Blog

  • Suanggi, Legenda Ilmu Hitam yang Menyeramkan dari Tanah Papua

    Suanggi, Legenda Ilmu Hitam yang Menyeramkan dari Tanah Papua

    Nusantara – Setiap daerah di Indonesia memiliki cerita rakyat atau legenda urban yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat setempat. Di wilayah Timur Indonesia, khususnya Tanah Papua, dikenal sebuah legenda menyeramkan yang erat kaitannya dengan ilmu hitam, yakni suanggi.

    Dikutip dari berbagai sumber, istilah suanggi di Indonesia Timur merujuk pada segala hal yang berhubungan dengan praktik sihir atau kekuatan gaib jahat. Penyebutan ini bisa merujuk pada sosok manusia maupun benda yang diyakini memiliki kekuatan mistis.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata suanggi memiliki beberapa makna, di antaranya adalah burung hantu, kepercayaan lama masyarakat suku Aru, dan juga roh jahat yang dipercayai oleh suku Belu. Konon, roh ini berkeliaran di malam hari untuk memangsa manusia.

    Suanggi dipercaya memiliki kemampuan untuk berubah wujud menjadi berbagai bentuk, termasuk binatang. Kemampuan ini digunakan untuk menyusup ke rumah targetnya tanpa menimbulkan kecurigaan.

    Sebagai makhluk atau sosok yang identik dengan ilmu hitam, suanggi diyakini membutuhkan kekuatan tambahan dari korbannya untuk memperkuat kemampuannya. Banyak yang percaya bahwa suanggi sebenarnya adalah manusia biasa yang menguasai ilmu untuk mencelakai atau membunuh secara gaib. Ilmu tersebut kemudian digunakan oleh individu tertentu untuk membalas dendam atau mencelakai orang lain.

    Dalam menjalankan aksinya, suanggi dikabarkan memiliki dua cara untuk menghabisi korbannya: melalui praktik santet yang dikenal dengan sebutan doti-doti, dan pembunuhan langsung. Pada metode kedua, suanggi menggunakan benda-benda kecil seperti batu atau tanah yang telah dirapal dengan mantra untuk menyerang korbannya. Setelah terkena, korban akan kehilangan kesadaran dan menjadi sasaran empuk bagi suanggi.

    Cerita tentang suanggi menjadi bagian penting dari budaya dan kepercayaan masyarakat Papua. Meski sulit dibuktikan secara ilmiah, legenda ini tetap hidup dan menjadi bagian dari kisah-kisah mistis yang mewarnai kehidupan di Indonesia Timur.

    Kisah Kelam Suanggi: Dari Penyiksaan hingga Ritual Kematian Ganda

    Sebelum melancarkan aksinya, suanggi dikisahkan memiliki metode yang kejam dan terencana. Salah satunya adalah dengan melucuti pakaian korbannya. Tujuannya bukan sekadar menyiksa, melainkan untuk menghilangkan jejak kekerasan yang bisa tertinggal pada pakaian. Ini membuat kejahatan suanggi tampak seolah tidak pernah terjadi.

    Setelah korban dibunuh, suanggi tak langsung pergi. Ia akan menjilat luka-luka pada tubuh korban. Melalui kekuatan ilmu hitam yang dimilikinya, luka dan memar tersebut konon bisa menghilang tanpa bekas, sehingga tidak akan ditemukan tanda-tanda kekerasan ketika tubuh korban diperiksa.

    Namun yang paling menyeramkan adalah kemampuan suanggi membangkitkan kembali korbannya dari kematian, hanya untuk membunuhnya sekali lagi. Kali ini, kematian korban biasanya tampak wajar—seperti karena kecelakaan, terjatuh, atau sebab-sebab alami lain, membuatnya sulit dicurigai sebagai hasil dari tindakan gaib.

    Usai menuntaskan misi gelapnya, suanggi disebut-sebut akan menari dan menyanyi di depan rumah orang yang telah mempekerjakannya. Sebagai simbol keberhasilan, ia akan menyerahkan potongan rambut korban kepada sang pemberi tugas sebagai bentuk bukti bahwa permintaan telah dilaksanakan.

    Kepercayaan terhadap suanggi telah diwariskan secara turun-temurun melalui cerita rakyat yang diceritakan secara lisan, membentuk bagian dari budaya mistis masyarakat Indonesia Timur. Meski paling terkenal di Papua dan Maluku, legenda suanggi juga telah menyebar dan dikenal di wilayah lain di Nusantara.

    Cerita-cerita ini tetap hidup sebagai bagian dari identitas budaya yang penuh makna, namun juga menyimpan sisi kelam dari keyakinan terhadap kekuatan ilmu hitam dan balas dendam gaib.

  • Kain Sasirangan, Warisan Budaya Banjar yang Sarat Makna dan Magis

    Kain Sasirangan, Warisan Budaya Banjar yang Sarat Makna dan Magis

    Nusantara – Kain sasirangan merupakan warisan budaya suku Banjar di Kalimantan Selatan yang hingga kini tetap lestari. Tak hanya indah secara visual, kain ini juga dipercaya memiliki kekuatan magis dan digunakan dalam berbagai upacara adat serta pengobatan tradisional.

    Kampung Sasirangan, Sentra Produksi dan Wisata Budaya

    Sentra pembuatan kain sasirangan berada di Kampung Sasirangan, yang terletak di Jalan Seberang Masjid, Kota Banjarmasin. Kampung ini dibentuk oleh pemerintah daerah sebagai destinasi wisata budaya sekaligus pusat produksi kain khas Banjar tersebut.

    Di tempat ini, wisatawan bisa menyaksikan langsung proses pembuatan kain sasirangan, dari tahap pewarnaan hingga hasil akhir, sekaligus membeli kain sebagai oleh-oleh khas Banjarmasin.

