Blog

  • Uwena Kanakea: Ritual Kesucian dan Kedewasaan Perempuan Buton

    Uwena Kanakea: Ritual Kesucian dan Kedewasaan Perempuan Buton

    Nusantara – Di sudut tenggara Sulawesi, tepatnya di kota Baubau—yang dahulu merupakan pusat kejayaan Kesultanan Buton—hidup sebuah tradisi sakral yang hingga kini masih dijaga dan dilaksanakan dengan khidmat, yakni Uwena Kanakea.

    Lebih dari sekadar prosesi adat, Uwena Kanakea adalah ritual yang mengakar kuat dalam budaya lokal. Ia bukan hanya serangkaian upacara tradisional, melainkan simbol transisi penting dalam kehidupan seorang perempuan Buton. Kata uwena dalam bahasa Wolio berarti proses pemandian atau penyucian, sedangkan Kanakea merujuk pada nama sebuah sumber mata air yang dianggap suci dan penuh berkah oleh masyarakat setempat.

    Dirangkum dari Sumber Anugerahslot terpercaya. Ritual ini diperuntukkan khusus bagi anak perempuan yang telah melewati masa remaja atau memasuki fase akil balig—menandai bahwa dirinya telah sah sebagai perempuan dewasa dalam tatanan sosial dan budaya masyarakat Buton.

    Namun, lebih dari sekadar pemandian biasa, Uwena Kanakea merupakan sebuah perjalanan spiritual dan simbolik. Ia menyentuh aspek terdalam dari identitas perempuan Buton, dari sisi spiritual, sosial, hingga kultural.

    Ritual ini biasanya dilangsungkan dengan penuh kekhusyukan di sekitar mata air Kanakea—tempat yang sejak lama diyakini memiliki kekuatan spiritual serta khasiat untuk menyucikan diri. Di tempat inilah, para perempuan muda dibawa oleh orang tua atau tetua adat untuk dimandikan—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara simbolik, sebagai bentuk pembersihan diri dari masa kanak-kanak menuju gerbang kedewasaan.

    Air dari Kanakea diyakini mengandung energi positif yang mampu menyeimbangkan jiwa dan raga, menjauhkan dari marabahaya, serta membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah. Dalam pelaksanaannya, si gadis akan mengenakan busana adat—biasanya berupa kain tenun khas Buton yang sarat warna dan makna.

    Ia akan duduk tenang di tepi mata air, sementara tetua adat perempuan akan menyiramkannya dengan air Kanakea sembari melantunkan doa dan mantera dalam bahasa Wolio yang diwariskan secara turun-temurun. Proses ini bukan sekadar seremoni keluarga inti, tetapi juga melibatkan komunitas sekitar yang hadir untuk memberi restu dan menyaksikan momen sakral ini.

    Atmosfer upacara terasa begitu kuat dan emosional. Tak jarang air mata jatuh sebagai ungkapan haru, bangga, dan syukur. Uwena Kanakea adalah peristiwa yang tidak hanya membersihkan tubuh, tetapi juga membasuh jiwa—menyambut perempuan muda ke dalam perannya yang baru, dengan penuh makna dan penghormatan.

    Makna Mendalam Ritual Uwena Kanakea

    1. Pengakuan dan Transisi Sosial:
    Uwena Kanakea bukan sekadar prosesi adat, melainkan pengakuan sosial bahwa seorang gadis telah memasuki fase baru dalam kehidupannya. Ini menandai transisi dari masa anak-anak menuju peran yang lebih dewasa dalam keluarga dan masyarakat.

    2. Nilai-nilai Luhur yang Diajarkan:
    Ritual ini sarat dengan ajaran kearifan lokal:

    • Penghormatan pada leluhur
    • Keselarasan manusia dengan alam
    • Pentingnya menjaga kesucian diri, lahir dan batin

    3. Simbolisme Air Kanakea:
    Air dalam prosesi ini adalah medium spiritual—bukan hanya sebagai alat fisik penyucian, tetapi juga sebagai simbol warisan, kemurnian, dan harapan.

    4. Posisi Perempuan dalam Budaya Buton:
    Perempuan tidak hanya dihormati, tetapi ditempatkan sebagai pilar budaya dan keluarga. Kedewasaannya diukur dari kesiapan spiritual dan sosial, bukan semata usia biologis.

    5. Tantangan Modernisasi:
    Ritual ini kini menghadapi ancaman dari arus modernisasi dan pandangan generasi muda yang menganggapnya kuno atau tidak relevan. Padahal, nilai-nilai di dalamnya sangat kontekstual untuk memperkuat identitas budaya.

    6. Upaya Pelestarian:
    Pemerintah daerah dan tokoh adat mencoba menghidupkan kembali semangat Uwena Kanakea melalui festival budaya, dokumentasi warisan tak benda, dan keterlibatan generasi muda.

    7. Warisan Budaya yang Hidup:
    Uwena Kanakea bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang masa kini dan masa depan. Setiap tetes air Kanakea membawa nilai, harapan, dan doa yang memperkuat mata rantai budaya antar generasi.

  • Tari Badui: Warisan Budaya yang Perlu Dijaga

    Tari Badui: Warisan Budaya yang Perlu Dijaga

    NusantaraTari Badui bukan sekadar pertunjukan seni, tetapi cerminan nilai religius dan budaya lokal masyarakat Sleman. Berasal dari tradisi selawatan yang memuliakan Nabi Muhammad SAW, tarian ini menunjukkan bagaimana seni dan spiritualitas bisa menyatu dalam ekspresi rakyat.

    Seiring perkembangan zaman, Tari Badui tidak hanya hadir dalam peringatan Maulid Nabi, tetapi juga tampil di panggung-panggung hiburan sebagai identitas budaya yang dinamis. Dengan penampilan delapan penari laki-laki, iringan bedug, jidor, dan rebana, serta vokal tradisional yang khas, tarian ini membawa penonton pada suasana kerakyatan yang sarat makna.

    Tantangan pelestarian tentu ada, namun pelibatan generasi muda Anugerahslot dalam pertunjukan, pendidikan, dan dokumentasi tari ini akan menjadi kunci untuk memastikan Tari Badui tetap hidup di masa depan. Melestarikan tari Badui bukan hanya menjaga tradisi, tetapi juga merawat akar budaya dan spiritualitas Nusantara.

    Tari Badui, Warisan Spiritual dan Estetika Rakyat Sleman

    Tari Badui bukan hanya seni pertunjukan semata, melainkan jejak sejarah dakwah kultural Islam yang hidup dalam tradisi rakyat. Dengan vokal bersahutan antara penari dan vokalis, diiringi instrumen rebana dan jidor, tari ini menyajikan harmoni antara gerak tubuh dan lantunan pujian kepada Nabi Muhammad SAW.

    Para penari tampil khas dengan peci Turki (panigoro) atau kuluk temanten merah, serta kostum adat yang sarat makna, lengkap dengan godo atau gombel sebagai simbol keteguhan dan perjuangan. Keindahan geraknya tak lepas dari akar spiritualnya yang dulu berfungsi sebagai sarana penyebaran agama Islam di pedesaan.

