Category: Nusantara

  • Pacuan Kuda Tradisional Gayo: Warisan Budaya dari Dataran Tinggi Aceh

    Pacuan Kuda Tradisional Gayo: Warisan Budaya dari Dataran Tinggi Aceh

    Nusantara – Masyarakat Kabupaten Aceh Tengah memiliki tradisi unik yang masih lestari hingga kini, yaitu pacuan kuda tradisional Gayo. Tradisi ini bukan hanya menjadi ajang lomba, tetapi juga sebuah pesta rakyat yang meriah dan penuh makna budaya. Pacuan kuda ini rutin digelar dua kali dalam setahun, yakni pada bulan Februari dalam rangka Hari Ulang Tahun Kota Takengon, dan bulan Agustus untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

    Seiring dengan pemekaran wilayah di Provinsi Aceh, kini tradisi ini diikuti oleh tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, dan Kabupaten Gayo Lues. Menurut sejarah, pacuan kuda di daerah Takengon sudah ada sejak masa penjajahan kolonial Belanda. Namun, pada masa itu pacuan kuda hanya diadakan setelah musim panen tiba. Menariknya, kuda-kuda yang dilombakan adalah kuda yang biasa digunakan untuk membajak sawah oleh para petani.

    Salah satu daya tarik utama dalam pacuan kuda tradisional Gayo adalah keberadaan para joki cilik. Anak-anak yang menjadi joki ini umumnya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Keahlian mereka dalam menunggang kuda tanpa menggunakan pelana menjadi pemandangan yang mengagumkan. Kemampuan tersebut tampak seperti bakat alami yang dimiliki anak-anak di kawasan dataran tinggi Gayo.

    Adapun kuda-kuda yang digunakan dalam perlombaan merupakan hasil persilangan antara kuda lokal Gayo dan kuda dari Australia. Awalnya, kuda-kuda Gayo berukuran kecil, namun dengan adanya bantuan dan program pengembangan dari pemerintah, kini banyak kuda lokal yang telah tumbuh besar dan berpostur tinggi, siap bersaing dalam arena pacuan.

    Pacuan kuda tradisional Gayo bukan sekadar olahraga, melainkan simbol kegigihan, kebersamaan, dan kecintaan masyarakat terhadap warisan budaya mereka. Tradisi ini terus hidup, diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bagian dari identitas dan kebanggaan masyarakat Gayo.

    Pacuan Kuda Gayo: Tradisi yang Mengalir dari Hati Rakyat

    Mengutip dari laman resmi Anugerahslot Pemerintah Kota Aceh, pesta rakyat yang menampilkan pacuan kuda tradisional Gayo ini berlangsung secara alami, tanpa perlu promosi ataupun komando khusus. Ketika waktunya tiba, masyarakat dari dataran tinggi Tanoh Gayo akan berbondong-bondong turun ke Kota Takengon, menciptakan suasana yang ramai dan penuh semangat.

    Perayaan ini biasanya berlangsung selama satu minggu penuh. Selain menjadi ajang hiburan, pacuan kuda juga menjadi waktu istirahat bagi warga setelah menjalani rutinitas berat di ladang dan sawah. Momentum ini menjadi sarana melepas penat sekaligus mempererat tali kebersamaan di antara warga.

    Lintasan pacuan digelar di Gelanggang Musara Alun, yang terletak di pusat Kota Takengon, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah. Arena pacuan berbentuk melingkar dan dibatasi dengan tali rotan, menambah nuansa tradisional yang khas.

    Seiring waktu, pacuan kuda tradisional Gayo telah berkembang menjadi tradisi tahunan yang selalu dinantikan. Meski zaman terus berubah, masyarakat Gayo tetap setia menjaga dan melestarikan acara ini sebagai warisan budaya yang sarat makna, penuh semangat, dan meriah setiap tahunnya.

  • Jenglot: Urban Legend Mistis yang Melekat di Budaya Masyarakat Indonesia

    Jenglot: Urban Legend Mistis yang Melekat di Budaya Masyarakat Indonesia

    Nusantara – Dalam ranah urban legend Indonesia, kisah-kisah mistis menjadi bagian penting dari budaya lisan yang terus hidup di tengah masyarakat. Cerita tersebut tidak hanya berkaitan dengan penampakan makhluk gaib, tapi juga benda-benda yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural. Salah satu yang paling dikenal luas adalah jenglot.

    Jenglot sering digambarkan sebagai makhluk kecil menyerupai manusia, dengan wajah menyeramkan, tubuh kaku, rambut panjang, dan kuku yang tajam. Meski ukurannya hanya belasan sentimeter, banyak orang percaya bahwa jenglot menyimpan kekuatan gaib yang luar biasa.

    Konon, jenglot bisa bergerak atau berpindah tempat dengan sendirinya. Untuk “menghidupkan” benda ini, dipercaya harus diberikan persembahan berupa darah, biasanya darah hewan atau manusia, tergantung kepercayaan pemiliknya.

