Event Nusantara (KEN) 2025 kepada Wali Kota Medan, Rico Waas, dari perwakilan Kementerian Pariwisata Republik Indonesia.

    Penghargaan tersebut menjadi bentuk apresiasi atas konsistensi Pemerintah Kota Medan dalam menyelenggarakan event budaya yang mengangkat kekayaan warisan Melayu ke kancah nasional dan internasional.

    Tahun ini, sebanyak 29 delegasi dari dalam dan luar negeri turut memeriahkan perhelatan budaya akbar tersebut. Dari Indonesia, 20 delegasi berasal dari berbagai daerah, antara lain:

    • Sabang, Langsa, Aceh Singkil, Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Langkat, Binjai, Serdang Bedagai, Deli Serdang,
    • Asahan, Labuhan Batu Utara, Sibolga, Batam, Dumai (2 delegasi), Jakarta, dan Pontianak.

    Sementara dari mancanegara, delegasi hadir dari sejumlah negara dan wilayah yang memiliki akar budaya serumpun, seperti:
    Kuala Lumpur, Ipoh Serawak, Johor, Selangor, Melaka, Singapura, Thailand, dan India.

    Acara yang berlangsung selama empat hari, mulai 21 hingga 24 Mei 2025, ini juga turut dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Wakil Ketua DPRD Medan Zulkarnain, Sekda Kota Medan Wiriya Alrahman, serta para Konsul Jenderal dari negara sahabat.

    Dengan kehadiran delegasi dari berbagai penjuru, Gelar Melayu Serumpun 2025 tak hanya menjadi ajang pelestarian budaya, tetapi juga panggung diplomasi budaya yang mempererat hubungan antarbangsa melalui seni dan adat Melayu.