    Kini, Tari Badui juga menjadi media hiburan dan pelestarian budaya lokal. Penetapannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada tahun 2007 menjadi pengakuan penting atas nilainya dalam sejarah dan budaya Indonesia.

    Sebagai masyarakat yang mencintai warisan leluhur, sudah sepatutnya kita menjaga, melestarikan, dan mempopulerkan Tari Badui kepada generasi muda, agar seni yang lahir dari bumi Sleman ini tetap hidup dan bermakna lintas zaman.

  • Wayang Wong: Kesenian Tradisional Jawa yang Terus Dilestarikan

    Wayang Wong: Kesenian Tradisional Jawa yang Terus Dilestarikan

    Nusantara – Wayang wong atau sering disebut wayang orang merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional khas Jawa, terutama berkembang di wilayah Jawa Tengah. Meski sempat redup, kesenian ini berhasil dihidupkan kembali dan hingga kini terus dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan budaya Nusantara.

    Wayang wong menampilkan kisah-kisah epik dari Mahabharata dan Ramayana, yang dipentaskan dalam bentuk teater panggung tradisional. Setiap lakon sarat akan pesan moral dan nilai-nilai kehidupan, disampaikan melalui dialog, tari, dan musik gamelan. Dalam beberapa pertunjukan, unsur sendratari turut memperkaya penampilan.

    Mengutip dari laman Anugerahslot Indonesia, jejak wayang wong telah ditemukan sejak masa Mataram Kuno, sebagaimana tercatat dalam Prasasti Wimalasmara (930 M) dan Prasasti Balitung (907 M) yang menyebut istilah “wayang wwang” dalam bahasa Jawa Kuno. Bukti ini menunjukkan bahwa pertunjukan wayang wong sudah eksis lebih dari seribu tahun silam.

    Perjalanan wayang wong tak terlepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan besar di Jawa, termasuk Majapahit yang turut melestarikan tradisi ini. Namun, memasuki masa-masa modern, pertunjukan ini sempat dilupakan. Kebangkitan kembali kesenian ini dimotori oleh dua pusat budaya Jawa: Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, setelah terjadinya pembagian wilayah Mataram melalui Perjanjian Giyanti pada 1755.

    Kini, wayang wong tak hanya menjadi pertunjukan elit keraton, tetapi juga hadir di ruang publik dan panggung budaya untuk generasi muda. Kesenian ini terus dijaga sebagai warisan budaya yang tak hanya menampilkan keindahan seni, tetapi juga mencerminkan jati diri dan kearifan lokal masyarakat Jawa.

    Perkembangan Wayang Wong di Yogyakarta dan Surakarta

    Wayang wong di Yogyakarta mengalami kebangkitan dan pembaruan signifikan sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I pada 1750-an. Selain menjadi ekspresi seni adiluhung, wayang wong juga digunakan sebagai alat legitimasi politik. Melalui pertunjukan yang memvisualisasikan nilai-nilai luhur dan kepemimpinan dalam kisah Ramayana dan Mahabharata, Sultan ingin menegaskan posisinya sebagai pewaris sah Kerajaan Mataram sekaligus penerus tradisi kerajaan Majapahit.

    Pada masa Sultan Hamengkubuwono V, sistematisasi pertunjukan mulai dikembangkan. Dua naskah penting, yaitu Serat Kandha (narasi) dan Serat Pocapan (dialog), menjadi buku panduan utama dalam latihan dan pementasan wayang wong keraton. Kesenian ini pun mulai mendapat struktur dan bentuk artistik yang lebih baku.

    Transformasi besar terjadi pada masa Sultan Hamengkubuwono VII, ketika wayang wong mulai keluar dari eksklusivitas keraton. Melalui pendirian perkumpulan tari Krida Beksa Wirama pada tahun 1918, seni pertunjukan ini mulai diajarkan dan dipertunjukkan di luar lingkungan istana. Hingga kini, Krida Beksa Wirama menjadi lembaga penting dalam melestarikan seni tari klasik Yogyakarta, termasuk wayang wong.

    Inovasi Wayang Wong di Surakarta

    Di Surakarta, perkembangan wayang wong dimulai pada era Mangkunegara I sekitar 1760-an, dan mencapai puncak inovasinya pada masa Mangkunegara V. Di bawah kepemimpinannya, berbagai aspek kesenian ini mengalami pembaruan yang menyeluruh.

    Salah satu terobosan besar Mangkunegara V adalah pengelompokan pemain dalam tiga kategori:

    1. Wayang wong sentana – dimainkan oleh anggota keluarga istana.
    2. Wayang wong abdi dalem – dimainkan oleh para abdi dalem keraton.
    3. Wayang wong wanita – menunjukkan peran serta perempuan dalam kesenian ini.

    Dari sisi artistik, Mangkunegara V memperkenalkan kostum yang disesuaikan dengan bentuk tokoh wayang purwa, agar lebih mudah dikenali penonton. Penataan koreografi pun menjadi lebih sistematis, memperkuat identitas karakter lewat gerak tari yang baku dan bermakna.

    Tak hanya menampilkan lakon-lakon utama dari Mahabharata dan Ramayana, Mangkunegara V juga memperkenalkan lakon carangan, yaitu kisah-kisah yang dikembangkan di luar pakem. Inovasi ini memberi napas segar dan memperluas daya tarik pertunjukan kepada masyarakat umum.

    Wayang Wong Keluar dari Tembok Keraton

    Perubahan paling signifikan dalam sejarah wayang wong terjadi pada akhir abad ke-19, seiring dengan kemunduran ekonomi yang melanda istana. Ketika keraton tak lagi mampu membiayai pertunjukan secara rutin, seni ini pun mulai keluar dari lingkup eksklusif istana dan masuk ke ruang publik.

    Transformasi ini dipelopori oleh Gan Kam, seorang pengusaha keturunan Tionghoa, yang pada 1895 mengemas wayang wong menjadi pertunjukan komersial. Dengan restu Sri Mangkunegara V, Gan Kam memperkenalkan format panggung modern dengan sentuhan tata panggung ala opera Tiongkok dan Italia. Para pemainnya direkrut dari kalangan seniman keraton dan masyarakat umum, memperluas akses sekaligus memperkaya keberagaman artistik.

    Setelah Gan Kam wafat pada 1928, warisan keseniannya diteruskan oleh sejumlah tokoh Tionghoa lain seperti Sedyo Wandowo, Sarotama, dan Srikaton. Sementara itu, pengusaha Belanda bernama Reunecker juga mendirikan kelompok wayang orang. Setelah bubarnya kelompok ini, gedung pertunjukannya dibeli oleh Lie Wat Djien, yang kemudian membentuk Kelompok Wayang Orang Sono Harsono.

    Tak hanya dari luar keraton, pihak istana pun tetap berkontribusi dengan mendirikan Wayang Orang Sriwedari, sebuah kelompok yang bertujuan untuk menampung dan mempertahankan keahlian para penari istana. Pada 1930-an, kelompok ini mencapai popularitas tinggi di Surakarta, menjadikan wayang wong sebagai media edukasi, hiburan, dan pelestarian budaya.