    Selain itu, jenglot juga sering dikaitkan dengan praktik pesugihan atau perlindungan gaib. Beberapa orang menggunakan jenglot sebagai sarana untuk menarik kekayaan, mendatangkan pelanggan, atau sebagai pelindung dari serangan ilmu hitam. Namun, kepercayaan ini tidak lepas dari syarat dan perjanjian spiritual yang diyakini rumit dan mengikat. Jika tidak dirawat atau dilanggar perjanjiannya, jenglot dipercaya bisa membawa malapetaka.

    Meski banyak kisah menyeramkan mengiringi keberadaan jenglot, tidak sedikit pula pihak yang meragukan keasliannya. Sejumlah peneliti menyebut jenglot hanyalah boneka buatan manusia yang dipahat sedemikian rupa, lalu dilapisi dengan narasi mistis agar tampak meyakinkan.

    Namun demikian, kepercayaan terhadap jenglot tetap kuat di berbagai daerah, terutama di lingkungan yang masih menjunjung tinggi adat dan spiritualitas tradisional. Bagi sebagian masyarakat, jenglot bukan sekadar benda, melainkan simbol dari kekuatan tak kasatmata yang masih dipercaya hingga kini.

    Asal-Usul Jenglot: Antara Mitos, Kepercayaan, dan Warisan Mistis Nusantara

    Jenglot dikenal luas sebagai makhluk atau benda mistis yang menyerupai manusia dalam bentuk mini, dengan tubuh kaku, rambut panjang, dan taring mencuat tajam. Keberadaannya kerap menjadi bahan perbincangan, baik di kalangan pecinta hal gaib maupun masyarakat umum yang tertarik pada kisah-kisah misteri.

    Menurut sumber Anugerahslot nusantara, asal-usul jenglot dipercaya bermula pada masa transisi antara runtuhnya Kerajaan Majapahit dan munculnya pengaruh Islam di Nusantara. Pada masa itu, banyak orang mendalami laku spiritual ekstrem dan ilmu-ilmu gaib yang diyakini mampu mengubah bentuk fisik manusia.

    Konon, jenglot adalah manusia yang pernah menjalani ritual tertentu hingga tubuhnya mengalami penyusutan dan mengeras akibat akumulasi energi spiritual yang sangat tinggi. Seiring berjalannya waktu, sosok jenglot pun masuk ke dalam kisah-kisah mistis yang diwariskan turun-temurun, menjadi bagian dari budaya lisan masyarakat.

    Kepercayaan yang berkembang menyebut bahwa jenglot memiliki kekuatan magis dan bisa dimanfaatkan untuk berbagai tujuan instan—mulai dari menarik kekayaan, mendatangkan keberuntungan, hingga sarana pengasihan. Namun, benda ini juga diyakini memiliki sisi berbahaya jika tidak diperlakukan dengan benar.

    Karena dianggap hidup secara spiritual, jenglot dipercaya harus “diberi makan” darah, baik dari hewan maupun manusia, agar tidak membawa sial atau malapetaka bagi pemiliknya. Meskipun belum ada penjelasan ilmiah yang bisa membuktikan keberadaan atau kekuatan jenglot, masyarakat tetap mempercayai kisahnya.

    Hingga kini, cerita tentang jenglot masih hidup di tengah masyarakat dan terus diceritakan dari generasi ke generasi. Bagi sebagian orang, jenglot dianggap sebagai warisan leluhur yang menyimpan kekuatan gaib, sementara bagi yang lain, ia sekadar simbol dari mitos yang memperkaya khazanah budaya mistis Indonesia.

  • Keris Kyai Carubuk, Pusaka Sunan Kalijaga yang Sarat Nilai Spiritual dan Sejarah

    Keris Kyai Carubuk, Pusaka Sunan Kalijaga yang Sarat Nilai Spiritual dan Sejarah

    Nusantara – Keris Kyai Carubuk merupakan salah satu pusaka peninggalan Sunan Kalijaga yang hingga kini masih dijaga dan dihormati oleh keturunannya di Kadilangu. Pusaka ini memiliki sejarah unik karena awalnya dibuat bukan sebagai benda keramat, melainkan sebagai alat praktis untuk menyembelih hewan kurban.

    Mengacu pada berbagai sumber, Sunan Kalijaga dikenal sebagai tokoh Wali Songo yang menyebarkan ajaran Islam melalui pendekatan budaya Jawa. Keris Kyai Carubuk menjadi salah satu simbol dari perpaduan nilai spiritual Islam dan budaya lokal yang beliau usung.

    Keris ini dibuat dengan memperhatikan ketajaman dan kesesuaian terhadap syariat Islam. Proses pembuatannya pun tidak sembarangan. Pada masa itu, empu pembuat keris menggunakan teknik tempa tinggi serta melibatkan unsur spiritual, menjadikan keris ini tidak hanya tajam secara fisik, tetapi juga diyakini memiliki kekuatan magis.