    Asal Usul: Dari Kain Langgundi ke Sasirangan

    Menurut catatan dalam Hikayat Banjar, kain sasirangan sudah dikenal sejak abad ke-7 dengan nama awal kain langgundi. Kisah legendarisnya melibatkan tokoh Patih Lambung Mangkurat dari Kerajaan Dipa.

    Dalam pencarian spiritual selama 40 hari 40 malam di atas rakit, Patih Lambung mendengar suara dari segumpal buih yang ternyata adalah Putri Junjung Buih. Sang putri bersedia menampakkan diri hanya jika permintaannya dipenuhi—yakni sebuah istana megah yang dibangun oleh 40 pemuda dan selembar kain panjang hasil karya 40 gadis, semuanya dalam satu hari.

    Permintaan itu berhasil dipenuhi. Putri Junjung Buih pun muncul dengan mengenakan kain langgundi berwarna kuning, dan kemudian menjadi ratu Kerajaan Dipa. Dari sinilah kain langgundi berkembang dan kini dikenal sebagai kain sasirangan.

    Kekuatan Magis dalam Kain Sasirangan

    Lebih dari sekadar pakaian, masyarakat Banjar meyakini bahwa kain sasirangan memiliki kekuatan magis yang digunakan untuk pengobatan tradisional (batatamba) dan perlindungan dari roh jahat.

    Kain yang dibuat berdasarkan pesanan khusus ini disebut kain pamintaan. Pembuatannya harus melalui serangkaian syarat dan ritual, termasuk selamatan. Warna kain juga disesuaikan dengan tujuan pengobatannya:

    • Kuning: menyembuhkan penyakit kuning
    • Merah: untuk sakit kepala atau insomnia
    • Hijau: untuk lumpuh atau stroke
    • Hitam: mengatasi demam dan gatal-gatal
    • Ungu: meredakan sakit perut
    • Cokelat: untuk gangguan kejiwaan

    Kain sasirangan bukan hanya identitas budaya, tetapi juga simbol spiritual dan kearifan lokal masyarakat Banjar yang telah bertahan selama berabad-abad.

    Kain Sasirangan: Dari Sarana Pengobatan hingga Busana Sehari-hari

    Selain warna dan proses pembuatannya yang sarat makna, cara dan bentuk pemakaian kain sasirangan juga memiliki ketentuan tersendiri, terutama ketika digunakan sebagai kain pamintaan untuk pengobatan tradisional masyarakat Banjar.

    Setiap bentuk pemakaian memiliki fungsi penyembuhan yang spesifik. Untuk mengobati demam atau penyakit kulit seperti gatal-gatal, kain dikenakan sebagai sarung (tapih bumin). Sementara itu, untuk mengatasi gangguan pencernaan seperti diare, kolera, atau disentri, kain digunakan sebagai kemben (udat) yang membalut tubuh bagian atas.

    Jika digunakan untuk mengurangi migrain, kain ini dipakai sebagai kerudung (kakamban), dililitkan atau disampirkan di kepala. Adapun untuk penyakit kepala seperti pusing atau nyeri berdenyut, pemakaiannya adalah sebagai ikat kepala (laung).

    Dari Sakral ke Fungsional

    Seiring waktu, kain sasirangan mulai mengalami pergeseran fungsi dan makna. Jika dulunya kain ini digunakan dalam konteks ritual dan pengobatan, kini ia juga dikenakan sebagai pakaian adat dalam acara resmi atau budaya.

    Namun, arus globalisasi dan perkembangan tren mode perlahan mengikis nilai sakral kain sasirangan. Penggunaannya semakin meluas dan menjadi bagian dari busana sehari-hari. Bahkan, kain ini kini diolah menjadi berbagai produk seperti gorden, taplak meja, seprai, hingga sapu tangan.

    Fenomena ini mencerminkan desakralisasi kain sasirangan, di mana unsur spiritual dan adat istiadat yang melekat pada kain mulai bergeser ke arah fungsional dan estetika modern.

    Warisan Budaya Banjar yang Terus Berkembang

    Nama sasirangan berasal dari metode pembuatannya, yaitu “sa” yang berarti satu dan “sirang” yang berarti jelujur. Kain ini dibuat melalui teknik tusuk jelujur yang kemudian diikat menggunakan benang atau tali, lalu dicelupkan ke dalam pewarna untuk menciptakan pola khas. Proses inilah yang menjadi ciri utama kain sasirangan.

    Meski kerap disebut sebagai batik Banjar, kain sasirangan memiliki perbedaan mendasar dengan batik. Jika batik dibuat dengan cara mencanting malam (lilin) di atas kain, maka sasirangan lebih menonjolkan teknik ikat celup sebagai identitasnya.

    Dari Serat Alam ke Serat Modern

    Pada awalnya, sasirangan dibuat dari benang kapas atau serat kulit kayu. Namun seiring perkembangan teknologi, para perajin kini menggunakan berbagai jenis kain modern, seperti sutera, satin, santung, balacu, kaci, polyester, hingga rayon.

    Perubahan juga terjadi dalam hal pewarnaan. Dulu, pewarna yang digunakan bersumber dari alam, seperti:

    • Kunyit atau temulawak untuk warna kuning
    • Buah mengkudu, gambir, atau kesumba untuk merah
    • Kabuau atau uar untuk hijau
    • Biji gandari untuk ungu
    • Kulit buah rambutan untuk cokelat

    Kini, banyak pengrajin beralih ke pewarna sintetis karena dianggap lebih praktis dan mudah didapat.

    Motif dan Popularitas yang Terus Tumbuh

    Kain sasirangan hadir dalam beragam motif, mulai dari sarigading, ombak sinapur karang, hiris pudak, bayam raja, hingga kambang kacang. Kreativitas para perajin juga terus melahirkan motif-motif baru yang memperkaya khazanah kain tradisional Banjar ini.