    Penyebaran Wayang Wong ke Seluruh Jawa

    Sekitar dekade yang sama, berbagai kelompok wayang wong mulai bermunculan di kota-kota lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur, antara lain:

    • Sri Wanito di Semarang
    • Ngesti Pandowo di Madiun (kemudian pindah ke Semarang)
    • Sri Budaya di Kediri

    Kesenian ini mengalami masa keemasan hingga awal kemerdekaan, meskipun sempat terhenti sementara karena situasi politik. Pada era 1950-an hingga 1970-an, banyak kelompok baru bermunculan, termasuk Pancamurti, yang kemudian berkembang menjadi Wayang Orang Bharata di Jakarta dan Wahyu Utomo di Semarang.

    Kemunduran dan Upaya Pelestarian

    Namun, memasuki 1980-an, wayang wong menghadapi tantangan besar. Banyak pemain sepuh meninggal atau pensiun, dan di tengah arus budaya populer serta perubahan selera penonton, pertunjukan ini dianggap kurang relevan dan pamornya menurun drastis.

    Meski demikian, sejumlah kelompok tetap bertahan dan beradaptasi. Hingga kini, beberapa di antaranya masih eksis dan aktif menggelar pementasan:

    • Wayang Orang Sriwedari di Surakarta
    • Wayang Orang Ngesti Pandowo di Semarang
    • Wayang Orang Bharata di Jakarta

    Mereka terus berinovasi, termasuk memanfaatkan media digital, kolaborasi lintas seni, serta pertunjukan tematik untuk menarik minat generasi muda. Di tengah arus globalisasi, wayang wong tetap menjadi warisan budaya tak ternilai, yang tidak hanya menyampaikan cerita epik, tetapi juga nilai-nilai moral, sosial, dan spiritual khas Nusantara.

  • Tete Momo: Legenda Gelap Penjaga Malam dari Maluku

    Tete Momo: Legenda Gelap Penjaga Malam dari Maluku

    Nusantara – Di sudut-sudut rumah tradisional Maluku, ketika malam mulai merayap dan suara jangkrik menguasai angin, anak-anak tahu satu nama yang membuat mereka segera menarik selimut: Tete Momo.

    Bagi masyarakat Maluku, Tete Momo bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah legenda yang hidup, sosok tua berjubah gelap dengan wajah menakutkan dan sorot mata yang bisa membekukan keberanian. Nama “tete momo” sendiri berasal dari dua kata: tete yang berarti kakek, dan momo, istilah lokal untuk menggambarkan kejahatan atau kegelapan.

    Konon, Tete Momo mengincar anak-anak nakal—mereka yang suka melawan orang tua, tidak mau tidur malam, atau berbuat onar. Ia bukan hanya pengingat tentang moral dan disiplin, tetapi juga bayang-bayang mistis yang membaur dengan udara lembap Maluku. Dalam kepercayaan setempat, ia dianggap sebagai representasi dari makhluk-makhluk jahat: jin, setan, atau roh penasaran yang mengintai dari balik pepohonan atau bawah kolong rumah.

    Banyak orang tua menggunakan sosok ini sebagai alat untuk mendisiplinkan anak-anak. Ketika malam makin larut dan suara anak-anak masih riuh, satu kalimat saja bisa menghentikan semuanya:

    “Awas, nanti tete momo datang!”

    Legenda ini telah diwariskan turun-temurun, mengakar kuat dalam budaya lisan masyarakat Maluku. Tapi di balik sosok gelap Tete Momo, ada juga cahaya. Masyarakat Maluku mengenal sosok berlawanan bernama Tete Manis—perwujudan kasih, kebaikan, dan spiritualitas. Dalam konteks pengaruh Kristen yang kuat di wilayah ini, Tete Manis bahkan dipandang sebagai gambaran dari Yesus Kristus: lembut, penuh kasih, dan penyelamat dari kegelapan.

    Dalam kontras antara Tete Momo dan Tete Manis, masyarakat Maluku belajar tentang keseimbangan: antara takut dan cinta, antara disiplin dan kelembutan, antara gelap dan terang.

    Dan hingga kini, di rumah-rumah kayu yang berdiri teguh di tepi pantai atau pegunungan Maluku, nama Tete Momo masih bergema. Bukan hanya sebagai legenda yang menakuti, tapi sebagai cermin dari budaya, keyakinan, dan cara hidup yang terus diwariskan.

    Tete Momo: Legenda Gelap yang Masih Hidup di Maluku

    Di balik keindahan alam Maluku yang tenang dan menawan, hidup sebuah legenda yang diwariskan turun-temurun: Tete Momo. Ia bukan pahlawan atau penolong, melainkan sosok gaib yang kerap kali disebut saat malam mulai datang dan anak-anak masih bermain di luar rumah.

    Tete Momo, dalam bahasa Maluku, berarti kakek jahattete berarti kakek, sementara momo menggambarkan sesuatu yang menakutkan atau jahat. Legenda ini berkembang sebagai tokoh yang menculik anak-anak nakal, khususnya mereka yang tidak menuruti perintah orang tua atau enggan tidur malam. Sosoknya digambarkan tua, menyeramkan, dan penuh aura gelap. Ia tak sekadar mitos, tapi juga alat sosial untuk mendidik dan menanamkan kedisiplinan.

    Dalam kehidupan masyarakat Maluku, Tete Momo merupakan kebalikan dari Tete Manis, sosok yang menggambarkan kebaikan, kelembutan, bahkan dalam konteks kekristenan, merupakan perwujudan dari figur Yesus Kristus. Di antara terang dan gelap, dua tokoh ini menjadi simbol yang hidup dalam budaya setempat.

    Namun tak selamanya legenda ini hidup tanpa polemik.

    Pada awal 2025, nama Tete Momo kembali mencuat dan menjadi kontroversi nasional. Seorang penyanyi asal Ambon menggunakan istilah itu dalam kontennya saat menunjuk patung Johannes Leimena, pahlawan nasional asal Maluku yang diabadikan dalam Tugu di Bundaran Poka, Ambon. Dalam videonya, ia menyebut patung itu dengan kalimat “katong pung tete momo” — seolah mengolok-olok figur nasional dengan menyamakannya sebagai sosok menakutkan.

    Pernyataan itu langsung menuai kecaman dari tokoh agama, masyarakat adat, hingga budayawan. Banyak yang menilai penyebutan tersebut tidak hanya tidak pantas, tetapi juga bentuk ketidaktahuan terhadap sejarah dan pentingnya menjaga kesantunan dalam menyebut simbol kebanggaan daerah.

    Kisah ini menjadi pengingat bahwa legenda seperti Tete Momo tidak hanya hidup dalam cerita rakyat, tapi juga bisa menjadi cermin bagaimana budaya lokal harus dipahami dengan bijak. Sosok ini mungkin menyeramkan, tetapi ia menyimpan nilai moral, edukasi, dan refleksi atas bagaimana masyarakat membangun narasi tentang baik dan buruk.

  • Gelar Melayu Serumpun 2025 Resmi Dibuka

    Gelar Melayu Serumpun 2025 Resmi Dibuka

    Nusantara – Meskipun hujan mengguyur Kota Medan pada Rabu malam, 21 Mei 2025, semangat para peserta dan pengunjung tak surut untuk menghadiri pembukaan Gelar Melayu Serumpun 2025 yang digelar megah di Istana Maimun, Jalan Brigjen Katamso. Suasana semarak dan penuh warna budaya tetap terasa kuat sepanjang acara.