    Nama “Carubuk” dalam bahasa Jawa mengandung makna penyatuan atau pertemuan, yang mencerminkan filosofi harmoni antara nilai agama dan budaya. Seiring waktu, keris ini tidak lagi hanya dipandang sebagai alat, tetapi menjadi pusaka sakral yang dipercaya memiliki kemampuan menetralisir kekuatan magis dari pusaka lain.

    Legenda menyebutkan bahwa Keris Kyai Carubuk pernah digunakan untuk menghadapi kesaktian Kyai Setan Kober, pusaka milik Arya Panangsang. Dari sinilah nama besar Keris Kyai Carubuk semakin dikenal sebagai senjata yang memiliki kekuatan spiritual tinggi.

    Hingga kini, pusaka ini dijaga oleh keluarga Kasepuhan Kadilangu, keturunan langsung Sunan Kalijaga. Keris Kyai Carubuk disimpan bersama pusaka lainnya, yaitu Kotang Onto Kusumo, dan secara rutin menjalani ritual penjamasan atau pembersihan sebagai bentuk pelestarian dan penghormatan terhadap warisan leluhur.

    Penjamasan Keris Kyai Carubuk: Merawat Warisan Spiritual Sunan Kalijaga

    Ritual penjamasan atau pembersihan Keris Kyai Carubuk dilakukan dengan tata cara khusus yang sarat makna spiritual. Proses ini menggunakan air bunga dan wewangian, serta diiringi dengan pembacaan doa-doa yang bertujuan menjaga kesucian dan kekuatan pusaka.

    Bagi keluarga Kadilangu, penjamasan bukan sekadar perawatan fisik, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap peninggalan leluhur. Ritual ini merupakan wujud pelestarian nilai-nilai spiritual yang diwariskan oleh Sunan Kalijaga.

    Lebih dari sekadar benda keramat, Keris Kyai Carubuk juga menjadi simbol strategi dakwah Sunan Kalijaga. Dalam menyebarkan ajaran Islam, beliau menggunakan pendekatan budaya dengan menjadikan benda-benda pusaka sebagai media dakwah yang mudah diterima oleh masyarakat Jawa.

    Hingga kini, Keris Kyai Carubuk tetap memegang peran penting dalam tradisi keluarga Kadilangu. Perawatannya dilakukan secara turun-temurun, dengan perhatian tidak hanya pada kondisi fisik keris, tetapi juga pada nilai spiritual yang melekat padanya. Dengan cara ini, pusaka tersebut terus hidup dalam ingatan kolektif sebagai bagian dari warisan dakwah yang penuh kearifan budaya.

  • Welat: Alat Tradisional Pemotong Tali Pusar dalam Budaya Jawa

    Welat: Alat Tradisional Pemotong Tali Pusar dalam Budaya Jawa

    Nusantara – Dalam tradisi masyarakat Jawa tempo dulu, proses persalinan tidak hanya menjadi momen biologis, tetapi juga sarat makna budaya dan kearifan lokal. Salah satu simbol dari kearifan tersebut adalah welat—alat pemotong tali pusar bayi yang dibuat dari bilah bambu.

    Welat merupakan bilah bambu tipis yang diruncingkan dan diasah hingga cukup tajam untuk memotong tali pusar. Alat sederhana ini digunakan sebelum hadirnya layanan kesehatan modern, dan menjadi bagian penting dalam praktik persalinan tradisional.

    Bahan dasar welat berasal dari jenis bambu tertentu yang dipilih secara khusus berdasarkan kekuatan dan kelenturannya. Proses pembuatannya melibatkan pengirisan bambu menjadi bilah sepanjang 10–15 sentimeter dengan ketebalan sekitar 2–3 milimeter. Setelah itu, bilah tersebut diasah secara manual hingga benar-benar tajam dan siap digunakan.

    Menurut tradisi rangkuman Anugerahslot, welat harus dibuat baru—tidak boleh menggunakan bahan bekas—dan harus dibuat langsung oleh ayah sang bayi. Dalam beberapa kasus, proses ini juga disertai dengan ritual tertentu yang bertujuan memohon keselamatan dan keberkahan bagi bayi yang baru lahir.

    Pemotongan tali pusar biasanya dilakukan oleh dukun bayi atau anggota keluarga yang telah berpengalaman. Prosedur ini merupakan bagian dari rangkaian perawatan bayi dalam budaya Jawa, yang menekankan keterhubungan antara manusia, alam, dan nilai-nilai spiritual.

    Dari Pemotongan Tali Pusar hingga Alat Serbaguna di Rumah Tangga

    Setelah tali pusar bayi dipotong menggunakan welat, sisa potongannya dirawat secara tradisional hingga akhirnya lepas secara alami dalam proses yang dikenal sebagai puput. Dalam sejarah kebidanan tradisional Jawa, penggunaan welat tidak hanya mencerminkan praktik medis kuno, tetapi juga menjadi penanda perkembangan teknik persalinan berbasis kearifan lokal.