    Kepopuleran kain sasirangan terus meningkat, terutama setelah ditetapkan sebagai seragam wajib bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan pelajar di Kalimantan Selatan. Kini, kain ini tidak hanya hadir dalam upacara adat atau pengobatan tradisional, tetapi juga menjadi bagian dari mode sehari-hari dan tersedia luas di berbagai toko oleh-oleh.

  • Tradisi Huyula Tergerus Zaman, Perlu Revitalisasi Nilai Gotong Royong

    Tradisi Huyula Tergerus Zaman, Perlu Revitalisasi Nilai Gotong Royong

    Nusantara – Tradisi huyula—yang berarti kerja sama atau tolong-menolong dalam bahasa Gorontalo—telah lama menjadi inti kehidupan sosial masyarakat Gorontalo. Budaya ini tak hanya sekadar kegiatan fisik, melainkan juga wujud dari nilai spiritual dan tanggung jawab kolektif yang diwariskan secara turun-temurun.

    Dalam praktiknya, huyula hadir dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pembangunan rumah, kegiatan pertanian, hingga penyelenggaraan acara keagamaan dan sosial. Namun, di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan gaya hidup digital, tradisi luhur ini kini menghadapi tantangan serius.

    Pengamat komunikasi publik sekaligus dosen Universitas Terbuka, Wardoyo Dingkol, menyebutkan bahwa dominasi media sosial dan pola hidup individualis generasi muda, khususnya generasi Z, menyebabkan partisipasi dalam tradisi huyula kian menurun.

    “Generasi muda kini lebih memilih interaksi lewat media sosial. Bahkan dalam momen penting seperti kedukaan, mereka merasa cukup hadir secara virtual dengan mengirim pesan belasungkawa melalui gadget,” ujarnya kepada Liputan6.com, Senin (5/5/2025).

    Wardoyo menekankan bahwa pergeseran ini dapat melemahkan solidaritas sosial yang selama ini dijaga melalui praktik huyula. Padahal, gotong royong bukan hanya bagian dari budaya, melainkan juga mekanisme sosial yang memperkuat ikatan antarwarga.

    Kendati demikian, ia optimistis bahwa tradisi huyula masih dapat bertahan jika dikontekstualisasikan dengan dinamika zaman. Menurutnya, nilai-nilai gotong royong bisa diimplementasikan dalam bentuk kolaborasi modern, seperti kerja sama di bidang pendidikan, ekonomi kreatif, atau komunitas digital berbasis budaya lokal.

    “Penting bagi kita melakukan revitalisasi budaya. Huyula bisa tetap hidup jika nilai-nilainya disesuaikan dengan realitas sosial masa kini,” tambah Wardoyo.

    Ia pun mendorong peran aktif dari pemerintah daerah, tokoh adat, hingga institusi pendidikan dalam melestarikan huyula sebagai warisan budaya Gorontalo yang kaya makna dan relevan untuk masa depan.

  • Makna Waisak: Tiga Peristiwa Penting dalam Kehidupan Siddhartha Gautama

    Makna Waisak: Tiga Peristiwa Penting dalam Kehidupan Siddhartha Gautama

    Nusantara – Hari Raya Waisak 2025 akan diperingati umat Buddha pada 12 Mei. Waisak bukan sekadar perayaan keagamaan, melainkan momen spiritual yang memperingati tiga peristiwa penting dalam kehidupan Sang Buddha Gautama: kelahiran, pencerahan agung, dan wafatnya menuju Parinirvana.

    1. Kelahiran Pangeran Siddhartha

    Waisak menandai kelahiran Pangeran Siddhartha Gautama di Taman Lumbini (kini wilayah Nepal) pada tahun 623 SM. Kelahirannya dipercaya disertai tanda-tanda luar biasa — ia lahir dalam keadaan suci, dapat berdiri dan berjalan segera setelah lahir, serta setiap langkahnya ditumbuhi bunga teratai.

    Peristiwa ini diyakini sebagai pertanda bahwa Siddhartha kelak akan menjadi Buddha, sosok yang membawa jalan menuju kebahagiaan sejati dan mengakhiri penderitaan makhluk hidup.

    2. Pencerahan di Bawah Pohon Bodhi

    Pada usia 35 tahun, Siddhartha mencapai pencerahan sempurna di Bodh Gaya, India, di bawah pohon Bodhi. Sejak saat itu, ia dikenal sebagai Buddha atau Sammasambuddha — yang tercerahkan sepenuhnya.

    Pencerahan tersebut digambarkan melalui pancaran enam sinar Buddha yang menyinari tubuhnya: biru (kesetiaan dan ketenangan), kuning (kebijaksanaan), merah (belas kasih), putih (kesucian), jingga (semangat dan tekad), serta perpaduan kelima warna yang disebut Prabhasvara, bermakna cahaya yang sangat terang.

    Kelima warna ini kemudian menjadi simbol ajaran Buddha yang diwujudkan dalam bendera Buddhis dan digunakan dalam berbagai perayaan, termasuk Waisak.

    3. Wafat dan Parinirvana

    Peristiwa ketiga yang diperingati pada Hari Waisak adalah wafatnya Sang Buddha dan pencapaian Parinirvana — keadaan akhir yang terbebas dari siklus kelahiran dan kematian. Ini menjadi simbol penyempurnaan perjalanan spiritual Sang Buddha.

    Hari Waisak menjadi momen reflektif bagi umat Buddha untuk meneladani ajaran dan perjalanan Siddhartha Gautama, serta memperkuat tekad menuju pencerahan batin dan kedamaian sejati.

    Ingin saya bantu buatkan versi caption singkat untuk media sosial juga?