    Tahun ini menjadi penyelenggaraan ke-8 dari ajang budaya yang telah menjadi bagian dari Karisma Event Nusantara (KEN), program unggulan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. Gelar Melayu Serumpun diikuti oleh 29 delegasi, baik dari berbagai daerah di Indonesia maupun negara-negara sahabat, yang turut membawa kekayaan budaya Melayu masing-masing.

    Pembukaan acara ditandai dengan pemukulan gendang Melayu oleh Wali Kota Medan, Rico Waas, yang secara resmi membuka perhelatan. Tak hanya itu, Rico Waas juga memukau penonton dengan kemampuannya memainkan irama zapin, salah satu seni musik dan tari tradisional khas Melayu.

    Dalam sambutannya, Rico menegaskan bahwa kehadiran seluruh delegasi dan tamu undangan mencerminkan kesamaan akar budaya dan semangat kebersamaan yang tumbuh dari kebudayaan Melayu.

    “Kita semua berkumpul di sini karena meyakini satu hal: kita punya akar yang sama, semangat yang sama, yakni kebudayaan Melayu. Dan kebudayaan adalah identitas serta kekuatan bangsa,” ungkap Wali Kota Medan itu.

    Gelar Melayu Serumpun tak hanya menjadi ajang pelestarian budaya, tetapi juga momentum penguatan diplomasi budaya dan pariwisata antarbangsa yang berakar pada nilai-nilai kearifan lokal Melayu.

    Rico Waas: Melayu adalah Jiwa, Bukan Sekadar Etnis

    Dalam pidatonya pada pembukaan Gelar Melayu Serumpun 2025, Wali Kota Medan Rico Waas menekankan bahwa budaya Melayu bukan semata identitas etnis, tetapi lebih dari itu—ia adalah jiwa yang hidup dalam setiap aspek seni dan tradisi.

    “Melayu bukan hanya tentang darah dan garis keturunan. Ia hidup dalam pantun, bernafas dalam gurindam, bergerak lewat zapin, bersuara dalam syair, dan bercahaya lewat adat,” ujar Rico penuh semangat.

    Meski mengakui dirinya tidak lahir sebagai bagian dari etnis Melayu, Rico menyatakan dengan bangga bahwa dirinya memiliki jiwa Melayu yang tulen.

    “Saya mungkin tidak terlahir sebagai seorang Melayu, tapi saya percaya bahwa saya berjiwa Melayu sejati,” tuturnya.

    Ia juga menyoroti pentingnya Istana Maimun sebagai simbol kejayaan Kesultanan Deli sekaligus warisan sejarah Kota Medan yang patut dijaga dan dilestarikan. Menurutnya, nilai-nilai budaya yang terkandung dalam bangunan ikonik ini dapat menjadi daya tarik utama dalam memperkenalkan Medan ke dunia internasional.

    “Kebudayaan seharusnya menjadi sarana promosi yang hebat bagi kota ini. Lewat Gelar Melayu Serumpun, kita dapat memperkenalkan budaya Melayu dari Medan ke panggung dunia,” kata Rico.

    Tak hanya dari sisi seni pertunjukan, Rico juga menekankan bahwa kuliner, busana, dan adat istiadat merupakan bagian integral dari identitas budaya Melayu yang juga harus diperkenalkan dan dijaga kelestariannya.

    Rico Waas: Melayu Harus Jadi Subjek, Bukan Sekadar Objek Budaya

    Wali Kota Medan, Rico Waas, kembali menegaskan pentingnya peran budaya Melayu sebagai identitas yang hidup dan aktif dalam membentuk wajah Kota Medan. Dalam sambutannya di acara Gelar Melayu Serumpun 2025, Rico menyoroti perlunya menjadikan Melayu bukan sekadar objek budaya yang dipertontonkan, melainkan subjek yang kuat dan berdaya dalam membangun identitas kota.

    “Melayu jangan hanya dipandang sebagai objek. Melayu harus menjadi subjek—tampil kuat, berdaya, dan menjadi bagian penting dalam promosi Kota Medan,” ujarnya tegas.

    Lebih lanjut, Rico menekankan pentingnya kebudayaan sebagai sarana diplomasi lunak (soft diplomacy) untuk menarik perhatian dunia internasional. Ia menilai bahwa kekuatan budaya dapat menjadi modal besar bagi Indonesia, khususnya Kota Medan, untuk membangun citra yang kuat di mata dunia.

    “Kalau kita ingin diperhatikan oleh negara luar, maka kebudayaan harus didorong. Ini adalah bentuk soft diplomacy—bagaimana kita bisa tampil kuat karena kebudayaan yang hebat,” ungkap Rico.

    Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui perwakilannya, Direktur Poltekpar Medan, Ngatemin, memberikan apresiasi atas pelaksanaan Gelar Melayu Serumpun yang kembali masuk dalam Karisma Event Nusantara (KEN) 2025. Ia menyebut bahwa event ini memiliki peran penting dalam mendorong sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.

    “Kami mengapresiasi Pemko Medan karena Gelar Melayu Serumpun kembali masuk dalam KEN 2025. Diharapkan kegiatan ini bisa meningkatkan kunjungan wisatawan ke Kota Medan dan menjadi atraksi yang memberi pengalaman unik bagi para wisatawan,” ujarnya.

    Menurutnya, sinergi antara budaya, pariwisata, dan ekonomi kreatif merupakan langkah strategis dalam membangun kota yang tidak hanya kaya secara historis, tetapi juga kompetitif di panggung global.

    Sultan Deli XIV Dukung Penuh Gelar Melayu Serumpun 2025

    Sultan Deli XIV, Sultan Mahmud Lamantjiji Perkasa Alam Shah, menyampaikan dukungan penuhnya terhadap penyelenggaraan Gelar Melayu Serumpun 2025 yang digelar di Istana Maimun, Kota Medan. Menurutnya, acara ini memegang peranan penting dalam upaya pelestarian budaya Melayu, terutama dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada generasi muda.

    “Semoga acara ini menjadi momentum untuk memperteguh jati diri bangsa Melayu yang menjunjung tinggi adab, ilmu, dan kemuliaan,” ujar Sultan dalam sambutannya.

    Ia juga mengajak seluruh pihak untuk merawat adat dan budaya Melayu sebagai warisan yang tidak hanya bernilai sejarah, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai kehidupan yang relevan di era modern. Sultan Deli menekankan pentingnya kerukunan dan kesinambungan nilai adat di tengah perkembangan zaman.

    Sebagai agenda budaya tahunan yang masuk dalam Karisma Event Nusantara (KEN) dari Kementerian Pariwisata, Gelar Melayu Serumpun tahun ini berlangsung meriah dengan menampilkan berbagai kesenian tradisional. Di antara yang menarik perhatian adalah penampilan Alfin Habib, penyanyi jebolan Dangdut Academy, serta musisi ternama Henri Lamiri yang memukau hadirin dengan permainan biola bernuansa Melayu.

    Tidak hanya itu, delegasi dari dalam dan luar negeri juga tampil membawakan tarian-tarian khas Melayu, memperkuat semangat kebersamaan dalam bingkai budaya serumpun.