    Menariknya, meskipun peran welat sebagai alat medis telah tergeser oleh kemajuan teknologi kesehatan, alat ini masih memiliki fungsi penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di beberapa daerah, khususnya di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

    Di Desa Bojong, misalnya, welat tetap dimanfaatkan sebagai alat potong serbaguna. Ketajamannya yang alami membuatnya efektif untuk memotong berbagai bahan, mulai dari daging segar hingga kertas. Saat proses pembagian daging dalam ukuran kecil, warga setempat masih mengandalkan ketajaman bilah bambu ini sebagai alternatif alat potong modern.

    Selain di dapur, welat juga digunakan dalam kegiatan kerajinan. Para pengrajin layang-layang di Cilacap masih memanfaatkan welat untuk memotong kertas dengan presisi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sederhana, welat tetap relevan sebagai alat bantu tradisional yang multifungsi.

  • Misteri Hantu Tok-Tok: Urban Legend yang Masih Diperbincangkan di Tengah Masyarakat

    Misteri Hantu Tok-Tok: Urban Legend yang Masih Diperbincangkan di Tengah Masyarakat

    Nusantara – Cerita urban legend di Indonesia seolah tak pernah kehilangan pesonanya, terlebih kisah-kisah mistis yang tumbuh dan berkembang dari generasi ke generasi. Kisah-kisah ini hidup sebagai bagian dari budaya lisan yang terus diwariskan dan dipercaya sebagian masyarakat sebagai bentuk peringatan atau pesan moral yang terselubung.

    Salah satu kisah yang cukup populer dan kerap membuat bulu kuduk merinding adalah cerita tentang hantu tok-tok. Kisah ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan memiliki versi yang berbeda-beda, namun benang merahnya tetap sama: suara misterius yang terdengar di malam hari.

    Hantu tok-tok digambarkan sebagai makhluk halus yang kerap menimbulkan suara ketukan seperti “tok-tok” di pintu, jendela, atau dinding rumah, terutama menjelang tengah malam atau dini hari. Suara tersebut muncul tanpa sebab yang jelas dan sering kali membuat penghuni rumah ketakutan.

    Banyak warga mengaku pernah mengalami kejadian ini—mereka mendengar suara ketukan, namun setelah dicek, tak ada seorang pun di luar rumah. Fenomena ini sering dianggap sebagai bentuk gangguan makhluk gaib yang mencoba menarik perhatian manusia.

    Yang lebih menyeramkan, menurut kepercayaan yang berkembang, suara itu sebaiknya tidak dijawab atau dibukakan pintu. Konon, jika seseorang nekat membuka pintu atau menyahut suara tersebut, maka ia bisa mengalami berbagai gangguan supranatural, mulai dari mimpi buruk, perasaan seperti diikuti, hingga kerasukan.

    Meski belum ada bukti ilmiah yang dapat membuktikan keberadaan hantu tok-tok, kisah ini tetap dipercaya dan dihormati oleh sebagian masyarakat, terutama mereka yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal.

    Cerita hantu tok-tok bukan hanya menjadi bagian dari folklore Indonesia, tetapi juga mencerminkan bagaimana masyarakat menjaga kewaspadaan terhadap hal-hal yang tak terlihat, sekaligus memperkuat nilai spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari.

  • Kumau: Harmoni Sakral Antara Alam, Leluhur, dan Kehidupan Tani di Jambi

    Kumau: Harmoni Sakral Antara Alam, Leluhur, dan Kehidupan Tani di Jambi

    Nusantara – Di tengah arus modernisasi yang deras dan pengaruh budaya luar yang kian mencairkan jati diri, masyarakat Jambi tetap teguh menjaga akar tradisi. Salah satu warisan budaya yang masih lestari hingga kini adalah Upacara Kumau—sebuah prosesi adat tahunan yang sarat makna, diselenggarakan menjelang dimulainya musim tanam padi.

    Lebih dari sekadar ritual, Kumau adalah manifestasi dari keselarasan mendalam antara manusia dengan alam, antara generasi masa lalu dan masa kini, serta antara spiritualitas dan kehidupan agraris yang menjadi nadi masyarakat pedesaan. Ia bukan hanya perayaan, melainkan wujud penghormatan terhadap tanah yang memberi kehidupan, dan bentuk syukur kepada Sang Pencipta serta roh-roh leluhur yang dipercaya masih menjaga bumi tempat berpijak.

    Di balik aroma kemenyan yang mengepul dan tabuhan gendang yang menggema, tersimpan falsafah kuno yang tak lekang oleh waktu: menanam padi bukan hanya perkara pangan, tetapi juga upaya merawat keseimbangan semesta. Kumau mengajarkan bahwa segala hasil bumi adalah berkah yang patut disambut dengan hati yang bersih dan batin yang siap.