  • Deretan Festival Budaya Meriahkan Indonesia Sepanjang Mei 2025

    Deretan Festival Budaya Meriahkan Indonesia Sepanjang Mei 2025

    Nusantara – Sepanjang tanggal 9 hingga 31 Mei 2025, berbagai wilayah di Indonesia akan diramaikan dengan gelaran festival budaya yang menarik. Rangkaian acara ini merupakan bagian dari program Karisma Event Nusantara (KEN), hasil kolaborasi antara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf RI), pemerintah daerah, serta para pelaku industri pariwisata.

    Festival-festival budaya tersebut tak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga berperan penting dalam pelestarian warisan budaya serta penguatan nilai-nilai luhur bangsa. Menariknya, sebagian besar dari acara ini telah menjadi agenda tahunan yang selalu dinantikan.

    Berikut adalah lima festival budaya yang akan digelar sepanjang Mei 2025:

    Dua Festival Budaya Meriahkan Mei 2025: Dari Pantai Belitung hingga Sejarah Sriwijaya

    Mei 2025 menjadi bulan yang semarak bagi pecinta budaya dan wisata di Indonesia. Dua festival budaya unggulan akan digelar sebagai bagian dari program Karisma Event Nusantara (KEN). Kedua acara ini tidak hanya menawarkan hiburan dan keindahan alam, tetapi juga menjadi ajang pelestarian warisan budaya daerah.

    1. Pesona Belitung Beach Festival (9–12 Mei 2025)

    Kembali digelar di pesisir timur Sumatra, Pesona Belitung Beach Festival siap memanjakan para pencinta pantai dan budaya maritim. Festival yang berlangsung pada 9 hingga 12 Mei 2025 ini akan mengambil tempat di Pantai Tanjung Pendam, salah satu destinasi andalan Belitung.

    Mengusung tema “Harmoni Alam dan Akulturasi Budaya Pesisir”, festival ini menampilkan beragam kegiatan, mulai dari pertunjukan seni khas pesisir, parade perahu hias, konser musik, hingga bazar kuliner laut yang menggugah selera. Pengunjung juga dapat mengikuti lokakarya kerajinan tangan khas daerah.

    Menariknya, festival ini menjadi satu-satunya wakil dari Provinsi Bangka Belitung dalam program KEN tahun ini.

    2. Festival Sriwijaya (16–18 Mei 2025)

    Palembang, ibu kota Sumatra Selatan, akan kembali menjadi tuan rumah Festival Sriwijaya yang dijadwalkan berlangsung pada 16 hingga 18 Mei 2025. Mengangkat tema “The Glory of Sriwijaya”, festival ini menjadi perayaan tahunan untuk mengenang kejayaan Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat maritim dan budaya di masa lalu.

    Bertempat di Pelataran Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera), Festival Sriwijaya ke-33 ini akan menghadirkan pertunjukan seni kolosal bertema sejarah, lengkap dengan teatrikal, sendratasik, serta parade kostum tradisional.

    Selain itu, pengunjung juga bisa menikmati berbagai sajian dari UMKM lokal, pameran budaya, jajanan khas Palembang (jajan bingen), pertunjukan musik, serta kompetisi foto dan video. Kegiatan ini turut melibatkan 17 kabupaten dan kota di Sumatra Selatan.

    Dari Semangat Dayak hingga Tradisi Laut Sukabumi

    Deretan festival budaya di Indonesia sepanjang Mei 2025 terus berlanjut. Masing-masing menyuguhkan kekayaan tradisi dan kuliner yang mencerminkan ragam budaya Nusantara. Berikut tiga festival lainnya yang tak kalah menarik:

    3. Festival Budaya Isen Mulang (17–23 Mei 2025)

    Palangka Raya, Kalimantan Tengah kembali menjadi pusat perayaan budaya dengan digelarnya Festival Budaya Isen Mulang pada 17 hingga 23 Mei 2025. Festival ini mengangkat tema “Spirit of Isen Mulang” yang berarti semangat pantang menyerah, menjadi filosofi hidup masyarakat Dayak.

    Acara ini dijuluki sebagai “olimpiade budaya” karena mencakup lebih dari 50 lomba adat, mulai dari balap perahu tradisional, atraksi seni, hingga kompetisi memasak kuliner khas Dayak. Festival ini juga merupakan bagian dari peringatan HUT ke-68 Provinsi Kalimantan Tengah, sekaligus menjadi wujud pelestarian budaya lokal.

    4. Festival Rujak Uleg (17–18 Mei 2025)

    Surabaya kembali menggelar salah satu festival kuliner teruniknya, yaitu Festival Rujak Uleg, yang tahun ini berlangsung pada 17–18 Mei 2025 di Surabaya Expo Center (eks Taman Remaja Surabaya).

    Festival ini menjadi ajang pemecahan rekor karena menghadirkan ribuan peserta yang akan ngulek rujak secara massal di tengah kota. Kegiatan ini dilengkapi dengan parade budaya, pertunjukan musik, serta bazar makanan khas Jawa Timur. Festival ini juga menjadi bagian dari peringatan Hari Jadi Kota Surabaya (HJKS) ke-732, dan tahun ini akan hadir dengan konsep yang lebih inovatif.

    5. Festival Hari Nelayan, Sukabumi (hingga 31 Mei 2025)

    Menutup deretan festival budaya Mei, Festival Hari Nelayan di Palabuhanratu, Sukabumi hadir sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa para nelayan. Diselenggarakan sejak 20 April dan akan berlangsung hingga 31 Mei 2025, festival ini menyuguhkan berbagai acara seperti upacara adat, lomba perahu, lomba memancing, pemilihan Putri Nelayan, serta pertunjukan seni pesisir.

    Puncak acara dijadwalkan pada 21 Mei 2025, ditandai dengan prosesi larung sesaji ke laut sebagai bentuk syukur dan penghormatan terhadap alam laut yang telah memberikan rezeki bagi masyarakat.