    Wali Kota Medan Terima Penghargaan KEN 2025 di Pembukaan Gelar Melayu Serumpun ke-8

    Pembukaan Gelar Melayu Serumpun ke-8 yang berlangsung meriah di Istana Maimun, Medan, turut diwarnai dengan momen istimewa: pemberian piagam penghargaan Karisma Event Nusantara (KEN) 2025 kepada Wali Kota Medan, Rico Waas, dari perwakilan Kementerian Pariwisata Republik Indonesia.

    Penghargaan tersebut menjadi bentuk apresiasi atas konsistensi Pemerintah Kota Medan dalam menyelenggarakan event budaya yang mengangkat kekayaan warisan Melayu ke kancah nasional dan internasional.

    Tahun ini, sebanyak 29 delegasi dari dalam dan luar negeri turut memeriahkan perhelatan budaya akbar tersebut. Dari Indonesia, 20 delegasi berasal dari berbagai daerah, antara lain:

    • Sabang, Langsa, Aceh Singkil, Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Langkat, Binjai, Serdang Bedagai, Deli Serdang,
    • Asahan, Labuhan Batu Utara, Sibolga, Batam, Dumai (2 delegasi), Jakarta, dan Pontianak.

    Sementara dari mancanegara, delegasi hadir dari sejumlah negara dan wilayah yang memiliki akar budaya serumpun, seperti:
    Kuala Lumpur, Ipoh Serawak, Johor, Selangor, Melaka, Singapura, Thailand, dan India.

    Acara yang berlangsung selama empat hari, mulai 21 hingga 24 Mei 2025, ini juga turut dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Wakil Ketua DPRD Medan Zulkarnain, Sekda Kota Medan Wiriya Alrahman, serta para Konsul Jenderal dari negara sahabat.

    Dengan kehadiran delegasi dari berbagai penjuru, Gelar Melayu Serumpun 2025 tak hanya menjadi ajang pelestarian budaya, tetapi juga panggung diplomasi budaya yang mempererat hubungan antarbangsa melalui seni dan adat Melayu.

  • Tari Salai Jin: Gerak Mistis dari Tanah Ternate

    Tari Salai Jin: Gerak Mistis dari Tanah Ternate

    Nusantara – Di jantung budaya Maluku Utara, tersembunyi sebuah tarian kuno yang tak hanya menggambarkan keindahan gerak, tetapi juga membuka gerbang ke dunia yang tak kasatmata. Tari Salai Jin bukan sekadar pertunjukan seni—ia adalah ritual, doa, dan komunikasi spiritual yang diwariskan dari generasi ke generasi oleh masyarakat Ternate.


    🌌 Jejak Kosmologi Leluhur

    Tari Salai Jin lahir dari akar kepercayaan animisme dan dinamisme yang kuat. Sebelum kedatangan Islam dan pengaruh luar lainnya, masyarakat Ternate meyakini bahwa roh-roh gaib dan entitas supranatural seperti jin atau arwah leluhur hidup berdampingan dengan manusia dan mampu memengaruhi kehidupan sehari-hari.

    Dalam kosmologi lokal, penyakit, konflik keluarga, hingga hasil panen buruk, bukan hanya urusan duniawi, melainkan sinyal dari dunia gaib. Dalam konteks inilah Tari Salai Jin berfungsi: sebagai jembatan spiritual untuk berinteraksi dengan kekuatan yang berada di luar nalar manusia biasa.

    💃 Sebuah Tarian, Sebuah Ritual

    Tari Salai Jin biasanya dilakukan secara berkelompok oleh penari laki-laki dan perempuan yang sudah “berilmu”—yakni memahami filosofi, pola gerak, dan etika ritual ini. Gerakan mereka tidak asal diciptakan, melainkan mengikuti pola-pola simbolik yang diyakini dapat membuka kanal komunikasi antara dunia nyata dan dunia gaib.

    Setiap hentakan kaki, setiap putaran tubuh, adalah bagian dari kode yang ditujukan kepada jin atau arwah leluhur. Gerakannya repetitif, menggulung seperti mantra, membawa suasana menuju transendensi.

    🥁 Musik yang Menggetarkan Jiwa

    Pengiring utama dalam Tari Salai Jin adalah alat musik tradisional seperti tifa, gong, dan kadang suling bambu. Irama yang tercipta bukan untuk menghibur, tetapi untuk mengundang, membuka, dan mengguncang kesadaran. Bunyi tifa yang menghentak dan gong yang bergema panjang menciptakan suasana sakral yang membantu penari—dan penonton—memasuki kondisi trance.

    Dalam banyak pertunjukan, terdapat momen ketika seorang penari atau anggota komunitas mengalami kesurupan, yang dalam tradisi lokal dianggap sebagai bukti keberhasilan ritual: bahwa jin atau roh telah hadir dan mengambil alih tubuh manusia sebagai medium.

    ✨ Antara Penyembuhan dan Spiritualitas

    Fungsi utama Tari Salai Jin bukan hiburan, melainkan penyembuhan dan penyelesaian masalah spiritual. Dalam masyarakat tradisional, tarian ini menjadi bagian dari prosesi pengobatan alternatif atau upacara adat untuk menetralkan gangguan gaib, menyeimbangkan energi, dan memohon petunjuk dari alam semesta.

    Dalam ritual tertentu, Tari Salai Jin dilakukan di tempat yang telah “dibersihkan” secara spiritual, dengan berbagai sesajen dan pemimpin adat yang membimbing prosesi secara saksama.

    🔮 Warisan Mistis yang Bertahan

    Meski modernisasi terus merambah ke berbagai lini kehidupan, Tari Salai Jin tetap hidup dalam ruang-ruang budaya Ternate—baik dalam konteks ritual, festival budaya, maupun penelitian akademis. Di balik setiap gerakan dan irama, tersimpan narasi spiritualitas dan resistensi budaya yang menolak untuk dilupakan.

    Bagi masyarakat Ternate, Tari Salai Jin bukan hanya tentang tubuh yang bergerak atau alat musik yang berdentum. Ia adalah cara berbicara dengan yang tak terlihat, doa yang menari, dan pantulan keyakinan lama yang masih menyala dalam kehidupan hari ini.

    Tari Salai Jin: Sakralitas Gerak dalam Lintasan Zaman

    Fenomena kesurupan yang kerap terjadi dalam ritual Tari Salai Jin semakin menegaskan bahwa tarian ini bukan sekadar ekspresi budaya, melainkan sebuah upacara sakral yang berfungsi sebagai jembatan antara dunia manusia dan dunia gaib. Oleh sebab itu, tidak semua orang diizinkan mengikuti—bahkan menyaksikan—tari ini. Hanya mereka yang memahami dan menghormati tatanan adat yang diperkenankan berada dalam lingkup upacara tersebut.

    🧿 Penyembuhan di Titik Persimpangan Spiritual

    Inti dari Tari Salai Jin adalah pengobatan tradisional berbasis spiritual. Dalam upacara ini, individu yang sakit menjadi pusat perhatian. Para penari dan pawang bertugas untuk berinteraksi dengan entitas gaib, mencari tahu apakah sumber penyakit berasal dari gangguan fisik atau intervensi makhluk halus. Jika penyakit diyakini sebagai akibat dari kekuatan supranatural, maka jin tersebut akan diusir, ditenangkan, atau bahkan dinegosiasikan agar tak lagi mengganggu.