    Upacara ini tidak dijalankan secara sederhana. Ia merupakan rangkaian prosesi yang kompleks, melibatkan banyak elemen masyarakat dan simbolisme yang mendalam. Biasanya digelar di balai adat atau ladang yang akan ditanami, Kumau dimulai dengan ritual pembersihan diri dan lingkungan—tanda kesiapan lahir batin menghadapi musim tanam baru.

    Prosesi dipimpin oleh para ninik mamak, yakni tetua adat yang memegang pengetahuan turun-temurun. Mereka membacakan doa dan mantra, memohon agar tanaman terhindar dari hama, agar hujan turun di waktu yang tepat, dan agar panen kelak berlimpah. Persembahan berupa hasil bumi, sirih pinang, serta sesajen lain disusun dengan rapi sebagai bentuk penghormatan kepada arwah para leluhur.

    Salah satu momen paling sakral dalam Kumau adalah penanaman padi secara simbolik oleh tokoh-tokoh adat terpilih. Tindakan ini diyakini sebagai pembuka jalan bagi datangnya energi positif dan berkah dalam musim tanam yang sesungguhnya.

    Lantunan nyanyian tradisional dan dentuman genderang yang mengiringi seluruh rangkaian upacara bukan sekadar hiburan semata. Itu adalah bagian dari dialog spiritual antara dunia manusia dan alam gaib—sebuah simfoni suci yang menyatukan langit dan bumi dalam irama keharmonisan.

    Upacara Kumau bukan hanya tradisi, tetapi cermin kebijaksanaan lokal yang telah mengakar selama berabad-abad. Di balik kesederhanaannya, tersembunyi pelajaran penting tentang hubungan antara manusia, alam, dan leluhur—sebuah warisan budaya yang layak dirawat di tengah tantangan zaman.

    Kumau: Nyanyian Purba Penjaga Identitas dan Harmoni Sosial

    Lebih dari sekadar ritual agraris, Upacara Kumau memainkan peran penting dalam menjaga kohesi sosial dan identitas budaya masyarakat Jambi, khususnya di desa-desa yang masih memegang teguh nilai-nilai adat. Ia menjadi momen berkumpulnya lintas generasi—anak-anak, remaja, dewasa, hingga para tetua—untuk mempererat tali silaturahmi dan menanamkan kembali nilai-nilai luhur kepada generasi penerus.

    Di saat dunia luar kerap memandang tradisi sebagai sesuatu yang usang dan tidak relevan dengan era modern, masyarakat Jambi justru menemukan pijakan dan arah dari akar budaya mereka. Kumau menjadi simbol keteguhan terhadap jati diri—sebuah pengingat bahwa dalam pusaran zaman, ada nilai-nilai yang tetap tak tergoyahkan.

    Tak heran jika Kumau bukan hanya dipertahankan, tetapi juga dirayakan dengan antusiasme yang tulus. Dalam beberapa tahun terakhir, upacara ini bahkan diangkat sebagai agenda budaya tahunan oleh pemerintah daerah dan komunitas lokal. Perayaan ini membuka ruang edukasi dan menjadi daya tarik wisata berbasis kearifan lokal, menjembatani tradisi dengan inovasi.

    Kumau membuktikan bahwa warisan leluhur bukanlah beban masa lalu, melainkan fondasi yang kokoh untuk membangun masa depan. Ia adalah pernyataan identitas, ekspresi spiritualitas, dan bukti hubungan mendalam antara manusia dan tanah yang mereka rawat.

    Di tengah irama mantra dan denting genderang, Kumau hadir sebagai nyanyian purba yang terus bergema—melewati hamparan sawah, menyusup di balik pepohonan, dan hidup dalam lubuk hati masyarakat Jambi. Di sanalah tersimpan semangat gotong royong, rasa hormat terhadap alam, serta syukur atas kehidupan yang terus bersemi.

    Kumau bukan sekadar pembuka musim tanam—ia adalah doa panjang yang ditanam bersama benih-benih padi, dan harapan yang tumbuh dalam setiap helai daun yang menguning di tengah ladang.

  • Polemik Kepengurusan Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban Belum Usai, Ketua Terpilih Janji Gelar Kirab Akbar

    Polemik Kepengurusan Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban Belum Usai, Ketua Terpilih Janji Gelar Kirab Akbar

    Nusantara – Perselisihan internal terkait kepengurusan Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Kwan Sing Bio di Tuban masih belum menemui titik akhir, meskipun sudah empat tahun dikelola oleh tiga tokoh konglomerat asal Surabaya. Bahkan, Kementerian Agama setempat pun turut turun tangan untuk meredam ketegangan di kelenteng terbesar se-Asia Tenggara itu.