    Dengan beragam tema dan kekayaan budaya yang dihadirkan, festival-festival ini tak hanya menjadi hiburan, tetapi juga ajang edukasi dan pelestarian budaya bagi generasi muda. Apakah Anda tertarik menghadiri salah satu festival ini.

  • Ngiling Bumbu: Tradisi Kebersamaan dan Warisan Budaya dari Desa Rantau Panjang

    Ngiling Bumbu: Tradisi Kebersamaan dan Warisan Budaya dari Desa Rantau Panjang

    Nusantara – Di Desa Rantau Panjang, Kabupaten Merangin, Jambi, hidup sebuah tradisi turun-temurun yang kaya akan nilai kebersamaan dan gotong royong, yaitu ngiling bumbu. Tradisi ini berlangsung di sebuah bangunan bersejarah yang disebut rumah tuo—tempat yang dipercaya telah menjadi saksi perjalanan budaya masyarakat selama lebih dari tujuh abad.

    Mengutip dari laman Indonesia Kaya, ngiling bumbu bukan sekadar aktivitas menyiapkan bahan masakan. Ia adalah simbol solidaritas, kebersamaan, dan bahkan menjadi ajang pertemuan jodoh bagi para pemuda dan pemudi desa. Suasana penuh canda dan tawa kerap mengiringi tradisi ini, memperkuat ikatan sosial antarwarga dan meneguhkan semangat gotong royong yang dikenal dalam budaya beselang.

    Tradisi ini digelar pada momen-momen penting dalam kehidupan masyarakat, seperti sebelum turun ke ladang, menjelang panen raya, saat kenduri pernikahan, maupun dalam proses pembangunan rumah baru. Seluruh kegiatan dilakukan secara bersama-sama, dengan peran masing-masing anggota masyarakat.

    Para gadis biasanya sibuk menumbuk rempah-rempah seperti kunyit, jahe, lengkuas, dan serai, sementara yang lain memarut kelapa untuk menghasilkan santan. Di sisi lain, para pemuda bertugas menangkap belut dari sungai-sungai sekitar.

    Belut bukan hanya bahan makanan, tetapi juga simbol kekuatan dan ketahanan. Kegiatan memancing belut bahkan dijadikan semacam perlombaan tradisional yang menguji keterampilan, keberanian, dan kekompakan. Di sinilah tercipta ruang interaksi yang alami antara pemuda dan pemudi, menjalin komunikasi yang mungkin berujung pada kisah cinta.

    Semua bahan masakan yang digunakan dalam tradisi ini dikumpulkan dari ladang-ladang subur di sepanjang Sungai Lamuih—sungai yang airnya mengalir ke Sungai Tabir hingga bermuara ke Sungai Batanghari.

    Ngiling bumbu bukan hanya soal masakan. Ia adalah warisan budaya yang terus dijaga, sebagai penanda identitas lokal dan penghormatan terhadap nilai-nilai leluhur. Di tengah modernisasi, tradisi ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga kebersamaan dan hubungan antarmanusia dalam kehidupan sehari-hari.

    Ngiling Bumbu: Tradisi Cinta, Pantun, dan Masakan Leluhur

    Di masa lampau, ngiling bumbu di Desa Rantau Panjang bukan sekadar ritual menyiapkan makanan. Lebih dari itu, ia menjadi ruang interaksi sosial yang sarat makna, dikenal pula dengan sebutan ba usik sirih bergurau pinang—ungkapan lokal yang menggambarkan momen pertemuan jodoh antara pemuda dan pemudi.

    Tradisi ini biasanya dimulai dengan lantunan pantun jenaka sebagai bentuk perkenalan. Para pemuda akan memecah keheningan dengan pantun yang menggelitik namun sopan:

    “Batang salih di tepi rimbo
    Rebah sebatang ke dalam payo
    Kalun bulih abong betanyo
    Kak baju abang siapo namo?”

    Pantun tersebut akan dibalas dengan gaya khas para gadis, yang tak kalah jenaka namun tetap menjaga tata krama:

    “Eee, Bong eh
    Dari mano hendak ke mano
    Dari Jepun ke Bando Cino
    Dado salah abong betanyo
    Adik nak malang Miah namonyo.”

    Sesi berbalas pantun ini menjadi titik awal komunikasi, mencairkan suasana, dan menciptakan kedekatan emosional dalam suasana yang hangat dan penuh tawa.

    Setelah pantun-pantun saling berbalas, belut yang sebelumnya ditangkap oleh para pemuda akan diserahkan kepada para gadis untuk dimasak. Proses memasaknya dimulai dengan ngiling bumbu, di mana rempah-rempah ditumbuk secara tradisional, lalu dilanjutkan dengan ngukuih, yaitu memasak gulai belut yang dicampur dengan daun pakis.

    Masakan ini disiapkan menggunakan tungku kayu, memberi cita rasa khas yang hanya bisa dihasilkan oleh cara-cara tradisional. Gulai belut ini kemudian disantap bersama nasi dari padi yang baru dipanen, sebagai simbol syukur atas hasil bumi dan keberkahan kebersamaan.

    Uniknya, penyajian makanan tidak dilakukan di satu tempat, melainkan tersebar di beberapa rumah di sepanjang kawasan rumah tuo. Setiap rumah menjadi bagian dari perjamuan, mempererat silaturahmi dan menjadikan seluruh desa sebagai satu keluarga besar.

    Melalui tradisi ngiling bumbu, masyarakat tak hanya meracik masakan, tapi juga merajut kebersamaan, menjaga kearifan lokal, dan mungkin—menemukan cinta.