    Konsep ini mencerminkan pandangan kosmologis masyarakat Ternate yang melihat tubuh manusia sebagai entitas multidimensional: terdiri dari daging, darah, jiwa, dan roh—semuanya rentan terhadap pengaruh dari luar, baik yang terlihat maupun tidak.

    ✨ Tarian sebagai Medium, Bukan Sekadar Simbol

    Dalam praktiknya, Tari Salai Jin bukan hanya simbol atau ornamen budaya, tetapi alat komunikasi dan media penyembuhan. Ia menjadi ruang dialog antara manusia dan kekuatan transenden. Dalam kepercayaan masyarakat adat, menyembuhkan tubuh berarti juga menyembuhkan ruh, dan tarian ini adalah bagian dari proses spiritual tersebut.

    🕋 Transformasi dalam Bayang-bayang Islam

    Masuknya Islam ke wilayah Ternate membawa pengaruh signifikan terhadap praktik-praktik adat, termasuk Tari Salai Jin. Beberapa elemen magis dan pemujaan yang dianggap bertentangan dengan syariat perlahan ditinggalkan. Namun, alih-alih lenyap, tarian ini beradaptasi. Ia diselaraskan dengan nilai-nilai baru, sembari tetap mempertahankan esensi penghormatan terhadap kekuatan spiritual dan warisan leluhur.

    Saat ini, Tari Salai Jin lebih sering ditampilkan dalam konteks festival budaya, pertunjukan seni tradisional, atau dokumentasi pelestarian, meskipun di beberapa komunitas adat tertentu, ritual aslinya masih dijalankan secara terbatas.

    🔮 Antara Mistik dan Modernitas

    Meski sebagian besar aspek magisnya telah dikurangi, aura mistis dan kekuatan spiritual yang melekat pada Tari Salai Jin tetap terasa kuat. Terutama bagi mereka yang lahir dan tumbuh dalam kultur Ternate, tarian ini bukan hanya kenangan masa lalu, melainkan pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara warisan leluhur dan kehidupan modern yang terus berubah.

    Tari Salai Jin adalah bukti bahwa tidak semua hal perlu dijelaskan dengan logika semata. Ada ruang dalam kebudayaan kita di mana kepercayaan, rasa, dan spiritualitas membentuk cara pandang terhadap tubuh, penyakit, dan dunia yang tak kasatmata. Dan di sanalah tarian ini menemukan maknanya yang paling hakiki.

  • Mengenal Tari Ronga Wekoila dari Suku Tolaki

    Mengenal Tari Ronga Wekoila dari Suku Tolaki

    NusantaraTari Ronga Wekoila adalah salah satu tarian kreasi khas yang berasal dari suku Tolaki, suku asli yang mendiami wilayah Kendari dan Konawe di Provinsi Sulawesi Tenggara. Tarian ini tidak hanya menyuguhkan keindahan gerakan, tetapi juga menggambarkan kisah cinta segitiga yang telah lama hidup dalam cerita rakyat masyarakat Tolaki.

    Mengutip dari laman Indonesia Kaya, suku Tolaki dikenal memiliki budaya nomaden dan hidup bergotong royong. Dalam kekayaan budaya tersebut, terdapat sebuah legenda yang berasal dari Kerajaan Padangguni — wilayah yang kini dikenal sebagai Konawe.

    Cerita ini berkisah tentang Mokoli Ramandalangi, Raja Konawe yang jatuh cinta pada seorang perempuan bernama Wekoila. Cinta keduanya tumbuh dan berbalas, hingga mereka memutuskan untuk menikah. Namun, masa lalu sang raja membawa awan kelabu. Sebelum jatuh cinta pada Wekoila, Mokoli sempat memberikan harapan cinta kepada seorang perempuan lain, yaitu Anamia Ndopo.

    Perasaan kecewa dan sakit hati menguasai Anamia. Pada hari pernikahan Mokoli dan Wekoila, Anamia menyamar sebagai penari lariangi, sebuah tari tradisional dalam upacara, dan membunuh Raja Mokoli Ramandalangi saat pertunjukan berlangsung.

    Menjelang ajalnya, Mokoli sempat memberikan sebuah tanda atau pesan kepada Wekoila agar ia melanjutkan estafet kepemimpinan atas Kerajaan Padangguni. Bagi masyarakat Konawe, Wekoila dipercaya sebagai titisan ratu adil yang turun dari langit, pembawa harapan dan keadilan bagi rakyatnya.

    Tari Ronga Wekoila menjadi simbol perjuangan cinta, pengkhianatan, dan harapan baru. Ia bukan sekadar tarian, melainkan representasi kuat dari nilai-nilai sejarah, budaya, dan spiritual yang hidup dalam masyarakat Tolaki hingga kini.

    Tari Rongga Wekoila Menggabungkan Unsur Seni & Sejarah

    Dari kisah rakyat yang sarat makna tersebut, lahirlah Tari Ronga Wekoila, sebuah tarian kreasi yang menggabungkan unsur seni, sejarah, dan budaya masyarakat Tolaki. Tarian ini biasa dipentaskan oleh sepuluh orang penari, terdiri atas empat penari laki-laki, empat penari perempuan, serta dua tokoh utama yang memerankan Raja Mokoli Ramandalangi dan Wekoila.

    Dalam pertunjukannya, para penari mengenakan busana adat khas Sulawesi Tenggara yang dikenal dengan nama babung gisasamani, namun dengan modifikasi warna dan ornamen yang menjadikan tampilan mereka lebih semarak dan mencolok di atas panggung. Kostum yang berwarna-warni ini turut menambah daya tarik visual dari pertunjukan.

    Lebih dari sekadar tontonan, Tari Ronga Wekoila mengusung konsep drama kolosal yang memadukan gerak tari, musik tradisional, dan alur cerita yang menyentuh hati. Setiap gerakan dalam tarian ini membawa penonton menyusuri jejak sejarah cinta, pengkhianatan, dan harapan, sebagaimana yang diwariskan dalam legenda Raja Mokoli dan Wekoila.

    Dengan kekuatan artistik dan naratif yang dimilikinya, Tari Ronga Wekoila tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga media pelestarian sejarah dan identitas budaya masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara.

  • Balo-Balo: Penjaga Mistis dalam Tradisi Masyarakat Lampung

    Balo-Balo: Penjaga Mistis dalam Tradisi Masyarakat Lampung

    Nusantara – Balo-balo merupakan makhluk mitologi yang telah mengakar dalam kepercayaan masyarakat Lampung selama berabad-abad. Dalam kepercayaan lokal, sosok ini dipercaya sebagai penjaga gaib yang berperan melindungi manusia dari berbagai gangguan tak kasat mata.

    Wujud dan Simbolisme

    Balo-balo digambarkan memiliki kepala burung enggang (rangkong) dan tubuh manusia dalam posisi duduk. Bentuk hibrida ini bukan tanpa makna. Burung enggang dalam budaya Nusantara kerap dilambangkan sebagai simbol kekuasaan, keagungan, dan perlindungan. Oleh sebab itu, balo-balo diyakini membawa energi positif dan menjadi pelindung bagi lingkungan tempatnya diletakkan.