    Di tengah situasi tersebut, Go Tjong Ping—Ketua Umum Terpilih Kelenteng Kwan Sing Bio untuk periode 2023–2028—menyampaikan kepada Anugerahslot tentang rencana besar jika konflik internal berhasil diselesaikan. Ia berjanji akan mengadakan kirab akbar yang melibatkan ribuan peserta dan menampilkan atraksi budaya spektakuler.

    “Kalau saya resmi menjabat sebagai Ketua Umum, saya akan menyelenggarakan acara besar-besaran. Salah satu yang ditampilkan adalah arak-arakan pasukan Ronggolawe berkuda, yang akan melibatkan hingga 50 penunggang kuda,” ujar Go Tjong Ping.

    Menurutnya, acara ini akan terbuka untuk umum tanpa pembatasan jumlah peserta, selama tetap menjaga ketertiban dan kondusivitas. Selain itu, sejumlah pertunjukan seni dan budaya lokal juga akan menjadi bagian dari rangkaian kegiatan di area kelenteng.

    “Saya mohon dukungan dari semua sahabat di seluruh Indonesia. Acara ini akan digelar secara profesional,” tegasnya.

    Sebagai mantan anggota DPRD Provinsi Jawa Timur, Go Tjong Ping menyatakan kesiapan penuh jajaran pengurus untuk menyelenggarakan event berskala nasional tersebut.

    “Semua sudah sangat siap,” pungkasnya.

    Kisruh Kelenteng Kwan Sing Bio Belum Usai, Penunjukan Ketua Umum Baru Picu Penolakan

    Sengketa internal di tubuh pengurus Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Kwan Sing Bio Tuban hingga kini belum menemukan jalan damai, meski telah berada di bawah kendali tiga tokoh konglomerat Jawa Timur dan nasional sejak Juni 2021. Mereka adalah Alim Markus (Bos Maspion Group), Soedomo Mergonoto (Pemilik Kopi Kapal Api), serta Paulus Welly Afandi, pengusaha Tionghoa asal Surabaya.

    Alih-alih meredakan konflik, dalam empat tahun terakhir justru muncul kembali ketegangan internal yang kian mengemuka. Salah satu bukti nyata adalah insiden penggembokan gerbang utama kelenteng yang sempat berlangsung selama dua hari. Gerbang akhirnya dibuka kembali setelah adanya tekanan dari pemerintah daerah, demi memastikan umat dapat beribadah dengan tenang dan aman.

    Situasi semakin memanas setelah penunjukan Go Tjong Ping sebagai Ketua Umum TITD Kwan Sing Bio Tuban periode 2025–2028, yang dilakukan pada Minggu (8/6/2025). Keputusan tersebut menuai penolakan dari sejumlah umat yang menilai proses pemilihan tidak sesuai dengan aturan dasar dan aturan rumah tangga (AD/ART) kelenteng.

    Ketidakpuasan terhadap proses tersebut menambah panjang daftar polemik yang membayangi kelenteng yang dikenal sebagai salah satu tempat ibadah Tri Dharma terbesar di Asia Tenggara itu. Sampai saat ini, penyelesaian konflik masih menjadi pekerjaan rumah bersama bagi pengurus, umat, dan pihak pemerintah.

  • Seblang Bakungan, Tradisi Sakral Banyuwangi yang Bertahan Sejak 1639

    Seblang Bakungan, Tradisi Sakral Banyuwangi yang Bertahan Sejak 1639

    Nusantara – Tradisi adat Seblang Bakungan kembali digelar oleh masyarakat Osing di Banyuwangi, Jawa Timur. Ritual sakral yang telah diwariskan secara turun-temurun sejak tahun 1639 ini terus dilestarikan oleh warga Desa Bakungan, Kecamatan Glagah, dan kini juga menjadi daya tarik wisata budaya yang kuat.

    Ribuan warga dan wisatawan menyaksikan langsung jalannya prosesi Seblang pada Kamis malam, 12 Juni 2025, yang dipusatkan di Sanggar Seblang, Kelurahan Bakungan.

    Rangkaian acara dimulai dengan prosesi tumpengan yang dilakukan bersama-sama warga sepanjang jalan menuju sanggar. Sebelum itu, masyarakat melaksanakan salat magrib dan salat hajat di masjid Anugerahslot sebagai bentuk permohonan keselamatan dan kelancaran acara.

    Kemudian ritual dilanjutkan dengan parade oncor, yaitu obor-obor yang diarak keliling desa dalam prosesi yang dikenal sebagai ider bumi. Di sepanjang jalan, warga duduk bersila di atas tikar dan menikmati tumpeng pecel pithik, makanan khas tradisional Osing, dalam suasana akrab dan hangat diterangi cahaya obor.

    Puncak acara terjadi saat Isni, seorang penari Seblang berusia 53 tahun, memasuki kondisi trance atau kesurupan, lalu menari mengikuti iringan musik gending. Dalam kepercayaan masyarakat Osing, pada saat itu sang penari diyakini sedang dirasuki oleh roh leluhur.