  • Pulau Monduli: Permata Tersembunyi di Teluk Tomini yang Memikat Hati Para Penyelam

    Pulau Monduli: Permata Tersembunyi di Teluk Tomini yang Memikat Hati Para Penyelam

    Nusantara – Mentari pagi baru menyingsing ketika speedboat mulai menembus tenangnya perairan Teluk Tomini, meninggalkan Pantai Bolihutuo di Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Deburan ombak kecil seakan menyambut perjalanan singkat selama 20 menit menuju sebuah destinasi yang masih jarang terjamah: Pulau Monduli.

    Dari kejauhan, pulau kecil ini tampak biasa saja. Namun siapa sangka, di bawah permukaan airnya tersembunyi dunia laut yang memesona—sebuah surga bagi para penyelam dan pencinta alam bawah laut.

    Pulau Monduli mulai dikenal sebagai destinasi wisata bahari unggulan di Gorontalo, khususnya bagi mereka yang mencari keindahan laut yang masih alami. Air lautnya begitu jernih, hingga dasar laut terlihat jelas dari atas permukaan. Gradasi biru laut yang berpadu dengan cahaya matahari pagi menciptakan pemandangan yang memukau.

    Perjalanan menuju pulau pun terasa nyaman, bahkan bagi wisatawan yang baru pertama kali menaiki speedboat. Ketika tiba di spot penyelaman, para wisatawan disambut oleh pemandu profesional yang siap mengantar mereka menjelajahi dunia bawah laut Monduli.

    Salah satunya adalah Wawan Iko, penyelam lokal yang sudah bertahun-tahun memperkenalkan kekayaan laut pulau ini kepada wisatawan. Dengan bangga, ia mengatakan bahwa sekitar 70 persen terumbu karang di Pulau Monduli masih berada dalam kondisi alami dan sehat.

    “Hanya menyelam sekitar delapan meter saja, kamu sudah bisa melihat keanekaragaman hayati yang luar biasa,” ujarnya.

    Dasar laut Pulau Monduli dihiasi oleh berbagai jenis karang indah, mulai dari Acropora reef, table coral, sponge, hingga spesies langka seperti Salvador Dali coral. Setiap sudutnya menyajikan keajaiban yang tak hanya memanjakan mata, tapi juga menyentuh hati.

    Bagi wisatawan yang mendambakan petualangan yang damai, menyatu dengan alam, serta jauh dari keramaian, Pulau Monduli adalah jawaban yang tepat. Surga bawah laut ini tak hanya layak dikunjungi, tapi juga dijaga kelestariannya untuk generasi mendatang.

    Pulau Monduli: Surga Bawah Laut yang Ramah untuk Pemula dan Profesional

    Di antara karang-karang yang indah, ikan-ikan tropis seperti anthias fish dan sergeant fish berenang lincah, seolah menyambut hangat setiap penyelam yang datang. Pemandangan bawah laut di Pulau Monduli benar-benar seperti lukisan hidup yang memikat siapa pun yang menyaksikannya.

    Menariknya, Anda tak perlu menjadi penyelam profesional untuk menikmati keindahan bawah laut ini. Pulau Monduli menyediakan fasilitas pelatihan diving lengkap, termasuk program sertifikasi bagi pemula. Para wisatawan bisa belajar langsung dari instruktur berpengalaman, mulai dari teknik dasar hingga pelatihan lanjutan yang sesuai dengan standar keselamatan.

    “Tempat ini sangat ideal bagi siapa saja yang ingin mengenal dunia selam. Alamnya bersahabat dan suasananya mendukung,” ujar Wawan, sembari memeriksa perlengkapan penyelaman para peserta.

    Salah satu wisatawan, Mahmud M. dari Makassar, mengaku ini adalah pengalaman pertamanya menyelam. Namun hanya dalam hitungan jam setelah pelatihan, ia langsung jatuh hati pada keindahan laut Monduli.

    “Saya tidak menyangka lautnya seindah ini. Airnya tenang, karangnya berwarna-warni, dan suasananya sangat nyaman,” katanya dengan wajah berbinar.

    Kealamian Pulau Monduli menjadi daya tarik utama yang membedakannya dari destinasi bahari lain di Indonesia. Di sini, wisatawan tak hanya disuguhi keindahan visual, tetapi juga pengalaman menyelam yang tenang, aman, dan edukatif.

    Keramahan pemandu lokal, kebersihan lingkungan, serta kekayaan biota laut menjadikan Monduli sebagai destinasi yang patut diperhitungkan, baik untuk liburan singkat maupun eksplorasi bahari yang lebih mendalam.

    Di tengah maraknya promosi wisata di kawasan timur Indonesia, Pulau Monduli tidak sekadar menjadi titik di peta wisata, tapi juga simbol tentang laut yang lestari dan budaya lokal yang ramah. Ia adalah kisah indah tentang laut yang masih terjaga—dan patut dirawat bersama.

  • Ronggeng Gunung: Tarian Tradisional Sunda yang Bangkit dari Masa Kelam

    Ronggeng Gunung: Tarian Tradisional Sunda yang Bangkit dari Masa Kelam

    Nusantara – Ronggeng gunung, salah satu warisan budaya masyarakat Sunda, pernah mengalami masa suram ketika pertunjukannya dilarang oleh pemerintah karena dianggap bertentangan dengan norma kesopanan. Kini, tarian ini kembali dipentaskan dalam bentuk yang lebih modifikasi, sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya tradisional.

    Tarian ini berasal dari kisah legendaris Dewi Siti Samboja, putri Prabu Siliwangi, yang disebut-sebut sebagai tokoh utama di balik lahirnya ronggeng gunung. Menurut cerita rakyat yang berkembang, Dewi Siti Samboja menyamar menjadi penari ronggeng demi membalas dendam atas kematian kekasihnya, Raden Anggalarang, yang dibunuh oleh perampok bernama Kasalamundra.