    Penempatan dan Fungsi Spiritualitas

    Sosok balo-balo umumnya ditempatkan di pintu masuk rumah adat, lumbung, atau bangunan penting lainnya. Tujuannya jelas: menangkal gangguan gaib dan menjaga harmoni penghuni dengan alam sekitar. Kehadirannya dipercaya dapat menetralisir energi negatif dan menjaga keseimbangan spiritual.

    Balo-Balo dalam Tradisi Keris

    Menariknya, balo-balo juga memiliki tempat penting dalam dunia keris, senjata tradisional yang sarat nilai magis dan simbolik. Gagang keris yang menyerupai sosok balo-balo dikenal dengan nama tekhapang atau punduk balo-balo.

    Gagang ini biasanya dibuat dari kayu berkualitas tinggi dan dianggap menyimpan daya spiritual kuat. Tak hanya berfungsi sebagai pegangan, bentuk balo-balo pada keris menjadikan senjata tersebut sebagai benda pusaka yang dihormati dan diwariskan secara turun-temurun.

    Identitas Budaya Lampung

    Lebih dari sekadar simbol pelindung atau ornamen spiritual, balo-balo juga merupakan bagian dari identitas budaya masyarakat Lampung. Sosok ini merepresentasikan keterkaitan mendalam antara manusia, alam, dan nilai-nilai adat yang dijaga secara turun-temurun.

    Makna Simbolik Balo-Balo dalam Kehidupan Adat Masyarakat Lampung

    Dalam kehidupan masyarakat Lampung, balo-balo bukan sekadar ornamen atau simbol dekoratif. Sosok ini kerap hadir dalam berbagai acara adat dan ritual keagamaan sebagai lambang perlindungan dan keberkahan. Kepercayaan terhadap kekuatan spiritual balo-balo masih hidup dan dijaga secara turun-temurun.

    Hingga kini, banyak rumah tradisional Lampung yang tetap menempatkan balo-balo di lokasi strategis seperti pintu masuk atau ruang utama. Penempatan ini menjadi wujud penghormatan terhadap warisan leluhur, sekaligus sebagai penanda komitmen menjaga nilai-nilai adat dan keseimbangan spiritual dalam kehidupan sehari-hari.

    Simbolisme: Penglihatan Tajam dan Kestabilan Bijaksana

    Balo-balo memiliki bentuk unik: kepala burung enggang dipadukan dengan tubuh manusia yang duduk. Kepala burung enggang—burung yang dalam banyak budaya lokal dianggap sakral—melambangkan kemampuan untuk melihat jauh dan menilai dari ketinggian. Ia menjadi simbol kejernihan pandangan dan kewaspadaan terhadap bahaya.

    Sementara itu, tubuh manusia dalam posisi duduk mencerminkan kestabilan, ketenangan, dan kewibawaan. Gabungan keduanya menciptakan sosok mitologis yang dianggap memiliki kekuatan protektif dan sifat mengayomi, baik dalam dimensi fisik maupun spiritual.

    Kemiripan dengan Mitologi Nusantara

    Peneliti budaya mencatat bahwa balo-balo memiliki kesamaan karakteristik dengan berbagai figur mitologi tradisional di Indonesia. Seperti halnya Barong di Bali atau Sigale-gale di Tapanuli, balo-balo mewakili nilai-nilai pelindung, kekuatan leluhur, dan keterhubungan antara dunia manusia dengan alam gaib.

    Melalui balo-balo, masyarakat Lampung menyampaikan pesan bahwa kearifan lokal dan spiritualitas tradisional tetap relevan di tengah perubahan zaman. Sosok ini tak hanya menjadi simbol, tetapi juga jembatan antara masa lalu dan masa kini dalam menjaga harmoni kehidupan.

  • Ubrug: Warisan Komedi Tradisional Betawi yang Kian Langka

    Ubrug: Warisan Komedi Tradisional Betawi yang Kian Langka

    Nusantara – Ubrug merupakan seni pertunjukan tradisional Betawi yang unik karena memadukan berbagai elemen seperti komedi, musik, gerak, dan sastra dalam satu panggung. Pertunjukan ini berkembang pesat di beberapa wilayah di Banten, khususnya di daerah Cikeusal, Pagelaran, Pandeglang, Leuwidamar, hingga Panimbang, yang menjadi kantong-kantong pelestarian ubrug hingga saat ini.

    Secara etimologis, istilah ubrug memiliki beberapa versi. Dalam bahasa Sunda, ubrug berarti bangunan darurat atau tempat sementara—layaknya tenda hajatan atau lokasi kerja dadakan. Istilah ini kemudian digunakan sebagai nama pertunjukan karena dulunya pementasan ubrug sering diadakan di tempat-tempat sederhana yang dibangun khusus dan sementara. Ada pula versi lain yang menyebut ubrug berasal dari kata ngagebrug, yang merujuk pada situasi di mana pemain dan penonton berada dalam satu tempat tanpa sekat, membaur dalam suasana akrab dan meriah.

    Pertunjukan ubrug tidak hanya sekadar hiburan. Ia merupakan cerminan dinamika sosial masyarakat Betawi dan Banten pada masanya. Sejak awal abad ke-20, ubrug telah dikenal oleh masyarakat Betawi, dan mencapai masa keemasan pada era 1930-an. Kesenian ini berakar dari daerah Banten Selatan, sebelum akhirnya menyebar ke wilayah-wilayah tetangga, terutama daerah pinggiran Jakarta yang didominasi oleh budaya Betawi Pinggir.

    Melalui naskah-naskah yang disampaikan secara lisan dengan gaya jenaka, ubrug menjadi media kritik sosial sekaligus hiburan rakyat yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Sayangnya, seperti banyak kesenian tradisional lainnya, ubrug kini mulai jarang dipentaskan dan perlahan memudar oleh perubahan zaman.

    Namun demikian, upaya pelestarian terus dilakukan oleh komunitas budaya dan pemerhati kesenian lokal agar ubrug tetap hidup dan dikenal generasi muda, baik sebagai warisan budaya maupun bentuk ekspresi kesenian tradisional yang kaya makna.

    Ubrug: Teater Rakyat Betawi yang Sarat Tawa dan Lawakan

    Ubrug merupakan salah satu bentuk teater rakyat khas Betawi yang dipentaskan secara terbuka, biasanya di tanah lapang atau di kampung-kampung. Berbeda dengan teater modern yang digelar di gedung pertunjukan, ubrug tampil berkeliling seperti pengamen, menyambangi satu kampung ke kampung lain, menghadirkan hiburan langsung kepada masyarakat.

    Pada masa lalu, kesenian ini menjadi hiburan yang sangat populer, terutama karena sifatnya yang ringan, menghibur, dan dekat dengan kehidupan rakyat. Sepanjang perjalanan, musik tradisional khas ubrug terus mengalun, menghadirkan suasana meriah. Alat musik yang biasa dimainkan meliputi terompet, rebana biang, gendang, dan lanter, yang dimainkan secara ritmis untuk menarik perhatian warga.