    “Tradisi ini sangat unik. Sebelumnya saya menyaksikan tarian Gandrung Sewu yang masif, tapi malam ini saya melihat bentuk budaya yang lebih spiritual dan personal,” ujar David, wisatawan asal Selandia Baru yang turut hadir menyaksikan ritual.

    Seblang sendiri merupakan tradisi tari spiritual yang dipercaya memiliki unsur magis. Terdapat dua versi Seblang di Banyuwangi:

    • Seblang Bakungan, digelar setiap bulan Dzulhijah, dibawakan oleh perempuan berusia matang.
    • Seblang Olehsari, dilaksanakan setelah Idul Fitri oleh warga Desa Olehsari dan ditarikan oleh gadis muda.

    Keduanya menjadi simbol kuat bagaimana tradisi dan spiritualitas masyarakat Osing terus hidup berdampingan dengan modernitas, sekaligus menjadi warisan budaya tak ternilai dari Bumi Blambangan.

    Seblang Bakungan: Tradisi, Gotong Royong, dan Pengakuan Internasional

    Wakil Bupati Banyuwangi, Mujiono, menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Banyuwangi berkomitmen penuh dalam mendukung pelestarian budaya lokal, termasuk ritual Seblang yang telah menjadi ikon spiritual dan budaya masyarakat Osing.

    “Menjaga tradisi bukan semata demi menarik wisatawan. Lebih dari itu, ini adalah bagian dari upaya menumbuhkan semangat gotong royong serta memastikan budaya lokal tetap hidup di tengah arus modernitas,” ujar Mujiono saat menghadiri ritual Seblang Bakungan.

    Dukungan pemerintah daerah ini tidak hanya ditujukan untuk mempertahankan warisan seni budaya nasional, tetapi juga sebagai fondasi penguatan nilai-nilai sosial masyarakat yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

    Keaslian dan kekuatan simbolik dari tradisi Seblang juga menarik perhatian para pengamat budaya mancanegara. Salah satunya adalah Sumarsam, profesor gamelan asal Indonesia yang kini menjabat sebagai Kaplan Professor of Music di Wesleyan University, Amerika Serikat. Ia hadir langsung menyaksikan ritual Seblang Bakungan dan menyampaikan kekagumannya.

    “Saya sangat terkesan dengan kekayaan budaya di Banyuwangi. Dalam tiga hari saya telah menyaksikan pertunjukan Janger, mendengarkan Mamaca Lontar Yusuf, dan malam ini menikmati Seblang Bakungan. Keberagaman budaya di sini luar biasa lengkap,” ungkap Sumarsam, yang telah bermukim di Amerika selama lebih dari lima dekade.

    Kehadiran akademisi internasional seperti Sumarsam menunjukkan bahwa Banyuwangi bukan hanya destinasi wisata alam, tetapi juga pusat pelestarian budaya yang dihargai secara global. Dengan semangat kolektif masyarakat dan dukungan pemerintah, Seblang dan tradisi lainnya diyakini akan terus lestari di tengah tantangan zaman.

  • Ngarak Bade: Warisan Sakral Seribu Tahun dari Desa Adat Kutapang, Nusa Penida

    Ngarak Bade: Warisan Sakral Seribu Tahun dari Desa Adat Kutapang, Nusa Penida

    Nusantara – Di sudut tenggara Bali, tepatnya di Desa Adat Kutapang, Nusa Penida, tersimpan sebuah tradisi sakral yang telah diwariskan lintas generasi selama hampir sepuluh abad. Tradisi ini dikenal sebagai ngarak bade — sebuah ritual larung sajen ke laut yang digelar setiap lima tahun sekali sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.

    Diyakini telah ada sejak abad ke-12 pada masa Kerajaan Bali Kuno, ngarak bade merupakan salah satu ritual tertua yang masih lestari di Nusa Penida. Upacara ini menjadi lambang kuatnya hubungan spiritual masyarakat Kutapang dengan alam dan roh para leluhur.

    Ritual dimulai dengan pembuatan bade, sebuah struktur kayu menyerupai menara atau rumah kecil yang dihias dengan ukiran serta ornamen tradisional Bali. Bade ini diyakini sebagai wahana roh leluhur untuk kembali ke alam niskala (alam spiritual).

    Prosesi dimulai dari Pura Dalem Kutapang, tempat bade disucikan oleh pemangku adat. Dari sana, bade diarak menuju Pantai Kutapang dalam iringan ratusan warga yang mengenakan pakaian adat putih dan kuning. Mereka membawa sesaji, canang sari, dan berjalan dalam irama gamelan baleganjur yang menggema sepanjang jalan.

    Sesampainya di pantai, bade dilarung ke laut sebagai simbol pengembalian unsur alam kepada Dewa Laut. Tindakan ini tidak hanya bermakna spiritual, tapi juga filosofis: sebagai permohonan keselamatan, penolak bala, dan harapan akan keseimbangan antara manusia dengan alam semesta.