    Dahulu, ronggeng gunung mendapat stigma negatif karena pertunjukannya melibatkan interaksi fisik antara penari perempuan dan penonton pria, yang dianggap rawan menimbulkan persoalan sosial. Karena itulah, tarian ini sempat dilarang tampil di muka umum.

    Salah satu unsur menarik dari ronggeng gunung adalah penggunaan pamelet, yaitu mantra atau doa pengasih yang dipercaya mampu membuat penonton, khususnya pria, jatuh hati kepada penari. Mantra tersebut biasanya diucapkan dalam bahasa Sunda kuno atau Jawa kuno. Meskipun banyak penari tidak lagi memahami arti dari mantra tersebut, justru hal itu menambah nuansa magis dan keramat dalam setiap pertunjukan.

    Dalam kepercayaan masyarakat setempat, fenomena seperti ini dikenal sebagai bagian dari magi produktif, yang menjadikan ronggeng gunung lebih dari sekadar hiburan, tetapi juga sarana spiritual dan budaya yang mendalam.

    Ronggeng Gunung: Antara Ritual, Budaya, dan Adaptasi Zaman

    Selain sebagai pertunjukan seni, ronggeng gunung juga memiliki fungsi ritual dalam kehidupan masyarakat Sunda. Tarian ini kerap dipentaskan dalam berbagai acara adat, seperti pesta panen padi dan upacara tradisional lainnya. Di momen-momen tersebut, ronggeng gunung menjadi bentuk sesembahan kepada leluhur sekaligus ekspresi budaya yang sarat makna spiritual.

    Seiring berjalannya waktu, ronggeng gunung mengalami sejumlah modifikasi. Perubahan dilakukan agar tarian ini tetap relevan dan dapat diterima oleh masyarakat modern, tanpa kehilangan nilai-nilai tradisionalnya. Kini, pertunjukan ronggeng gunung lebih dibatasi, hanya ditampilkan dalam acara adat tertentu, dengan gerakan yang telah disesuaikan agar lebih sopan dan sesuai norma sosial masa kini.

    Ciri khas ronggeng gunung tetap terlihat dari gerakannya yang unik dan ekspresif. Tarian ini diiringi oleh lagu-lagu tradisional Sunda yang mengangkat tema universal seperti kerinduan, cinta, dan dendam—tema yang memperkuat kesan emosional dalam setiap pertunjukan.

    Dengan keunikan dan nilai historis yang dikandungnya, ronggeng gunung tak hanya menjadi bagian dari pertunjukan seni, tetapi juga simbol identitas budaya yang berharga bagi masyarakat Sunda.

  • Kedewan: Tradisi Pengobatan Spiritual Masyarakat Lombok Timur

    Kedewan: Tradisi Pengobatan Spiritual Masyarakat Lombok Timur

    Nusantara – Di Desa Songak, Lombok Timur, hidup sebuah tradisi pengobatan unik bernama kedewan. Praktik ini bukan sekadar metode penyembuhan, tetapi juga diyakini sebagai bentuk pelunasan hutang spiritual yang diwariskan secara turun-temurun.

    Kedewan dilakukan di dua lokasi sakral: Masjid Bengan dan sebuah makam keramat di desa tersebut. Masyarakat percaya bahwa kedua tempat itu memiliki kekuatan spiritual yang mampu menjadi perantara antara manusia dengan alam gaib dalam proses penyembuhan.

    Dilansir dari Journal of Lombok Studies, kedewan merupakan bentuk pengobatan alternatif yang bersifat lokal dan mistis. Ketika pengobatan medis tidak lagi membuahkan hasil, banyak warga yang memilih jalur spiritual ini sebagai ikhtiar terakhir mereka.

    Masjid Bengan sendiri merupakan bangunan kuno yang asal-usul pendirinya tidak diketahui secara pasti. Dalam kepercayaan warga, masjid ini menjadi titik awal dimulainya ritual kedewan. Setelah berziarah ke masjid, prosesi dilanjutkan ke makam keramat yang dipercaya sebagai tempat tinggal spiritual leluhur desa.

    Konon, penghuni pertama Desa Songak pernah menetap di lokasi yang kini menjadi Masjid Bengan. Sebelum menghilang secara misterius, ia meninggalkan pesan agar orang sakit datang ke masjid dan makam sambil membawa daun sirih dan rokok—dua benda yang menjadi perlengkapan utama dalam ritual kedewan.

    Proses kedewan dilakukan dalam beberapa tahapan. Penderita atau keluarganya terlebih dahulu datang untuk berziarah ke kedua tempat suci tersebut. Setelah itu, mereka berkonsultasi dengan mangku atau penjaga makam guna mencari tahu penyebab penyakit atau gangguan yang dialami. Jika dianggap perlu, maka upacara khusus akan dilakukan, dengan keluarga mempersiapkan berbagai perlengkapan sesuai petunjuk sang mangku.

    Tradisi kedewan bukan hanya soal pengobatan, melainkan juga menjadi wujud keyakinan dan hubungan spiritual yang kuat antara masyarakat dan warisan leluhur mereka.

    Penyembuhan Jiwa Lewat Jalan Spiritual

    Salah satu bagian penting dalam tradisi kedewan di Desa Songak, Lombok Timur, adalah pagelaran tari penyembuhan yang digelar sesuai dengan kehendak roh penunggu. Tarian ini bukan sekadar pertunjukan budaya, melainkan bagian inti dari upacara penyembuhan spiritual yang diyakini dapat mengusir gangguan gaib.

    Masyarakat setempat percaya bahwa gangguan jiwa atau fenomena kesurupan—yang dikenal dengan istilah kerandingan—disebabkan oleh intervensi makhluk halus penghuni tempat-tempat sakral, seperti masjid kuno, makam keramat, atau tujuh titik batas desa yang dianggap angker.