    Pementasan ubrug identik dengan pertunjukan sulap dan lawakan. Gerakan sulap yang dipertontonkan didasarkan pada keahlian tangan cepat dan terkadang juga dikaitkan dengan ilmu gaib, khususnya dalam atraksi yang disebut sulap gedebus—sebuah bentuk sulap yang menampilkan kekebalan tubuh atau kemampuan fisik luar biasa.

    Meskipun alur cerita tidak menjadi fokus utama, pertunjukan ubrug tetap menarik karena menampilkan banyolan segar dan jenaka dari para pemain. Humor dalam ubrug bersifat spontan, penuh sindiran, dan sering kali menyentil fenomena sosial-politik yang sedang berkembang. Kritik sosial yang disampaikan dalam bentuk lawakan membuat ubrug tidak hanya menghibur, tetapi juga memberi ruang refleksi bagi penontonnya.

    Salah satu kelompok ubrug tertua yang masih eksis hingga kini adalah Grup Cantel dari Kota Serang. Kelompok ini dianggap sebagai pelestari ubrug yang masih setia menampilkan seni tradisional ini di berbagai hajatan dan festival budaya.

    Di tengah gempuran hiburan modern, ubrug tetap menjadi warisan budaya yang patut dijaga. Tak hanya sekadar tontonan, ubrug adalah cermin dari kecerdasan rakyat dalam menyampaikan pesan melalui tawa, musik, dan sulap sederhana yang penuh makna.

  • Tanjidor: Warisan Musik Betawi dari Akar Kolonial hingga Menjadi Simbol Budaya Rakyat

    Tanjidor: Warisan Musik Betawi dari Akar Kolonial hingga Menjadi Simbol Budaya Rakyat

    Nusantara – Tanjidor merupakan salah satu bentuk orkes musik tradisional khas yang lahir dari kebudayaan Betawi. Musik ini tumbuh dan berkembang di wilayah Jakarta dan sekitarnya, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat Betawi.

    Asal-usul Tanjidor

    Tanjidor memiliki sejarah panjang yang dimulai pada abad ke-18, saat Hindia Belanda masih menjadi koloni Eropa. Nama “tanjidor” sendiri diyakini berasal dari kata Belanda “dansjdoer” atau “dansjduur”, yang berarti musik pengiring dansa. Istilah ini kemudian mengalami pelokalan dalam pengucapan dan makna hingga menjadi “tanjidor” dalam bahasa Betawi.

    Pada masa itu, tanjidor dimainkan oleh budak-budak milik tuan tanah Belanda di Batavia. Para budak ini dilatih memainkan alat musik tiup seperti klarinet, trombon, terompet, dan seruling, serta alat musik ritmis seperti drum dan simbal, untuk menghibur majikan mereka dalam acara dansa dan pesta sosial.

    Dari Warisan Kolonial Menjadi Identitas Betawi

    Meskipun lahir dari sistem kolonial yang sarat penindasan, tanjidor perlahan bertransformasi menjadi ekspresi budaya masyarakat Betawi. Setelah sistem perbudakan dihapuskan dan masyarakat Betawi memperoleh kebebasan yang lebih besar, tanjidor pun mengalami perubahan peran dan makna.

    Para mantan budak yang telah mahir memainkan alat musik membentuk kelompok-kelompok tanjidor yang berkeliling dari satu kampung ke kampung lain. Mereka menghibur warga dalam berbagai acara seperti:

    • Pernikahan
    • Khitanan
    • Penyambutan tamu kehormatan
    • Upacara keagamaan
    • Festival dan kegiatan kebudayaan lokal

    Tanjidor pun bergeser dari musik eksklusif kelas elite menjadi bagian dari perayaan dan kebersamaan rakyat Betawi, terutama mereka yang tinggal di kawasan pinggiran Jakarta.

    Ciri Khas Musik Tanjidor

    Repertoar tanjidor tidak lagi terbatas pada lagu-lagu klasik Eropa. Seiring waktu, musik ini berasimilasi dengan unsur lokal, seperti:

    • Lagu-lagu keroncong
    • Gambang kromong
    • Mars-mars rakyat
    • Lagu-lagu tradisional Betawi lainnya

    Perpaduan antara alat musik Barat dan semangat lokal ini menciptakan warna musik tanjidor yang unik dan dinamis, menjadi ciri khas dalam setiap pertunjukannya.

    Tanjidor: Simbol Dinamis Transformasi Budaya Betawi

    Keunikan tanjidor terletak pada kemampuannya menyatukan dua dunia—pengaruh musik Barat dan jiwa lokalitas Nusantara—dalam satu harmoni yang hidup. Musik ini tidak sekadar warisan masa lalu, melainkan cerminan transformasi budaya yang terus berkembang mengikuti zaman.

    Secara musikal, tanjidor tampil dalam format orkes tiup dan perkusi, mengingatkan pada bentuk brass band ala Eropa, namun dibalut dengan teknik permainan dan repertoar yang mencerminkan karakter khas Betawi. Inilah yang menjadikan tanjidor bukan imitasi, melainkan adaptasi yang kreatif dan autentik.

    Alat-alat musik yang digunakan antara lain:

    • Klarinet
    • Trombon
    • Terompet
    • Tuba
    • Drum
    • Simbal
    • Serta tambahan instrumen lokal seperti kecrek atau tamborin

    Dalam segi lagu, tanjidor tak terbatas pada komposisi klasik peninggalan kolonial. Kini, repertoarnya mencakup lagu-lagu tradisional Betawi, keroncong, hingga lagu populer modern yang diaransemen ulang dalam gaya tanjidor. Semua disampaikan dengan semangat meriah dan komunikatif yang menjadi ciri khas pertunjukannya.

    Tanjidor kerap dimainkan dalam formasi berbaris sambil berjalan, menjadi pengiring dalam arak-arakan, karnaval kampung, atau acara rakyat. Ini menjadikan tanjidor bukan sekadar sajian musikal, melainkan juga peristiwa sosial yang menghidupkan ruang-ruang publik dan memperkuat ikatan antarwarga.

    Lebih dari Musik: Medium Komunikasi dan Ekspresi Komunal

    Dalam konteks kebudayaan Betawi, tanjidor berperan sebagai medium komunikasi budaya, di mana nilai-nilai seperti keguyuban, semangat kebersamaan, dan ekspresi komunal ditampilkan secara nyata. Tanjidor adalah suara masyarakat Betawi yang jujur, lantang, dan penuh warna.

    Hingga kini, dalam berbagai festival budaya Betawi, tanjidor masih menjadi atraksi utama, membuktikan bahwa keberadaannya tetap relevan dan dicintai.

    Masa Depan Tanjidor: Tradisi yang Terus Bergerak

    Ke depan, harapan besar tertuju pada keberlangsungan tanjidor sebagai bagian hidup dari budaya Betawi. Bukan hanya dikenang sebagai artefak sejarah, tetapi terus diberi ruang untuk tumbuh, berinovasi, dan bergaul dengan zaman.

    Dengan tetap menjaga akarnya namun membuka diri terhadap bentuk-bentuk baru, tanjidor dapat terus menjadi suara khas dari jantung budaya Betawi—yang berdetak kuat, bahkan di tengah derasnya arus perubahan global.