    Masyarakat Kutapang mengatakan kepada anugerahslot percaya bahwa pelaksanaan ngarak bade mampu mencegah bencana, menjaga kesuburan tanah dan laut, serta memperkuat harmoni antara dunia fisik dan dunia spiritual. Di tengah modernisasi, ritual ini menjadi penanda kuat bahwa warisan budaya tetap hidup dan berdenyut bersama denyut nadi masyarakat Bali.

    Kebangkitan Ngarak Bade: Warisan Bali Aga yang Terus Dijaga

    Setelah sempat terhenti selama hampir lima dekade, tradisi sakral ngarak bade di Desa Adat Kutapang, Nusa Penida, akhirnya dihidupkan kembali pada awal tahun 2000-an. Kebangkitan ritual ini menjadi simbol kesadaran baru generasi muda Kutapang akan pentingnya merawat dan melestarikan warisan leluhur.

    Upaya pelestarian ini tidak sia-sia. Kini, ngarak bade telah resmi masuk dalam kalender event budaya Bali dan mulai dikenal luas, termasuk oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Meski demikian, pelaksanaan ritual tetap dilandasi aturan adat yang ketat, demi menjaga kesucian prosesi.

    Para wisatawan yang ingin menyaksikan ngarak bade wajib mematuhi batasan tertentu. Mereka tidak diperkenankan mendekati area utama prosesi, apalagi mengganggu jalannya upacara. Desa juga menerapkan sejumlah larangan, seperti tidak membuat keributan, serta berpakaian sopan selama ritual berlangsung.

    Tradisi ini menjadi cerminan kekayaan budaya Bali Aga — komunitas Bali kuno yang sudah ada sebelum pengaruh Hindu Majapahit menyebar ke pulau ini. Beberapa elemen dalam ngarak bade, seperti bentuk bade dan struktur ritusnya, menunjukkan keterkaitan erat dengan sistem pertanian tradisional subak dan kepercayaan lokal terhadap alam serta roh leluhur.

    Pembuatan bade pun bukan pekerjaan sembarangan. Prosesnya harus dilakukan oleh undagi, tukang kayu tradisional Bali yang tidak hanya piawai dalam teknik, tetapi juga memahami aturan sakral dan filosofi di balik struktur tersebut.

    Kembalinya ngarak bade bukan sekadar perayaan masa lalu, melainkan bentuk nyata dari semangat pelestarian budaya di tengah arus modernisasi. Ia menjadi pengingat bahwa jati diri sebuah masyarakat tidak hanya ditentukan oleh masa kini, tetapi juga oleh keberanian menjaga akar warisan yang telah diwariskan turun-temurun.

  • Sendang Seruni Hadirkan Spot Foto Underwater Tawar Pertama di Banyuwangi

    Sendang Seruni Hadirkan Spot Foto Underwater Tawar Pertama di Banyuwangi

    Nusantara – Destinasi wisata Sendang Seruni membuat terobosan baru dengan meluncurkan spot foto underwater air tawar pertama di Banyuwangi, Selasa (10/6/2025). Bekerja sama dengan Dinas Perikanan Kabupaten Banyuwangi, pihak pengelola menebar sebanyak 5.000 ekor bibit ikan ke dalam kolam serta menambahkan berbagai properti foto bawah air guna memperkaya pengalaman wisatawan.

    Dimas, pengelola Sendang Seruni, menjelaskan kepada Anugerahslot bahwa konsep ini dirancang untuk memberikan pengalaman yang lebih imersif kepada pengunjung. “Kami ingin wisatawan tidak hanya menikmati keindahan permukaan, tapi juga merasakan pesona bawah air yang unik dan menawan,” ujarnya.

    Dengan kejernihan air yang luar biasa dan kualitas setara air mineral, Sendang Seruni memiliki potensi besar sebagai spot wisata underwater. Ribuan ikan yang ditebar diharapkan akan tumbuh dan memperkaya keindahan ekosistem bawah air, menciptakan latar alami yang sempurna untuk aktivitas fotografi wisata.

    Inovasi ini tak hanya berfokus pada daya tarik wisata semata, tetapi juga mengusung misi edukasi dan pelestarian lingkungan. Kepala Dinas Perikanan Banyuwangi, Suryono Bintang Samudra, menyatakan bahwa upaya ini merupakan langkah nyata dalam mengedukasi pengunjung akan pentingnya menjaga kebersihan serta kelestarian sumber mata air.

    “Kami berharap wisatawan yang menyelami keindahan bawah air akan lebih sadar akan pentingnya konservasi. Ini bukan hanya soal hiburan, tapi juga pembelajaran langsung dari alam,” ujar Suryono.

    Dengan konsep unik ini, Sendang Seruni tidak hanya menawarkan alternatif liburan yang segar dan menarik, tetapi juga membuka peluang baru bagi peningkatan ekonomi masyarakat sekitar lewat sektor pariwisata yang semakin hidup.