    Gejala kerandingan sering kali mencakup halusinasi pendengaran dan penglihatan, serta sensasi seolah-olah tengah berkomunikasi dengan entitas gaib. Dalam kondisi seperti ini, penderita kerap mengucapkan permintaan aneh, seperti meminta emas atau benda-benda tertentu yang dipercaya sebagai syarat penyembuhan.

    Tradisi kedewan juga tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan erat dengan dua ritual lainnya, yakni ngayu-ayu dan nyaur. Ngayu-ayu dilakukan ketika seseorang mengalami musibah atau penyakit, sedangkan nyaur merupakan wujud rasa syukur setelah permohonan atau nazar dikabulkan.

    Menariknya, masyarakat percaya bahwa mengabaikan nazar yang telah diucapkan dalam prosesi ini bisa memicu gangguan jiwa. Gangguan juga diyakini muncul jika seseorang melanggar adat atau melakukan kesalahan terhadap roh penunggu desa.

    Berbeda dari pendekatan medis modern yang menitikberatkan pada gangguan biologis otak, kedewan menekankan penyembuhan melalui jalan spiritual dan kebudayaan. Prosesnya pun tidak mengikuti jadwal pasti—lamanya penyembuhan tergantung pada kondisi penderita dan ‘negosiasi’ dengan makhluk halus yang dipercaya sebagai penyebab gangguan.

    Desa Songak sendiri mencerminkan percampuran budaya Lombok asli dengan pengaruh Bali. Walaupun mayoritas penduduk beragama Islam, beberapa ritual dan kepercayaan lokal masih menunjukkan jejak kuat dari unsur Hindu.

    Hingga kini, meski dunia telah bergerak ke arah modernitas, kedewan tetap dijalankan dengan keyakinan penuh oleh masyarakat Songak, menjadi bukti hidup bagaimana tradisi, spiritualitas, dan budaya bisa saling bersinggungan dalam praktik pengobatan yang unik.

  • Fakta Menarik Negara Vatikan Yang Jarang Diketahui

    Fakta Menarik Negara Vatikan Yang Jarang Diketahui

    Mancanegara – Negara Vatikan, yang dikenal sebagai negara berdaulat terkecil di dunia, menyimpan segudang fakta menarik dan misterius yang tidak banyak diketahui orang. Meskipun luas wilayahnya hanya sekitar 44 hektare, Vatikan menjadi pusat perhatian dunia karena perannya yang sangat besar, terutama dalam bidang keagamaan dan sejarah.

    Di balik kemegahan Basilika Santo Petrus dan keheningan perpustakaan rahasianya, Vatikan memadukan unsur religius, sejarah, dan politik dengan cara yang unik dan memikat. Tak heran jika banyak orang merasa penasaran dengan apa yang sebenarnya tersembunyi di balik tembok-tembok tebal negara ini.

    Fakta-fakta yang akan diungkap hanyalah sebagian kecil dari banyaknya misteri dan keunikan yang menyelimuti Vatikan. Dari sistem pemerintahan yang unik, hingga dokumen-dokumen rahasia yang tersimpan rapi selama berabad-abad, Vatikan tetap menjadi magnet bagi mereka yang ingin memahami lebih dalam tentang warisan spiritual dan sejarah dunia.

    Berikut Fakta Menarik Negara Vatikan

    Nah, berikut adalah beberapa daftar fakta misteri negara Vatikan yang jarang diketahui, Senin (28/4/2025).

    1. Pusat Keagamaan yang Terisolasi

    Vatikan adalah satu-satunya negara yang sepenuhnya dikelilingi oleh kota lain (Roma, Italia) dan bukan berbatasan langsung dengan negara lain. 

    Keunikannya terletak pada statusnya sebagai pusat agama Katolik Roma, namun tetap berada di dalam wilayah Italia.

    Misteri Kematian Paus John Paul I

    Paus John Paul I, yang menjabat hanya selama 33 hari pada tahun 1978, meninggal secara mendadak dalam tidur. Kematian mendadak ini masih menjadi misteri, karena banyak yang menduga ada konspirasi di balik kematiannya, meskipun penyelidikan resmi tidak menemukan bukti keterlibatan pihak luar.

    3. Peraturan Ketat Untuk Warganya

    Meskipun Vatikan adalah negara dengan pemimpin tunggal (Paus), uniknya, Paus tidak dapat memilih atau menunjuk warga Vatikan, karena sebagian besar “warga” Vatikan adalah para pekerja yang datang dari luar negeri untuk bekerja di lembaga-lembaga Vatikan. Vatikan memiliki peraturan yang sangat ketat dalam hal penerimaan warga.

    4. Warna Bendera Vatikan

    Bendera Vatikan memiliki dua warna yang sangat simbolis: kuning dan putih. Warna kuning melambangkan kekuasaan duniawi Paus, sedangkan putih melambangkan kekuasaan spiritualnya. 

    Tentu saja, bendera ini juga memiliki lambang Paus, dengan kunci emas dan perak yang melambangkan kekuasaan di bumi dan surga.

    5. Pusat Gereja Katolik

    Meskipun Vatikan hanya memiliki sekitar 44 hektar dan penduduk kurang dari 1.000 orang, pengaruhnya sangat besar di seluruh dunia berkat statusnya sebagai pusat Gereja Katolik, yang memiliki sekitar 1,3 miliar penganut di seluruh dunia. 

    Ini memberikan Vatikan kekuatan dalam banyak hal, baik dalam bidang agama maupun politik.

    6. Tempat Penyimpanan Harta Karun Dunia

    Beberapa orang percaya bahwa Vatikan menyimpan harta karun yang sangat berharga, yang termasuk artefak kuno dan bahkan uang yang diperoleh dari sumbangan. 

    Meskipun demikian, sangat sedikit yang diketahui tentang harta ini, karena banyaknya objek bersejarah dan seni yang disimpan di koleksi pribadi atau di museum Vatikan.